Joe Biden dan Harapan Tak Berlebih Bagi Kemerdekaan Palestina

Anna Zakiyyah Derajat
Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Konten dari Pengguna
10 November 2020 5:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anna Zakiyyah Derajat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Deklarasi Belfour merupakan penyebab munculnya konflik yang terus memanas antara militer Israel dan warga sipil Palestina. Konfluk ini terjadi sejak 1948, hingga saat ini PBB selaku organisasi keamanan dunia, telah dan terus berupaya menyelesaikan perselisihan antara Palestina-Israel. PBB telah berupaya melalui beberapa resolusi untuk menciptakan perdamaian di antara dua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Resolusi-resolusi tersebut adalah Resolusi No. 181 (1947), No. 2421 (1967), No. 338 (1973) dan Resolusi Dewan Keamanan No. 694 (1991). Selain itu, PBB juga telah menyelenggarakan konferensi yang dikenal dengan Konferensi Madrid (1991) dan Perundingan Oslo (1993) yang lebih dikenal dengan Perundingan Gaza–Ariha.
Di tahun 2017, konflik terus memanas di jalur Gaza dan menimbulkan banyak korban
dari kedua pihak. Pada akhir tahun 2017, Presiden Amerika Serikat (selanjutnya ditulis AS), Donald Trump (selanjutnya ditulis Trump) telah memicu konflik memanas dengan pernyataan keberpihakannya terhadap Israel. Trump menyatakan untuk melakukan pemindahan Kedutaan Besar (Kedubes) AS ke Kota Yerusalem, yang awalnya berada di Kota Tel Aviv.
Rencana pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem memicu kecaman dari masyarakat internasional. Kebijakan AS pada masa Trump dianggap telah melanggar resolusi 1967 mengenai status wilayah Yerusalem yang berada di zona pertengahan tanpa pengakuan dari kedua belah pihak. Keputusan tersebut memunculkan kecaman dan tindakan protes di beberapa negara seperti Indonesia, Turki, Argentina dan negara-negara lain yang merasa tindakan Trump bisa memicu terjadinya krisis kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Kota Yerusalem merupakan kawasan pemicu konflik sepanjang masa antara Palestina-Israel. Kota ini dianggap sakral bagi umat Islam dan kaum Yahudi, sehingga menjadi tempat yang diperebutkan oleh Palestina dan Israel. Di kota tersebut terdapat bangunan bersejarah Masjidil Aqsa. Pada mulanya, masjidil Aqsa adalah lapangan luas yang berlokasi di atas bukit Zion. Selain menjadi kiblat sholat bagi umat Islam, Masjidil Aqsa juga merupakan tempat bersejarah bagi umat Islam di seluruh dunia.
Runtuhnya kerajaan Turki Ottoman oleh kekuatan Inggris beserta para sekutunya (1916)
merupakan permulaan dari lahirnya konflik Palestina-Israel. Kemudian pada tahun 1917, James Belfour selaku Menteri Luar Negeri Inggris pada masa itu mengemukakan keinginannya untuk menjadikan Palestina sebagai pemukiman kaum Yahudi. Kemudian lahirlah Deklarasi Belfour, sejak saat itu konflik terus bergulir.
ADVERTISEMENT
Kemudian, konflik memanas kembali pada tahun 2017, ketika Trump dalam pidatonya menyatakan bahwa dalam konflik Palestina-Israel selama ini selalu menggunakan formula yang sama dan dia mengklaim bahwa dirinya memiliki pendekatan baru yaitu dengan mengakui Kota Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel secara resmi. Trump selanjutnya meyakinkan bahwa tindakannya tersebut merupakan upaya dalam mewujudkan perdamaian antara Israel-Palestina.
Implikasi dari pernyataan mengenai status Yerusalem adalah munculnya kecaman keras dari sejumlah negara atas keputusannya untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem. Selain melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB tentang status Yerusalem juga dikhawatirkan mengenai keamanan manusia. Hal yang paling ditakutkan oleh sejumlah negara adalah akan semakin memanasnya konflik Palestina-Israel sehingga akan terjadi (kembali) krisis kemanusiaan yang parah. Sehingga atas dasar tersebut, 128 negara menolak keputusan AS dan berpihak kepada Palestina dalam Sidang darurat Majelis Umum PBB.
ADVERTISEMENT
Komitmen AS dalam mempertahankan hubungan dengan Israel begitu sangat jelas dan sekaligus pula menempatkan Israel sebagai mitra khusus AS. Hal ini didukung dengan banyaknya kebijakan AS di Timur Tengah yang menggambarkan dukungan dan keberpihakan AS terhadap Israel.
Dari status istimewa yang diperoleh dari AS, Israel mampu memperoleh dukungan berupa dukungan ekonomi, militer, dan politik yang begitu luar biasa dari AS.
Kebijakan Trump dalam Pengurangan Dana Bantuan UNRWA
Pada bulan September 2018, Amerika mengurangi dana yang disalurkan untuk United Nations Relief and Work Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA). UNRWA merupakan salah satu lembaga PBB untuk menyalurkan bantuan bagi pengungsi Palestina yang berada di Timur Jauh. Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Heather Nauert mengatakan bahwa UNRWA memiliki cacat yang tidak terselamatkan dengan mengatakan UNRWA terus-menerus menambah jumlah keturunan pengungsi. Amerika memutuskan untuk tidak lagi memberikan bantuan dan dana tambahan bagi UNRWA.
ADVERTISEMENT
Pengurangan dana yang dilakukan Amerika kepada UNRWA diawali setelah diselenggarakannya sidang umum PBB yang membahas tentang status Yerussalem. Dalam pelaksanaan sidang, Presiden Trump mengancam akan memotong dana bantuan kepada negara-negara yang mendukung draft resolusi PBB yang telah memintah Amerika untuk menarik keputusannya mengakui Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel.
Harapan Palestina Atas Kemenangan Biden
Presiden Otoritas Palestina (PA), Mahmoud Abbas, meminta presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk memperkuat hubungan antara Palestina dan Washington yang runtuh selama masa jabatan Presiden Donald Trump. Selain itu, harapan Abbas terhadap pemerintahan AS di bawah Biden untuk memperjuangkan perdamaian, stabilitas, dan keamanan Timur Tengah.
Abbas juga memiliki harapan penuh kepada Biden untuk segera mengembalikan Kedutaan Besar AS dari Yerussalem ke Tel Aviv, membalikkan langkah yang dibuat Trump pada tahun 2018, dan membatalkan pengakuan Trump atas Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel. Namun, menurut salah satu analis politik Palestina, Hani al-Masri, akan sangat sulit bagi Palestina untuk melanjutkan boikot terhadap AS, meskipun Biden tetap moderat.
ADVERTISEMENT