Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Reformasi Polri: Slogan atau Nyata untuk Rakyat?
8 Februari 2025 13:27 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Teuku Parvinanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi foto pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkj0yw1pbkjh5vqwcy8e45qj.jpg)
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu belakangan, masyarakat Indonesia kembali menelan banyak pil pahit secara bertubi-tubi yang melibatkan aparat kepolisian. Mulai dari penembakan yang melibatkan seorang siswa SMA di Semarang, berbagai penolakan laporan warga yang justru menambah luka sosial, pemerasan terstruktur DWP, hingga pengawalan yang arogan dari pejabat negara yang seharusnya melindungi rakyat, bukan malah menindas mereka. Kasus-kasus ini menggambarkan sebuah ironi, di mana semboyan Polri tentang MENGAYOMI, MELINDUNGI, MELAYANI seolah hanya menjadi kata-kata etalase.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap kasus tersebut, selalu ada istilah "oknum" yang digulirkan oleh Polri. Kata ini seakan menjadi pembenaran bahwa yang terlibat dalam permasalahan adalah segelintir individu, bukan sebuah masalah sistemik. Tetapi apakah kita benar-benar percaya bahwa apa yang terjadi hanya sebatas perilaku segelintir "oknum"? Ataukah ini justru merupakan cerminan dari sistem yang sudah mengakar? Setiap kasus menunjukkan bahwa pola penyalahgunaan kekuasaan, arogansi, dan korupsi bukanlah kejadian langka, melainkan sebuah rutinitas yang sudah menjadi rahasia umum. Jika ini hanya terjadi sesekali, mungkin kita masih bisa memakluminya, tetapi kenyataannya, ini sudah menjadi kebiasaan yang mengakar di tubuh Polri.
Lembaga-lembaga survei kredibel di Indonesia selalu melaporkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri masih cukup tinggi. Ini adalah ironi besar. Apakah hasil survei ini benar-benar mencerminkan kenyataan yang ada di lapangan? Ataukah masyarakat sudah terlalu terbiasa dengan fenomena “oknum” dan membiarkan ketidakadilan terus berlanjut? Dalam banyak kasus, kita sering mendengar penegasan bahwa Polri harus berkomitmen untuk melakukan reformasi. Namun, kenyataannya, POLRI tampaknya tidak pernah serius untuk memperbaiki diri. Reformasi Polri terasa hanya sebagai sebuah lip service belaka yang tidak pernah diterjemahkan dalam tindakan nyata. Polri seolah kebal terhadap kritik, bahkan terkadang menggunakan kekuasaannya untuk menutup-nutupi kesalahan yang ada.
ADVERTISEMENT
Semboyan Polri “Mengayomi, Melindungi, dan Melayani rakyat" menjadi sangat kontras ketika disandingkan dengan kenyataan yang ada. Kita semua tahu bahwa banyak kasus yang melibatkan Polri berakhir dengan perlakuan sewenang-wenang terhadap rakyat. Lantas, di mana implementasi dari semboyan itu? Polri yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru terlibat dalam penindasan dan eksploitasi terhadap mereka. Bagaimana bisa mereka mengklaim diri sebagai pelindung ketika banyak yang justru merasa ketakutan dan teraniaya oleh aparat kepolisian? Di mana penerapan “PRESISI” (prediktif, responsibiltas, transparan dan berkeadilan) yang digaungkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo?
Tidak hanya itu, kita juga harus berbicara tentang hedonisme yang semakin jelas terlihat di tubuh Polri. Gaya hidup mewah yang tak sebanding dengan gaji seorang polisi (diatur PP Nomor 7 Tahun 2024), sering kali tersebar luas di media sosial. Polri, baik prajurit maupun perwira tinggi, termasuk anggota keluarganya, tidak lagi malu menunjukkan kekayaan yang mereka peroleh. Mereka berdalih dengan berbagai alasan seperti memiliki usaha pribadi atau warisan keluarga, tetapi kita tahu betul bahwa gaya hidup mewah ini berhubungan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika rakyat berjuang memenuhi kebutuhan hidup mereka, anggota Polri dengan terang-terangan menikmati kekayaan yang mereka dapatkan dari cara yang tidak jelas asal-usulnya. Jika pendapat ini keliru, maka Polri harus menjelaskannya kepada masyarakat. Bukan malah menggunakan kekuasaan untuk mengkriminalisasi pihak yang menyuarakan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Mengutip pengalaman terdekat. Saya memiliki tetangga yang bukan pejabat ataupun petinggi TNI-Polri, namun ia memiliki mobil bernomor polisi RF. Setelah Polri mengganti sistem nopol khusus menjadi berawalan Z, mobil tetangga saya juga berganti menjadi berakhiran Z. Bagaimana bisa seorang pedagang di Tanah Abang mempunyai mobil dengan nomor polisi khusus yang notabene dikeluarkan oleh Polri sebagai instansi yang memiliki kewenangan menerbitkannya? Saya yakin pertanyaan semacam ini berputar di banyak benak masyarakat Indonesia.
Bagaimana kita bisa percaya bahwa Polri masih memiliki niat untuk menegakkan hukum, membela yang lemah, dan menjadi teladan bagi masyarakat? Apa yang terjadi justru sebaliknya: hukum yang lemah, tebang pilih dalam penegakan keadilan, menindas yang lemah, dan lebih memilih untuk melindungi yang kaya dan berkuasa. Apakah ini yang kita harapkan dari lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menegakkan keadilan di negeri ini?
ADVERTISEMENT
Reformasi Polri sudah terlalu lama menjadi angan-angan. Sudah saatnya kita bertanya, mengapa reformasi yang seharusnya membawa perubahan tidak pernah terwujud dengan nyata? Mengapa kepercayaan yang terus dibangun melalui hasil survei tidak berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan? Polri wajib introspeksi diri dan menunjukkan komitmen yang lebih nyata untuk mengubah diri, bukan hanya melalui kata-kata tetapi juga melalui tindakan yang sesuai dengan harapan rakyat.
Jika Polri ingin mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat, maka sudah saatnya Polri benar-benar mengayomi, melindungi, dan melayani, bukan justru menjadi bagian dari masalah yang menindas rakyat dan berdiri dengan gagah di atas penderitaan rakyat yang seharusnya dilindungi.
Jika Presiden Prabowo bersungguh-sungguh saat mengatakan dalam Rapat Pimpinan TNI-POLRI 2025 bahwa TNI-Polri digaji oleh rakyat dan seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat. Seharusnya rakyat Indonesia juga diberi keleluasan memberikan kritik membangun tanpa khawatir akan mendapat masalah hukum. Namun sekali lagi, pernyataan seorang presiden akan menjadi retorika semata jika tidak dilanjutkan dengan tindakan nyata dalam bentuk kebijakan yang berkelanjutan. Jangan-jangan pengingat dari presiden tersebut hanya menjadi embusan angin yang tidak dijalankan. Polri masih terus terjebak dalam praktik-praktik yang justru menguntungkan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan rakyat. Ini adalah sebuah ironi besar, karena meskipun arahan dari presiden sudah jelas, perubahan yang diharapkan masih jauh dari kenyataan.
ADVERTISEMENT
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat meresmikan monumen mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso di Pekalongan (11 November 2023) mengatakan, "Beliau adalah seorang yang jujur, sederhana, berani, berintegritas, dan juga mengambil keputusan untuk menjadi seorang abdi negara. Teladan yang harus kita warisi keteladanannya, khususnya oleh seluruh personel kepolisian saat ini maupun masa mendatang agar Polri bisa semakin bertumbuh ke arah yang lebih baik.” Bapak Kapolri, rakyat Indonesia menantikan wujud nyata dari pernyataan Anda!