news-card-video
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Agenda Setting, Berita Pesanan, dan Cara Media Menipu Kita demi Keuntungan

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
27 Maret 2025 3:54 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gerechtigkeitsbrunnen in Bern, Schweiz. Sumber: Unsplash/Andreas Fischinger
zoom-in-whitePerbesar
Gerechtigkeitsbrunnen in Bern, Schweiz. Sumber: Unsplash/Andreas Fischinger
ADVERTISEMENT
Kita telah terjebak pada gempuran informasi masif, dan tentunya hal ini berasal dari media massa yang dianggap sebagai cermin realitas. Namun, bagaimana kalau selama ini cermin sakral realitas ini sengaja diburamkan untuk menutupi borok sosial yang makin membusuk? Dimulai dari kasus korupsi yang minim eksposur, kasus polisi menembak warga sipil, atau narasi stabilitas ekonomi di tengah saham IHSG yang sedang anjlok.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh di atas merupakan bukti sahih bahwa kekuatan agenda setting media berpusat pada kemampuannya untuk memanipulasi masyarakat. Proses ini menghasilkan sebuah konten yang menonjolkan isu tertentu, sehingga bertujuan untuk membentuk persepsi publik, sekaligus senjata untuk melanggengkan kepentingan terselubung.
Keberadaan berita pesanan adalah produk yang lahir dari rahim pragmatisme industri media. Produk ini bukan saja mengkhianati prinsip jurnalisme, tetapi juga adalah racun arsenik yang bisa membunuh kebenaran tanpa kita sadari. Menghabisi nalar pembacanya, sekaligus mengaburkan kebenaran empirik yang akhirnya membiarkan akar masalah utamanya semakin membusuk. Sampai kapan kita akan membiarkan media massa pesanan ini menggerogoti kebenaran dan akal sehat kita?
Agenda Setting: Mekanisme Media Membentuk Realitas
Media massa bukan sekadar memberitakan peristiwa, tetapi juga menentukan apa yang layak menjadi perhatian publik, sekaligus meraup keuntungan besar. Inilah konsep utama dalam agenda setting, yang dirumuskan oleh McCombus dan Shaw pada 1972 silam. Premis utamanya berkutat pada bagaimana media mampu menyaring realitas, lalu memaksa masyarakat untuk mempercayai bahwa sajian kontennya sebagai prioritas penting. Proses ini dimulai dari gatekeeping—seleksi ketat oleh redaksi atas ratusan peristiwa harian. Menurut Shoemaker dan Vos (2009), pilihan ini sering bias: konflik sepele sepak bola nasional bisa mendominasi halaman depan, sedangkan kasus kekerasan aparat terhadap sipil dapat tersapu ke pinggiran.
ADVERTISEMENT
Kekuatan besar ini semakin bermasalah ketika media sedang dikuasai oleh segelintir konglomerat. Herman dan Chomsky (1988) mengingatkan, kepemilikan oligarki memastikan pemberitaan tidak mengganggu kepentingan bisnis atau politik pemiliknya. Contohnya, media yang dimiliki pengusaha tambang cenderung menormalisasi kerusakan lingkungan, atau outlet yang dekat dengan kekuasaan gemar menyanjung program pemerintah tanpa kritik. Kepemilikan media yang seperti ini, cenderung diubah menjadi mesin propaganda yang mengontrol akal sehat masyarakat, memaksa mereka untuk mempercayai kebenaran-kebenaran baru yang difabrikasi.
Bukan cuma itu, media juga hari ini secara diam-diam membentuk cara publik memandang isu melalui framing dan priming. Contohnya, konflik demo mahasiswa bisa dibingkai sebagai "aksi anarkis", alih-alih dibentuk dengan "perlawanan terhadap rezim otoriter".
Repetisi narasi akan terus digaungkan, sehingga media menanamkan persepsi bahwa masalah sosial adalah kesalahan individu, bukan sistem. Akibatnya, publik mengabaikan persoalan utama dalam masalah sosial yang mereka hadapi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, penguasa makin leluasa bermain-main dengan masyarakat yang akalnya sudah dikebiri hingga impoten. Inilah ironi yang harus kita sadari, bahwasannya media hari ini mayoritasnya, berubah menjadi tirai besi yang menutup realitas. Mereka berubah menjadi anjing pudel yang menjilat-jilat kaki pemiliknya.
Berita Pesanan: Monster Pengaburan Realitas
Berita pesanan singkatnya anggap saja sebagai pembunuhan kebenaran dengan hati-hati. Bagian terseramnya adalah, hal ini bukan menjadi kesalahan jurnalis, tetapi berhubungan dengan kebenaran buatan dengan kolektivitas pendapatan bagi media.
Di balik berita-berita yang tersusun rapi, terkadang terselubung agenda pihak berkepentingan—penguasa, korporasi, atau kelompok politik—yang membayar redaksi untuk mencuci isu atau menenggelamkan realitas yang mengancam posisi mereka.
Kita analogikan media seperti ini sebagai badut acara sunatan, yang mau menghibur tuan rumah dengan atraksi-atraksi lucu, untuk mengalihkan perhatiannya pada kelaminnya yang sedang membengkak. Seberapa lama atraksinya, hiburannya, hadiahnya, tetap tidak merubah realita bahwa si tuan rumah menahan sakit pada area kehormatannya. Ini hanyalah hiburan sementara untuk meredam kebenaran di lapangan, bukan penyelesaian yang tepat.
ADVERTISEMENT
Pola operasinya bisa dikenali dari tiga ciri khas. Pertama, framing manipulatif—isu dipelintir menjadi konflik hitam-putih. Misalnya, protes buruh berupah rendah diramu sebagai "pembangkangan" alih-alih perjuangan upah layak, atau korupsi elit diubah menjadi "prosedur jebakan batman", istilahnya jebak-menjebak antar politisi.
Kedua, eliminasi konteks, dimana data yang merugikan sponsor akan dipreteli, sementara fakta yang menyenangkan hati sponsor akan terus diluncurkan sebagai konten utama. Contohnya, laporan lingkungan perusahaan tambang yang hanya menonjolkan laporan "rehabilitasi lahan", tanpa menyoroti dampak limbah beracun dan kekeringan tanah yang diterima warga setempat.
Ketiga, hegemoni narasumber, tatkala suara penguasa atau pihak sponsor diberi panggung akbar untuk lip service. Di balik tirainya, korban atau ahli independen sedang dibekap mulutnya sambil disetrum di kursi listrik. Ketiga metode di atas sudah jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap hak publik atas informasi empiris yang valid.
ADVERTISEMENT
Berita pesanan adalah pisau guillotine yang memenggal kebenaran, membiarkan kepalanya terlepas dari anatomi fakta. Meskipun, beberapa orang menyadari kebenaran sesungguhnya, ungkapan mereka akan jadi bahan guyonan publik yang tertipu. Sama seperti kepala terpenggal yang masih menyisakan kesadaran otak dan ekspresi selama 30 detik. Suara teriakan si kepala tidak akan terdengar, karena ia sudah kehilangan lehernya.
Dampak Negatif Berita Pesanan di Tengah Kekacauan Sosial
Berita pesanan, seperti yang sudah kita bahas di atas, adalah racun arsenik yang dituangkan ke dalam air galon yang diedarkan ke masyarakat. Di tengah gejolak krisis air, ketika kebenaran bak air minum bersih yang menghilangkan dahaga, malah justru menjadi racun pembunuhan massal. Dampaknya dimulai dari krisis persepsi, lalu publik melakukan aksi kolektif, menghadirkan konflik baru, dan merusak tempat hidup yang mereka tinggali. Ada beberapa dampak lain yang harus kita sadari sebelum semuanya terlambat.
ADVERTISEMENT
Pertama, erosi kepercayaan, akan menjadi efek paling brutal yang bisa kita bayangkan. Ketika media terlalu nyaman membuat fabrikasi kebenaran, masyarakat akan kehilangan sumber sandaran. Mereka yang tadinya mencari pencerahan dan informasi, terpaksa didorong ke dalam lubang echo hoax dan teori konspirasi. Lihat saja di kasus pandemi Covid-19 silam, ketika pemberitaan berusaha menutup fakta kegagalan distribusi vaksin oleh pemerintah, berdampak pada lahirnya gerakan anti-vaksin yang mengacaukan situasi. Kepercayaan yang terus terkikis adalah bom waktu, lama-kelamaan mungkin terlihat jinak, namun tinggal menunggu momen ledakan besar yang menghancurkan segalanya.
Kedua, eskalasi konflik. Berita pesanan mampu bekerja seperti bensin yang disiramkan ke api. Tatkala media menyembunyikan akar masalah—misalnya, ketimpangan ekonomi atau diskriminasi sistemik—media memaksa masyarakat bertarung di permukaan. Protes damai diframing menjadi "kerusuhan", sementara tuntutan keadilan dianggap "ancaman stabilitas". Konflik kerusuhan Mei 1998 di Indonesia jadi bukti paling otentik, ketika pemberitaan yang mengaburkan keserakahan rezim justru memicu amuk massa tanpa arah, menghancurkan ribuan nyawa dan properti.
ADVERTISEMENT
Ketiga, demokrasi yang berubah jadi mayat hidup. Publik yang terus dibius berita pesanan, kehilangan akal sehatnya untuk membuat keputusan rasional. Mereka nantinya, contoh paling luas, memilih pemimpin amburadul. Sehingga pada akhirnya, masyarakat ditempatkan sebagai kambing sembelihan yang tinggal menunggu waktu sebelum mereka digorok oleh penguasa, lalu dimasak menjadi jamuan untuk "hari raya para elit", dan para kalangan atas berjoget-joget hingga kekenyangan. Pemilu pun akhirnya hanya jadi ajang catwalk politik, semuanya bersolek bak pahlawan perubahan nasib bangsa, namun pada akhirnya saling "berpenetrasi sensual" di belakang panggung.
Terakhir, apatisme sosial yang menjadi kuburan akhir. Masyarakat yang terus-menerus dibohongi akan memilih diam membisu. Bukannya karena mereka puas, namun sudah terlalu lelah menerima informasi yang ada. Di Indonesia, misalnya, pemberitaan mengenai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) diglorifikasi berlebihan, untuk menutupi fakta bahwa pembangunannya mencederai APBN secara fatal. Kemudian, negara harus berutang, melakukan efesiensi anggaran dan subsidi, pada saat masyarakat membutuhkannya untuk menghadapi krisis global yang makin dekat.
ADVERTISEMENT
Keputusan Akhir di Tangan Kita
Media massa sesungguhnya adalah relik tua yang berdiri tegak di persimpangan jalan sejarah. Entah menjadi cermin yang memantulkan realitas, atau senjata kehancuran peradaban. Pilihan-pilihan jalan ini tentu berhubungan dengan etika sosial, namun di pinggirannya terdapat selokan-selokan kecil berisi ujian nyata bagi kelangsungan demokrasi. Media hari ini harus menegaskan kembali posisinya, dan mengambil jubah kehormatannya sebagai pahlawan realitas.
Mereka memiliki dua tangan berkuasa besar untuk menentukan dua keuntungan, keuntungan untuk keadilan sosial atau keuntungan untuk dirinya sendiri. Bagi masyarakat, tantangan besar terhampar luas di depan kita. Bila kita tidak berkeinginan untuk belajar berpikir logis, dan kritis terhadap banyak realitas yang disajikan masif di muka, maka tinggal menunggu saja pembunuh bernama media menikam kita yang sedang terlelap di kamar tidur, dengan pisau "berita pesanan".
ADVERTISEMENT
Waktu kita sudah habis untuk makan-makan dan minum-minum besar. Sudah saatnya media memutus rantai pragmatisme dan kembali pada fungsi suci jurnalisme: membongkar kebusukan, bukan menyemprotnya dengan pewangi. Masyarakat wajib membabat pasivitas—melawan dengan literasi, menuntut transparansi, dan menghidupkan ruang alternatif di luar narasi korporasi. Jika tidak, kita semua akan menjadi saksi bisu kehancuran demokrasi yang dikubur oleh kebohongan, sementara kuburannya dikencingi di atasnya.