Konten dari Pengguna

Ujian Nasional Merusak Pendidikan Karakter Indonesia

Anju Nofarof Hasudungan
Guru Sejarah SMAN 1 Rupat Penerima Beasiswa LPDP Mahasiswa S3 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
15 April 2022 15:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anju Nofarof Hasudungan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ketika Hasil Menjadi Ukuran, Bukan Proses.

ADVERTISEMENT
Oleh Anju Nofarof Hasudungan, S.Pd., Gr., M.Pd Guru SMAN 1 Rupat, Bengkalis, Riau
Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMK 5 Padang, Sumatera Barat, Senin (25/3). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMK 5 Padang, Sumatera Barat, Senin (25/3). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
Masih perlukah ujian nasional (UN)? Selanjutnya penulis sebut saja UN, karena lebih simple dan familiar. Topik yang kembali muncul kepermukaan. Sebab, kemunculan topik ini selaras dengan setiap pelaksaan UN, terlebih jika UN mengalami tingkat ketidaklulusan yang tinggi. Maka, akan banyak pihak mempertanyakan eksistensi UN sebagai penentu lulus atau tidak lulusnya siswa. Saat ini UN telah menjelma menjadi sosok yang sangat menakutkan bagi para siswa dan guru di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apalagi ditambah tahun 2013 ini, pelaksanaan UN ambru-radul, bisa dikatakan gagal, mulai dari distribusi soal dan waktu yang kacau. Semua ini adalah record baru untuk pelaksanaan UN di Indonesia sejak, pertama kali dilaksanakan tahun ajaran 1984/1985(Ebtanas). Pelaksanaan UN tahun ini menghabiskan uang rakyat sebesar Rp 580 milliar. Nilai yang fantastik untuk sebuah hal yang tidak memberikan kebermanfaatan lebih selain kata Lulus atau Tidak Lulus.
Sekarang jika kita kembalikan ke latarbelakang dan tujuan dicanangkannya pendidikan berkarakter (Character Building). Maka, penulis beranggapan bahwa keberadaan UN adalah perusak pendidikan berkarakter bangsa Indonesia. Mengapa? selain berbagai argumen yang telah penulis sampaikan diawalnya. Ada hal yang jauh lebih subtansial bahwa UN tidak bisa dipertahankan dan tidak dibutuhkan lagi.
ADVERTISEMENT
UN hanya melihat hasil, bukan proses pembelajaran (karakter) yang diperoleh siswa. Apakah 18 karakter yang diharapkan oleh pemerintah itu akan diperoleh dari Si UN. Penulis pikir tidak sesederhana itu mendapatkan apa yang disebut karakter/kepribadian. Karakter itu diperoleh dengan proses panjang, yakni pada masa-masa disekolah. Jika karakter yang diharapkan sama halnya dengan pemerintah inginkan. Maka, siswa harus ditempa seperti besi, yang sebelum di bentuk, harus dibakar dengan api yang membara, lalu dipukul-pukul untuk membentuk besi tersebut.
Sebenarnya, kalau penulis berpikir ekstrem apa gunanya bersekolah, menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Kadang-kadangpun hari libur masih digunakan untuk kegiatan sekolah. Kita menyadari bahwa melalui masa sekolah akan banyak hal yang didapat. Mendapatkan pelajaran kehidupan di sekolah, kenangan yang didapat bersama teman dan guru dan lainnya. Apakah Si UN dapat memberikan itu semua? Tentunya, tidak!
ADVERTISEMENT
UN hanya berisi angka-angka dari 1 sampai 10, hanya itu yang diberikan UN. Tidak sebanding dengan apa yang telah dikorbankan untuk memperoleh namanya pendidikan. “Nilai itu ditentukan hanya di ujung pena” kalau hanya untuk mendapatkan angka-angka, untuk apa kesekolah lagi. Lebih baik ketika UN saja hadir.
UN sekolah dasar (SD) segera akan dihapuskan pada kurikulum 2013. Pemerintah melihat UN SD bukan menjadi bagian dari pendidikan karakter yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini yang berfokus pada pembangunan karakter siswa. Indikasi besar bahwa UN akan segera tamat riwayatnya.
Studi kasus, banyak siswa berprestasi dan juara dikelasnya, tapi ketika UN dia gagal. Bagaimana kita memandang studi kasus yang nyata ini?
Ketika hasil menjadi ukuran, bukan proses. Maka, wajah Indonesia tidak akan berubah. Indonesia akan melahirkan kembali generasi yang korupsi, kerusakan moral, dan generasi yang kehilangan jati diri. Hal ini selaras dengan ketika yang dibangun dari diri seorang manusia hanya keecerdasan otak saja, tidak diselaraskan dengan kecerdasan spritual dan kecerdasan emosional.
ADVERTISEMENT
Tujuan pendidikan menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.”