Jurnalisme Islam dalam Pusaran Ideologi Global

Anjas Ahmad Munjazi
Studying Communication Science at State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
31 Desember 2019 4:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anjas Ahmad Munjazi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: piqsels.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto: piqsels.com
ADVERTISEMENT
Persaingan industri media yang semakin ketat mengharuskan media mencari kiat-kiat spesifik untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan. Segmentasi yang dikenal sebagai strategi untuk membidik kelompok pasar yang jelas, semakin dikenal di kalangan industri media. Hal ini sejalan dengan pengamatan para ahli media yang menyebutkan di masa depan, industri media menuju ke arah demasifikasi atau mengarah pada segmentasi pembaca tertentu. Tujuannya untuk memenuhi kepentingan sekelompok tertentu pembaca yang dituju.
ADVERTISEMENT
Pada masa awal perkembangan media, segmentasi pada kelompok tertentu belum berjalan. Dalam arti, media masih bersifat umum, tidak mengotak-ngotakan pasar dan tidak membidik pembaca sesuai dengan target media itu sendiri. Seiring dengan beragamnya kebutuhan konsumen, maka media dihadapkan pada pilihan segmentasi pasar tertentu.
Menurut Kasali (2000: 119), segmentasi dikenal sebagai proses memetakan pasar yang heterogen ke dalam kelompok konsumen potensial (potencial customers) yang memiliki kesamaan kebutuhan dan/ atau kesamaan karakter yang memiliki respons yang sama dalam membelanjakan uangnya.
Pers Islam merupakan pers dengan segmentasi religius yang tentu saja menetapkan segmennya umat Islam, yang merupakan populasi terbanyak di Indonesia. Pers Islam bukanlah barang baru di Indonesia. Lahirnya pers Islam telah mendahului lahirnya Republik ini. Bahkan tokoh-tokoh pers Islam turut berkontribusi besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indoensia.
ADVERTISEMENT
Zainal Abidin Ahmad sebagai salah satu tokoh pers yang mewakili pers Islam. Ia menyebutnya, “wartawan yang melandaskan perjuangannya pada ajaran-ajaran Islam” (Soebagijo I.N.: 1981). Zainal Abidin Ahmad bukan hanya sebagai tokoh yang mengusung pers berlandaskan ajaran-ajaran Islam tetapi juga menjadi tokoh wadah jurnalis muslim, yang saat itu disebut sebagai Wartawan Muslimin Indonesia (Warmusi) sejak tahun 1937. Warmusi kemudian mengembangkan sayapnya dari Sumatera ke Jawa.
Pada “Muktamar Media Massa Islam Sedunia I,” (Jakarta 1-3 September 1980) diikuti oleh 49 negara, 450 peserta baik dari kalangan wartawan, penulis, penerbit dan pemikir Islam dari berbagai negara. Selain membicarakan isu pembelaan Palestina lewat media, muktamar ini juga mendorong ikhtiar-ikhtiar terkait kerja-kerja jurnalistik, seperti mendorong berdirinya fakultas publisistik (jurnalistik) di kampus-kampus (Alex Sobur: 2004).
ADVERTISEMENT
Muktamar ini berusaha merumuskan arti dari pers Islam, bahwa “pers Islam ialah segala liputan dan tulisan lainnya yang senantiasa mendasarkan pemberitaannya atas kebenaran Islam dengan cara dan metode yang diatur agama Islam, yakni bi al-mau’izhah al-hasanah (pendekatan yang baik), sehingga memungkinkan terjalinnya pembaca terhadap islam.”
Ainur Rofiq Sophiaan, menyebutkan bahwa ada dua metode pendekatan yang sederhana dalam menyelisik pers Islam. Pertama, metode pendekatan secara formal. Dengan pendekatan ini pers Islam dipahami sebagai bentuk pers yang diterbitkan oleh umat Islam, menyuarakan aspirasi dan aktivitas umat Islam serta bertujuan untuk mempertahankan misi dan eksistensi umat Islam. Kedua, metode pendekatan informal. Dari kaca mata ini, pers Islam dinilai dari misi Islam itu sendiri secara global dan holistis ; rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Dalam konteks demikian, Islam lebih banyak diukur dari cita-cita moralitasnya dari semua aspek kehidupan. Manifestasinya adalah keadilan, pemerataan, persaudaraan, persamaan, dan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pendapat di atas, Asep Saeful Romli (2003: 33) mengatakan, jurnalistik Islam bukanlah media massa Islam atau pers Islam. Sebuah media yang mengklaim sebagai media massa Islam belum tentu bermuatan jurnalistik Islam, sebagaimana halnya masyarakat Islam belum tentu mencerminkan diri sebagai masyarakat Islami. Menurutnya, jurnalistik Islami merujuk pada proses atau aktivitas jurnalistik yang bernapaskan nilai-nilai Islam. Adapun media massa Islam adalah produk dari suatu proses aktivitas jurnalistik yang umumnya berupa media dakwah atau himpunan karya jurnalistik dengan bahan baku konsep ajaran Islam yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Mengapa Keberadaan Pers Islam Begitu Penting Untuk Didiskusikan?
Ilustrasi pers Foto: Nunki Pangaribuan
Kehadiran pers Islam yang acceptable dapat menyuarakan aspirasi Islam, memperjuangkan nilai-nilai Islam, atau membela kepentingan agama dan umat Islam. Hal ini menjadi bagian integral dari kemusliman seseorang yang tidak hanya diukur secara individu tetapi juga secara sosial. Artinya, kehidupan sosial seorang muslim harus berdasarkan Islam. Hal ini yang tampaknya belum dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Inilah tugas pers Islam, mendidik umat.
ADVERTISEMENT
Menyeimbangkan antara kepetingan idealisme dan kepentingan bisnis dalam menjalankan pers Islam, berarti dibutuhkan pengelolaan pers Islam secara profesional. Profesionalitas pers Islam ini diharapkan dapat mempertemukan dua pihak, pengelola pers Islam dan umat Islam. Pengelola membutuhkan dukungan umat Islam dengan menjadi pelanggan tetap dan turut menyebarkannya dengan menjadi agen. Umat Islam yang menjadi pelanggan juga butuh profesionalisme pengelola dan kepuasaan membaca.
Suatu fenomena yang ironis, kebanyakan pers Islam saat ini yang keberadaannya terjepit di antara pers non Islam/universal di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia yang memiliki populasi terbanyak. Rusjdi Hamka dalam Media dan citra Muslim (2005: 486) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan pers Islam sulit berkembang atau berhenti terbit. Terbatasnya modal, kurang professional, minat baca umat yang rendah, dan kurang menarik bagi kalangan menengah ke atas, merupakan empat aspek keterbatasan pers Islam.
ADVERTISEMENT
Pertama, terbatasnya modal. Hal ini ada kaitannya dengan motivasi utama penerbitan pers Islam ialah semangat untuk berdakwah, menyebarkan agama Allah. Para penerbit dan redaktur pers Islam kebayakan terdiri dari satu circle yang sepaham dari satu organisasi. Dengan demikian sulit dihindarkan sifat ekslusivisme, yang berarti kurang tertariknya kalangan luar yang tidak sepaham membaca atau menjadi pelanggan.
Karena yang lebih diutamakan adalah dakwah, segi bisnis dari penerbitan Islam kurang mendapat perhatian. Ditambah dana penerbitan pers Islam yang menggantungkan dari infak atau zakat, biasanya mudah untuk diintervensi isi dan kebijakan redaksinya oleh para tokoh agama yang belum tentu tahu seluk-beluk jurnalistik. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kebebasan, pers Islam harus mencari keuntungan, agar tidak ada yang mendikte, dan yang menjadi atauran mainnya hanya jurnalisme yang Islami. Pers Islam yang independen pada gilirannya tidak akan terjebak pada pers sektarian yang esklusif.
ADVERTISEMENT
Kedua, kurangnya tenaga professional yang terdidik dan memahami seluk beluk penerbitan pers yang meliputi segi bisnis, redaksional, teknik cetak, dan berbagai perangkat canggih. Seperti telah diketahui, pers saat ini telah berkembang sebagai sebuah industri yang memerlukan modal besar dan melibatkan banyak manusia (watawan, karyawan administrasi, percetakan, sampai pada agen dan pengecer). Karena itu, disamping fungsinya sebagai media informasi, penyalur aspirasi umat yang bersifat ideal, pers harus dikelola menurut prinsip ekonomi, tegasnya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi menunjang eksistensi.
Ketiga, minat baca dan selera masyarakat yang masih rendah terhadap media Islam. Hal ini mungkin bersumber dari isi pesan komunikasi yang diterbitkan oleh pers Islam. Tidak sedikit pers Islam menerbitkan suatu produk jurnalistik yang bernuansa kontradiktif, mengandung unsur provokatif, bahkan mencederai nilai-nilai Islam itu sendiri. Pada kenyataannya beberapa kelompok konservatif mendukung gagasan tersebut. Selama ini pasar pers Islam ialah masyarakat rural, di daerah-daerah, seperti kaum santri, aktivis organisasi Islam. Mereka menjadi pelanggan pers Islam karena solidaritas secara nilai maupun keyakinan yang dianut bersama.
ADVERTISEMENT
Keempat, dari ketiga aspek tersebut melahirkan pers Islam yang secara penampilan kurang menarik dan secara isi terlalu berat untuk dikonsumsi oleh orang awam yang banyak di antara mereka adalah kalangan menengah ke atas, mungkin mereka merasa kurang bergengsi membaca media Islam. Begitu pun kalangan pengusaha lebih tertarik mempromosikan perusahaannya pada media non-Islam.
Dilema Pers Islam: antara Islam Normatif dengan Islam Empiris atau Historis
Islam adalah agama dakwah. Umat Islam berkewajiban melaksanakan ajaran Islam dalam keseharian hidupnya dan harus menyampaikan (tabligh) atau mendakwahkan kebenaran ajaran Islam terhadap orang lain. Oleh karena itu, aktivitas dakwah harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim.
Mengacu pada Nurhaya Muhtar, ia menyebutkan ada empat prinsip dasar yang dibentuk oleh cara pandang dalam jurnalisme Islam, yaitu konsep kebenaran (haqq), tabligh, maslahah, dan wasatiyah. Konsep haqq atau kebenaran yang digali dari ajaran Islam yang melarang untuk mencampurkan antara yang haqq (benar) dan bathil (salah). Konsep kedua yaitu tabligh, yang berarti menyebarkan kebenaran dan kebaikan kepada publik. Dalam konteks jurnalisme, tabligh berarti jurnalis harus menjadi pendidik yang mempromosikan sikap positif kepada pembacanya dan mendorong melakukan kebaikan. Konsep maslahah dalam arti mencari kebaikan untuk publik yang sesuai dengan hadis agar kita mencegah keburukan dengan tangan, lidah, atau terakhir hatinya sebagai bentuk selemah-lemahnya iman. Hal ini memberikan pengertian bahwa seorang jurnalis diharapkan bersikap partisipatif, terlibat dalam wacana publik dan sebagai agen perubahan sosial di masyarakat. Konsep terkahir menurut Nurhaya adalah wasatiyah. Bersikap moderat (wasatiyah) dalam konteks jurnalisme berarti impartiality (ketidakberpihakan) dan fairness (keberimbangan). Inti dari moderat menurutnya berarti keadilan.
ADVERTISEMENT
Disisi lain konsep yang ditawarkan oleh Nurhaya Muhtar masih dalam tataran normatif. Sampai saat ini konsep jurnaslime Islam masih dalam fatamorgana, belum ada panduan etis dan praktis yang diterapkan. Problem lain dalam jurnalisme Islam adalah ketiadaan dialog dengan kenyataan hidup hari ini, yakni keragaman pemahaman umat Islam dan modernitas.
Menurut kalangan pers Islam, kegagalan pers Islam justru disebabkan oleh ketidaktepatan dalam merumuskan apa yang disebut segmentasi religius itu. Relative suksessnya beberapa pers Islam pada era reformasi, salah satunya disebabkan oleh ketepatan membidik segmen dalam masyarakat muslim di Indonesia.
Dalam hal tulisan yang bernapaskan Islam tidak berarti berita Islam yang disajikan bersifat normatif, boleh, dan tidak boleh sehingga terasa monolog. Umat Islam yang makin terdidik sekarang ini menginginkan sajian agama yang rasional, yang dapat dicerna dengan akal sehat dan relevan dengan tingkat kehidupan mereka. Penyajian semacam ini disebabkan pandangan umat yang selalu melihat Islam sebagai ajaran semata, yang padahal Islam dapat juga dipandang sebagai realitas empiris.
ADVERTISEMENT
Pers Islam yang dikerjakan secara professional perlu menetapkan segmennya agar pemuatan isi dan gaya penyampaian sesuai dengan segmen tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat An-Nahl ayat 125 mengenai konsep dakwah yang terdiri dari al-hikmah (kebijaksanaan, dalil, hujah yang diterima dengan akal sehat), mauidzati hasanah (ajaran yang baik dan mudah dipahami), dan mujadalah billati hiya ahsan (bertukar pikiran). Untuk para cendikiawan perlu isi dan gaya bil hikmah, untuk umat pada umumnya isi dan gaya penyampaian mauidzati hasanah, dan untuk umat yang telah pilihan mazhabnya atau yang kekeh terhadap pendapatnya, maka isi dan gaya yang mujadalah billati hiya ahsan.
Dengan demikian, jika pers Islam masih mempertahankan ide, konsep, dan sistematika yang usang, maka tidak heran jika “jurnalisme Islam” terbukti tidak perlu adanya dan semakin membenarkan bahwa praktik yang dilakukan oleh jurnalis muslim sekadar melegitimasi kebencian atas Barat atau non-muslim, sebagaimana yang kita lihat selama ini dari media-media yang dinilai radikal.
ADVERTISEMENT