Konten dari Pengguna

Dari Revolusi Mental Ke Makan Siang Gratis

Teuku Parvinanda
Mantan Jurnalis & Praktisi Komunikasi
12 September 2024 16:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Parvinanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi bertemu Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta. Foto: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi bertemu Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta. Foto: Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Program makan siang gratis yang diusung oleh Prabowo-Gibran dalam kampanye Pilpres 2024 menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan dan dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatnya popularitas dan simpati publik terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Meskipun sejumlah pihak mengkritik pendekatan ini sebagai terlalu sederhana untuk mengatasi masalah stunting yang kompleks, Prabowo tetap berhasil meraih dukungan dari masyarakat yang merasa bahwa janji ini adalah langkah konkret dalam membantu kesejahteraan keluarga kurang mampu.
Namun setelah Prabowo-Gibran resmi terpilih, tantangan mulai terbuka satu persatu. Meski program ini beralih nama menjadi makan bergizi gratis, tak lantas membuat beban anggaran negara berkurang.
Alhasil upaya persuasi lanjutan digencarkan Prabowo-Gibran ke publik dengan dukungan elemen pemerintah petahana, baik di pusat maupun daerah.
Uji coba makan siang gratis. Foto: Kumparan
Wacana terbaru untuk mengganti susu sapi menjadi susu ikan, makin menampakkan wujud asli program ini hanya sebagai alat kampanye yang tidak dipikirkan dengan matang.
Nasi telah menjadi bubur, bahkan sebelum pemerintahan Prabowo-Gibran resmi berkuasa. Rakyat dibuat bingung (jika tidak boleh disebut kecewa) dengan nasib program ini.
ADVERTISEMENT
Apa Kabar Revolusi Mental Jokowi?
Cerita janji manis kampanye yang menjadi amunisi andalan untuk meraih simpati rakyat juga pernah terjadi ketika Joko Widodo maju dalam pilpres 2014.
Jokowi Menggaungkan Revolusi Mental. Foto: Sekretariat Kabinet
Kala itu Jokowi gencar menggaungkan Revolusi Mental yang berfokus pada perubahan mendasar dalam cara berpikir, bertindak, dan berinteraksi masyarakat Indonesia untuk menciptakan karakter yang lebih baik.
Revolusi Mental pernah diusung Presiden Soekarno, namun dalam gegap gempita pemilu, konsep ini disambut dengan antusiasme tinggi oleh rakyat, yang melihatnya sebagai solusi bagi berbagai masalah sosial dan birokrasi, termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sudah mengakar dalam sistem pemerintahan.
Namun, kenyataan berbicara lain. Bukannya menjadi bangsa yang berintegritas dan bebas dari praktik KKN, Indonesia justru semakin terjebak dalam lingkaran korupsi, kolusi, dan nepotisme.
ADVERTISEMENT
Korupsi semakin merajalela dengan modus yang makin berani dan bervariasi. Rakyat bingung siapa lagi yang tersisa untuk dipercaya, siapa lagi yang bisa dikatakan sebagai penyelenggara negara yang bersih.
Rasanya semua eselon seantero nusantara sudah ada perwakilan dibui karena korupsi. Bahkan swasta pun ikut membesarkan keberadaan korupsi.
Kasus demi kasus terus bermunculan mencolok akal dan nurani rakyat. Lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas ikut kena virus.
Kasus korupsi besar, seperti yang melibatkan Asabri, Jiwasraya, PT Timah menunjukkan bahwa mentalitas korup di birokrasi belum berubah, meski Revolusi Mental telah menjadi jargon nasional.
Kolusi dan nepotisme tak perlu dijelaskan panjang lebar situasinya. Salah satu contoh nyata adalah praktik bagi-bagi kursi yang semakin kental di era Jokowi. Para pendukung politiknya dan kerabat dekat mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat Revolusi Mental. Seolah posisi-posisi ini dijadikan alat transaksi politik, di mana dukungan diberikan dengan imbalan jabatan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi dinasti politik, semua muncul bertubi-tubi tanpa jeda yang memberikan rakyat untuk bernapas sejenak dan mencerna kebrutalan penganiayaan demokrasi yang terjadi.
Lembaga negara juga saling berkolaborasi dalam permufakatan yang merugikan rakyat dan menciderai demokrasi. Nepotisme makin menjadi dan terang benderang. Semua lebih politis ketimbang kompetensi.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip integritas dan etos kerja yang dicanangkan dalam Revolusi Mental. Nampaknya Revolusi Mental hanya tinggal slogan, sementara praktik KKN terus subur.
Pada titik ini, sulit untuk membedakan apakah Jokowi benar-benar gagal dalam Revolusi Mental atau sengaja menggunakan program tersebut sebagai alat politik semata.
Alih-alih menjadi panutan dalam integritas dan anti-KKN, Jokowi justru terjebak dalam praktik yang bahkan lebih parah dari rezim sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Program ini tidak hanya gagal menciptakan masyarakat yang lebih berintegritas dan bebas dari KKN, tetapi juga menunjukkan kemunduran mentalitas di dalam pemerintahan sendiri.
Praktik bagi-bagi kursi, nepotisme, dan korupsi yang semakin merajalela menjadi bukti bahwa janji Revolusi Mental Jokowi tidak lebih dari sekadar retorika politik yang jauh dari kenyataan. Dalam kondisi ini, tampaknya Revolusi Mental yang sebenarnya harus dimulai dari Jokowi sendiri.
Janji Sekadar Janji
Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi dan Makan Siang Gratis yang dicanangkan Prabowo menunjukkan betapa sulitnya mengubah janji populis menjadi kebijakan yang benar-benar berdampak. Janji manis menjadi alat elektoral yang nampak begitu indah saat disketsa.
Tanpa perencanaan matang dan komitmen yang kuat, janji-janji kampanye besar bisa dengan mudah menjadi alat politik yang tidak menghasilkan perubahan nyata, dan akhirnya justru menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT