Belajar dari Rumah (BDR): Siapa yang Paling Menderita, Guru atau Orang Tua?

Anna Desiyanti Rahmanhadi
Alumni dari University of Birmingham pada program Master of Education in TEFL. Lebih dari 12 tahun pengalaman mengajar Bahasa Inggris di pendidikan formal maupun informal. The Founder of @menkay.indonesia. Ibu Rumah Tangga dengan dua jagoan.
Konten dari Pengguna
25 Januari 2021 5:25 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anna Desiyanti Rahmanhadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak belajar di rumah Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak belajar di rumah Foto: Shutterstock

Dampak Pandemi Corona Pada Dunia Pendidikan

ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari laman World O Meters, total kasus positif virus corona di dunia hingga kini mencapai hampir 100 juta orang, dengan total kasus kematian hampir mencapai lebih dari 2 juta jiwa. Ancaman virus mematikan yang berasal dari Wuhan, China ini meluluh-lantakkan seluruh sendi kehidupan umat manusia di dunia tak terkecuali di Indonesia. Setiap individu dari anak-anak hingga lansia harus rela berdiam di rumah dan menjalankan protokol kesehatan agar tak terpapar hingga batas waktu yang tak dapat di tentukan. Lebih buruk lagi, kini virus tersebut telah bermutasi dengan daya tular yang lebih ganas dan mematikan, sehingga pemerintah harus menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.
ADVERTISEMENT
Salah satu bidang yang terdampak fatal dari menyebarnya virus ini adalah bidang pendidikan. Kontak fisik dan kerumunan masa yang tak dapat dihindari adalah alasan mengapa kegiatan Belajar Dari Rumah (BDR) menjadi opsi yang mau tak mau pemerintah harus ambil. Kebijakan ini didasarkan pada Surat Edaran (SE) Mendikbud No 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Langkah ini harus ditempuh mengingat sulitnya siswa dari mulai tingkat PAUD hingga Universitas untuk berdisplin dalam menjalankan protokol kesehatan; menjaga jarak sosial (Social Distancing), rajin mencuci tangan dan mengenakan masker. Selain daripada itu, anak-anak adalah usia rentan yang dapat dengan mudah terjangkit virus corona karena sistem imun dan daya tahan tubuh mereka yang masih relatif lemah.
ADVERTISEMENT

Problematika Orang Tua dan Guru

Dengan berlakunya sistem pembelajaran BDR ini, muncul problematika baru bagi para orang tua. Selain mereka harus selalu stand by mendampingi sang buah hati dengan kegiatan BDR setiap pagi secara daring, merekapun harus rela kembali berkutat dengan buku sekolah demi menggantikan peran guru di sekolah; menjelaskan materi dan mengawasi anak belajar. Akibatnya, tidak sedikit orang tua yang menjadi frustrasi karena peran ganda mereka selama masa pandemi ini.
Banyak pula orang tua siswa yang mengeluhkan betapa sulitnya mendisiplinkan anak ketika kegiatan BDR berlangsung. Gadget dan televisi menjadi distraksi terbesar bagi anak, sehingga orang tua menjadi permisif dan tujuan pembelajaran menjadi tidak tercapai. Selain itu, jumlah anak dalam sebuah keluarga juga sangat berpengaruh bagi efektifitas kegiatan BDR. Keluarga dengan jumlah anak lebih dari satu dan kesemuanya berada pada usia sekolah menjadikan kegiatan BDR ini semakin memberatkan. Belum lagi dengan penugasan secara beruntun yang tidak disesuaikan dengan rencana pembelajaran dan materi pelajaran dalam kondisi pandemi, membuat pekerjaan rumah menumpuk dan menjadikannya terbengkalai hingga akhirnya tidak sedikit orang tua yang mengerjakan sendiri tugas-tugas tersebut. Hal ini diperkuat dengan hasil riset Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang menyebutkan bahwa 77.8% siswa tidak menyukai BDR karena tugas menumpuk antar guru dengan deadline yang pendek sehingga membuat mereka kurang istirahat dan kelelahan.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang tua merasa sangat dirugikan karena hal ini. Pasalnya, selain beban yang disebutkan di atas, mereka pun tetap harus membayar SPP walaupun sebagian sekolah swasta memberikan potongan 10%. Mereka berpendapat bahwa hal ini tidak fair karena guru dianggap tidak bekerja sehingga ada anggapan bahwa guru makan gaji buta.
Di lain pihak, para guru dituntut untuk menjelaskan materi pelajaran secara optimal di tengah keterbatasan pembelajaran secara daring. Tidak hanya harus menyiapkan konten materi berupa slide power point, e-book, video pembelajaran dll. dengan menarik dan berbeda-beda setiap harinya, merekapun harus mengkoreksi tugas dan memberikan feedback dengan metode yang berbeda bukan hanya pada satu atau dua orang siswa saja, tetapi belasan bahkan puluhan. Tentu saja hal ini sangat menyita waktu para guru hingga harus lembur diluar jam kerja semestinya. Lantas bagaimana bila guru memiliki anak yang harus melakukan kegiatan BDR juga? Sebagai makhluk sosial, disamping sebagai guru mereka pun memiliki tanggung jawab moral sebagai orang tua untuk mendampingi buah hati mereka belajar. Sementara itu berkutat dengan aplikasi pembelajaran daring seperti Whatsapp group, Zoom meeting, Google classroom, dan Google meeting bagi sebagian besar guru yang terbiasa dengan pembelajaran luring bukanlah perkara mudah. Hal ini didukung dengan fakta mencengangkan dari KPAI bahwa hanya ada sekitar 8% guru saja yang paham mengoperasikan gawai untuk pembelajaran daring. Tentu saja ini berakibat pada lebih berorientasinya kegiatan penilaian atau aspek standar pelaksanaan BDR, terlebih lagi, masih ada beberapa guru yang menerapkan BDR seperti jadwal sekolah normal.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pengamatan penulis, guru-guru juga diawasi kinerja dan kehadirannya setiap hari secara ketat. Tak ayal, para pengawas sekolah pun turun tangan melakukan fungsi nya yaitu mengawasi kegiatan pembelajaran dengan masuk ke ruang-ruang Zoom meeting atau Google meeting untuk mengecek apakah guru mengajar dengan cakap atau hanya memberi penugasan tanpa memberi umpan balik sama sekali. Sementara itu dari segi finansial, pemerintah telah meluncurkan program bantuan kuota untuk para guru dan siswa. Akan tetapi, sebagian besar guru baik sekolah umum maupun swasta mengaku mendapatkan pemotongan gaji sebesar 5 sampai 10%. Ada pula yang mengaku bahwa gaji mereka di potong 50% dan sisanya ditangguhkan beberapa bulan kebelakang.

Dibutuhkannya Toleransi Antar Guru dan Orang Tua

Lantas jika ditanya siapakah yang paling menderita? tentunya kedua belah pihak akan mengeklaim sebagai pihak yang paling dirugikan. Namun pada prinsipnya, dalam kondisi force majeure seperti saat pandemi ini, sikap tenggang rasa atau saling memahami satu sama lain harus dijunjung tinggi. Bagi para guru hendaknya jangan terlalu berlebihan dalam penugasan dan penetapan deadline. Pemberian tugas harus disertai pertimbangan beban belajar siswa yang logis dan terukur sehingga siswa terhindar dari tekanan yang berdampak buruk bagi kesehatan psikis dan psikologis mereka. Tentunya kita tidak dapat memaksakan siswa untuk mencapai kompetensi ideal dalam masa pandemi dengan segala keterbatasan pembelajaran daring. Penyesuaian pada standar penilaian harian, ujian tengah smester, ujian akhir semester dan lain sebagainya sudah selayaknya di lakukan. Dengan mengaplikasikan pembelajaran berbasis proyek dengan deadline yang flexible misalnya, akan lebih memberikan peluang kepada siswa untuk mempelajari konsep secara mendalam sekaligus juga dapat meningkatkan hasil belajar mereka. Dalam hal ini, kompetensi guru menjadi penentu utama kegiatan BDR sehingga mau tak mau mereka harus terus mengasah kompetensi dan keterampilan dengan kebijakan sekolah yang terus mendukung mereka untuk belajar. Pihak terkait seperti kepala sekolah dan pengawas sekolah juga perlu mengevaluasi pembelajaran dengan lebih cermat dan tepat sasaran agar tujuan BDR ini dapat tercapai secara efektif.
ADVERTISEMENT
Sementara bagi para orang tua, seyogyanya tetap mendampingi anak belajar tanpa terlalu mengandalkan guru dan berprasangka negatif. Pendampingan juga menjadi salah satu terciptanya bonding yang kuat antara anak dan orang tua yang mungkin saja selama ini terkikis karena kesibukan masing-masing. Para orang tua dapat mengalokasikan waktu untuk sekadar belajar bersama anak dari media pembelajaran yang tersedia secara daring seperti YouTube, Ruangguru, Zenius, dsb. untuk memperdalam materi, terutama yang kurang dipahami. Di sisi lain, orang tua juga dapat mendorong anak untuk membuat jadwal kegiatan dan mengingatkan anak untuk mengerjakan tugas harian. Cobalah untuk lebih berdisiplin dengan menentukan waktu pemberian gadget dan menonton televisi, sehingga anak mengingat kegiatan BDR dan deadline tugas mereka agar tidak bertumpuk dan terbengkalai. Anak adalah peniru ulung, maka sebagai orang tua, tularkanlah motivasi dan semangat positif di masa pandemi ini sehingga anak tetap semangat. Menciptakan inovasi dan variasi baru dalam berkegiatan di rumah juga menjadi salah satu cara agar anak tidak jenuh menjalankan kegiatan BDR.
ADVERTISEMENT

Tugas Para Pemangku Kebijakan

Tentu saja rekomendasi lebih jauh adalah dibutuhkannya komunikasi, kolaborasi, kerja sama, dan koordinasi yang baik antara guru, orang tua dan para pemangku kebijakan (stakeholders) dengan baik sehingga kegiatan BDR ini menjadi lebih efektif. Selalu beri celah untuk berkompromi dengan evaluasi bertahap mengingat konteks, kondisi dan latar belakang keluarga siswa berbeda-beda terutama dari segi pendidikan dan ekonomi. Saran penulis bagi pemangku kebijakan, dalam hal ini Kemendikbud, untuk mulai mempertimbangkan pembuatan kurikulum yang lebih fleksibel untuk masa Pandemi seperti sekarang ini yang mungkin saja dapat terjadi lagi di masa mendatang.