Konten dari Pengguna

Konflik dalam Partai Politik dan Koalisi di Indonesia

Nur Annisa Fauzianah
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
24 November 2024 17:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Annisa Fauzianah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik adalah hal yang tidak bisa terpisahkan bagi setiap masyarakat ataupun organisasi. Tidak ada masyarakat atau organisasi yang mampu terbebas dari konflik sepenuhnya. Dalam masyarakat, konflik bisa muncul dalam bentuk kekerasan maupun non-kekerasan. Konflik kekerasan melibatkan tindakan yang bisa saling menyakiti juga menghancurkan pihak-pihak yang terlibat. Sedangkan konflik non-kekerasan bisa muncul karena perbedaan pendapat atau perbedaan gagasan. Dalam sistem demokrasi, hal itu merupakan bagian dari dinamika demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tantangan utamanya yaitu bagaimana memastikan konflik yang muncul supaya tidak menyebabkan keruntuhan tatanan sosial maupun merusak keutuhan organisasi. Dengan kata lain, konflik semestinya harus diolah agar bersifat membangun, bukannya merusak. Hal ini dapat menjadi sebuah tantangan yang bisa dihadapi supaya konflik perbedaan pendapat dapat memberikan dorongan positif bagi kemajuan organisasi. Sayangnya di Indonesia, peran partai politik belum sepenuhnya optimal. Bukannya menjadi agen yang bisa menyelesaikan konflik, justru partai politik sering terjebak dalam konflik internal yang menjadikan mereka gagal menjalankan peran tersebut.
Konflik dapat diartikan sebagai akibat dari keberadaannya perbedaan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya. Kepentingan politik adalah salah satu bentuk perbedaan kepentingan tersebut. Terdapat tiga jenis konflik politik, yaitu:
ADVERTISEMENT
1) Konflik yang muncul karena perebutan posisi atau kekuasaan politik,
2) Konflik yang disebabkan oleh perbedaan terkait kebijakan politik, dan
3) Konflik politik terjadi karena perbedaan pandangan terhadap institusi politik.
Menurut Maurice Duverger, motif seseorang dalam meraih dan juga mempertahankan kekuasaan dapat dilandasi oleh motif ekonomi dan motif altruistik. Ia menjelaskan bahwa dua doktrin tekait perjungan politik, doktrin liberal menyatakan bahwa motif politik sejalan dengan doktrin teori "struggle for life". Ini adalah sebagai bentuk perjuangan untuk mendapatkan posisi teratas dalam jabatan politik, dimana persaingannya dipicu oleh motif ekonomi dan kepentingan pribadi. Sebaliknya, pandangan konservatif dari doktrin kedua berpendapat bahwa perjuangan politik didasarkan oleh motif altruistik atau kepedulian kepada kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Pendapat. yang disampaikan oleh Duverger sejalan dengan pendapat oleh Max Weber, meski dengan cara penyampaian yang berbeda. Weber mengelompokkan orang yang terlibat dalam politik menjadi dua jenis. Pertama, mereka yang turun ke politik sebagai tujuan hidup atau sebuah pengabdian. Kedua, mereka yang turun ke politik untuk mencari pekerjaan dan penghidupan. Politik menjadi arena perjuangan untuk mewujudkan nilai-nilai idealisme jika yang diutamakan adalah panggilan hidup. Namun, politik akan didominasi oleh pragratisme dan oportunisme jika yang diutamakannya adalah penghidupan. Berdasarkan pandangan Duverger dan Weber, konflik internal yang melanda partai-partai politik timbul karena mereka lebih berorientasi pada kekuasaan, bukan dengan dorongan panggilan hidup dalam dunia politik.
Selain disebabkan oleh perebutan kekuasaan, konflik internal partai politik juga mengalami adanya faksionalisme. Faksi adalah kelompok di dalam partai yang anggotanya memiliki kesamaan identitas dan tujuan, serta bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Tujuan faksi sangat bervariasi, diantaranya seperti menjaga kontrol atas partai, memengaruhi strategi dan kebijakan partai, dan memperkenalkan nilai-nilai baru. Terdapat dua unsur penting dari faksi, yaitu sub-kelompok yang merupakan bagian kelompok yang lebih besar dan sub-kelompok tersebut bersatu karena kesamaan identitas maupun tujuan.
credit by pexels.com
Dijelaskan oleh Ian McAllister bahwa faksi merupakan kekuatan-kekuatan yang bersaing untuk memperoleh pengaruh dalam struktur partai, terutama perumusan kebijakan dan pemilihan kandidat untuk jabatan politik, baik terjadi di partai maupun pemerintahan. Faksi politik kelompok bersaing dengan faksi lain untuk mendapatkan keuntungan kekuasaan dalam ruang lingkup partai yang lebih besar, yang di mana mereka bisa beroperasi. Ditambahkan oleh David Hine, faksi dapat menjadi sumber konflik internal dalam partai ketika hubungan antar faksi didorong oleh kepentingan individu dan kepentingan kelompok daripada kepentingan ideologi. Dalam partai politik, faksi dapat mencerminkan beberapa motif, seperti perbedaan ideologi, isu sosial-budaya, atau persaingan kepemimpinan. Walaupun istilah faksi sering dianggap bertentangan dengan istilah kohesi, faksi dalam partai politik dapat dilihat sebagai sesuatu yang sangat kontruksif.
ADVERTISEMENT
Dalam partai politik, konflik internal dapat dipicu oleh pilihan koalisi. Koalisi merupakan kesepakatan atau sebuah aliansi antara partai-partai politik untuk mencapai sebuah tujuan bersama yang membentuk pemerintahan, idealnya yang tidak menimbulkan konflik antara partai-partai tersebut. Namun, di Indonesia justru konflik internal partai sering terjadi akibat keputusan koalisi. Konflik ini kemungkinan muncul bukan karena koalisi dibentuk atas dasar kesamaan ideologi atau platform partai, melainkan karena didorong oleh kepentingan jangka pendek.
Dalam ilmu politik, koalisi umumnya dibedakan menjadi dua jenis: policy blind coalition, yang dibentuk semata untuk memperluas kekuasaan, dan policy-based coalition, yang didasarkan pada kesamaan tujuan kebijakan. Koalisi yang terbentuk atas dasar kepentingan jangka pendek sering kali menambah ketegangan antar partai dan mempersulit tercapainya stabilitas politik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, meskipun konflik dalam partai politik tidak dapat dihindari, penting bagi para pemimpin dan anggota partai untuk mengelola konflik tersebut dengan bijak. Melalui pengelolaan yang konstruktif, konflik dapat menjadi peluang untuk memperkuat partai dan menghasilkan kebijakan yang lebih baik bagi kepentingan rakyat.
Penulis: Nur Annisa Fauzianah, Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).