Fenomena Flexing dan Modus Kejahatan Cyber

Anjas Ahmad Munjazi
Studying Communication Science at State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
13 Februari 2022 13:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anjas Ahmad Munjazi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
freepik.com
ADVERTISEMENT
Belum lama ini istilah flexing kembali mucul dan berseliweran di dunia internet. Istilah tersebut mendeskripsikan tentang cara manusia bersi
ADVERTISEMENT
kap terhadap apa yang dimiliki. Meskipun flexing bukan hal yang baru, tapi pada kenyataanya masih menjadi fenomena yang terus berkembang dalam kehidupan sosial. Sebenarnya, apa itu flexing?
Flexing bukan hanya pamer
Mengutip dari kamus Merriam-Webster flexing adalah to make an ostentatious display of something atau dengan kata lain flexing adalah memamerkan sesuatu yang dimiliki secara mencolok. Dari pengertian tersebut secara sederhana flexing sama dengan pamer.
Sedangkan merangkum dari laman Dictionary.com, asal mula kata flexing adalah bahasa slang dari kalangan ras kulit hitam untuk "menunjukkan keberanian" atau "pamer" sejak tahun 1990-an. Rapper Ice Cube s menggunakan kata flexing dalam lagunya yang berjudul It Was a Good Day dengan liriknya :
ADVERTISEMENT
Istilah flexing merupakan gejala sosial yang terus bertransformasi dan menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan. Dari yang hanya sekadar ingin dipuji dan diakui atas prestasi/pencapaian yang telah didapat, sampai dijadikan sebagai strategi branding diri (personal branding), marketing, bahkan modus pengalihan.
Flexing bukan hanya ajang pamer dan adu gengsi, lebih daripada itu melibatkan sikap yang runtuh dan kerusakan nalar. Nalar yang terbangun atas dasar keruntuhan, mengakibatkan dalam dirinya sikap yang tidak menghargai proses dan mementingkan hasil (goal).
Dilihat dari kaca mata sosial, sikap yang tidak menghargai proses akan menciptakan generasi yang kerdil, berprilaku konsumtif, tidak mementingkan sesama, dan seolah dunia sudah ada dalam genggaman tangan.
Flexing dalam teori Abraham Maslow
ADVERTISEMENT
Teori hierarki kebutuhan yang dicetus oleh Maslow mendeskripsikan bagaimana manusia bersikap dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Secara garis besar Maslow menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tingkat atas, maka harus dipenuhi dulu kebutuhan tingkat bawah, dengan demikian akan memunculkan motivasi untuk terus memiliki keinginan tingkat selanjutnya.
Dalam teori ini terdapat lima tingkatan kebutuhan yang harus terpenuhi di masing-masing tingkatannya. Tingkatan kebutuhan tersebut diawali dengan kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisiologi manusia (makan, minum, tidur dll), kebutuhan akan rasa aman (need to safety), kebutuhan merasakan kasih sayang (need to love/ belonging), kebutuhan mendapatkan pencapaian (esteem), dan tingkat paling atas adalah kebutuhan mengaktualisasikan diri (self-actualization).
Di era digital hari ini, gambaran flexing sangat erat kaitannya dengan materi. Jika dibedah dengan menggunakan teori dari Maslow, tentu sangat bertentangan dengan konsep kebutuhan. Melihat realitas yang berkembang di masyarakat, sebagian individu lebih memilih membelanjakan uangnya untuk kebutuhan tersier ( membeli mobil, jam tangan mewah, sepatu trendi, dll) daripada memenuhi kebutuhan fisiologi. Hal ini mengindikasikan adanya sikap ingin diakui tapi membenturkan dengan kemampuan yang dimiliki. Atau dengan kata lain, lebih rela tidak makan daripada tidak diakui di lingkungan sosialnya. Apakah flexing selalu berkonotasi negatif? tentu saja tidak, boleh jadi seseorang ingin menunjukkan kualitas diri agar mendapatkan kepercayaan, dengan catatan selama kebutuhan fisiologisnya sudah terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Flexing dan Modus Kejahatan Siber
Saat ini pengguna aktif internet di Indonesia sudah mencapai 202,6 juta jiwa setara dengan 73,7 persen dari total populasi Indonesia. Di antaranya para pengguna menonton video pada platform YouTube, mengakses laman sosial media, mendengarkan musik streaming, mendengarkan siaran stasiun radio secara online hingga podcast. Segala aktivitas online tersebut menjadi peluang untuk tindak kejahatan cyber.
"Data statistik yang dikutip dari kominfo, Indonesia ada di peringkat ke-2 dunia kasus kejahatan siber, bukan di Asean lagi tapi dunia. Nomor satunya di Ukraina," ujar Tanzela Azizi, Instruktur Edukasi4ID saat webinar Literasi Digital wilayah Kota Depok, Jawa Barat I, melalui siaran pers yang diterima Industry.co.id.
Melihat data tersebut, tentu menjadi celah bagi pelaku kejahatan untuk bertindak dengan mudah. Beragam startegi pun diluncurkan oleh individu maupun perusahaan untuk meraup segmentasi pasar yang lebih luas. Salah satu strategi yang diterapkan adalah flexing. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa flexing bukan hanya untuk ajang pamer dan adu gengsi, tapi juga sebagai strategi marketing suatu perusahaan atau individu untuk menarik khalayak.
ADVERTISEMENT
Tampilan konten-konten di Internet (khususnya dalam hal ini sosial media) menerapkan strategi flexing sebagai cara untuk mendapatkan attention. Contoh konten yang sering dijumpai seperti memamerkan harta, perhiasaan, properti, dan kehidupan layaknya bak sultan. Meskipun ada beberapa kalangan pembuat konten (content creator) mengklarifikasi tujuannya bukan untuk pamer, tapi tetap saja hal itu secara tidak langsung melalui kemasan yang ditampilkan sebagai suatu flexing. Hal tersebut terbukti ampuh mendapatkan attention yang tinggi dari netizen (pengguna internet).
Berbagai kalangan selebriti, influencer, hingga content creator turut mewarnai laman sosial media dengan menyajikan konten flexing dengan motif yang beragam. Bahkan belum lama ini, istilah tersebut menjadi diskursus yang hangat diperbincangkan oleh para akademisi. Salah satunya datang dari Prof. Rhenald Kasali, dalam video yang diunggahnya melalaui platform youtube menjelaskan secara lugas dan jelas bahwa ada pepatah yang berbunyi
ADVERTISEMENT
artinya orang kaya sesungguhnya tidak suka pamer dan menginginkan privasi. Fenomena flexing bisa diartikan mereka yang doyan pamer sebenarnya bukan orang kaya sungguhan. Beliaupun mengatakan bahwa Cara flexing itu adalah marketing untuk membangun kepercayaan kepada customer dan akhirnya customer percaya dan menaruh uangnya.
Melihat dari pernyataan tersebut, memang benar bahwa semakin orang menjadi kaya, semakin tertutup pula privasi hidupnya. Karena hal itu untuk meminimalisir dari kejahatan yang coba dilakukan oleh oknum tertentu. Tapi, pada kenyataannya hari ini semakin kaya seseorang semakin show off. Mereka tidak takut atas konsekuensi yang telah dilakukannya.
Lalu bagaimana bisa flexing bisa dikaitkan dengan kejahatan cyber? Jika megacu pada kasus penipuan yang telah terjadi di Indonesia, seperti kasus penipuan yang dilakukan sebuah travel perjalanan umrah. Pelaku tersebut sedari awal membangun branding sebagai orang yang memiliki harta dan kedudukan yang tinggi, tujuannya tentu untuk mendapatkan kepercayaan customer. Dalam hal ini kejahatan tersebut merupakan bagian dari kejahatan cyber Phising.
ADVERTISEMENT
Phising adalah contoh cyber crime untuk melakukan penipuan dengan mengelabui korban.
Kasus serupa yang terjadi hari ini menimpa beberapa influencer yang terlibat karena adanya dugaan penipuan melalui platform binary option. Beberpa korban yang merasa dirugikan oleh platform tersebut tidak hanya menyeret mereka (influencer) ke ranah hukum, ada pula korban yang mengancam akan membunuh para affiliator akibat kerugian mereka.
Pada akhirnya, sebagai pengguna internet yang bijak tentu harus dibekali dengan literasi digital yang baik sehingga kita bisa membedakan mana yang pamer dan mana yang benar-benar real.