Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Analisa Spekulan George Soros dan Ancaman Krisis Ekonomi Indonesia
9 Maret 2025 12:05 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di dunia keuangan global, nama George Soros kerap diperbincangkan dengan nada skeptis—sebagai legenda investasi bagi sebagian orang, dan perusak ekonomi bagi yang lain. Pria berusia 94 tahun ini dikenal sebagai spekulan ulung yang mampu mengguncang pasar uang negara-negara dengan keputusan investasinya. Reputasi sebagai "The Man Who Broke the Bank of England" melekat setelah peristiwa besar 16 September 1992, yang dijuluki Black Wednesday. Kala itu, Soros memanfaatkan kerentanan Poundsterling Inggris, memborong mata uang asing dan memaksa Bank of England menyerah pada tekanan pasar. Hasilnya: Inggris keluar dari Mekanisme Nilai Tukar Eropa, dan Soros meraup untung miliaran dolar dalam hitungan hari.
ADVERTISEMENT
Namun, sorotan paling pedas tertuju padanya saat Krisis Finansial Asia 1997, meruntuhkan ekonomi Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Soros dituding sebagai dalang di balik ambruknya mata uang Baht Thailand melalui aksi short-selling massive. Meski ia membantah tuduhan sebagai penyebab krisis, langkahnya memperdagangkan mata uang dan aset negara-negara krisis dianggap memperparah keadaaan. Di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad secara terbuka menyebutnya sebagai "Si Perampok" yang memanfaatkan penderitaan rakyat.
Kini, lebih dari dua puluh tahun setelah krisis Asia, bayang-bayang strategi serupa kembali muncul. Kali ini mengincar Indonesia. Nilai tukar rupiah yang terus melemah, ambruknya saham perbankan nasional, dan utang pemerintah membengkak jadi sinyal alarm. Pertanyaannya: Akankah Indonesia menjadi korban berikutnya dalam spekulasi George Soros?
ADVERTISEMENT
Di tengah target pertumbuhan ekonomi 8% pemerintahan Prabowo Subianto, Indonesia justru menghadapi badai ekonomi multi dimensi. Utang luar negeri yang menembus Rp8.000 triliun, korupsi sistematis di tubuh BUMN, hingga pelemahan rupiah yang mendekati level krisis 1998 (16.000 IDR/USD) menjadi ladang subur bagi spekulan global. Soros, dengan jaringan hedge fund-nya dan pengalaman memanipulasi sentimen pasar, memiliki semua alat yang dibutuhkan untuk memperburuk situasi.
Bom Waktu di Balik Ambisi Pertumbuhan
Sektor perbankan Indonesia, yang seharusnya menjadi tulang punggung stabilitas keuangan, justru bergerak seperti kucing pesakitan. Enam bulan terakhir, saham empat raksasa perbankan—BCA, BRI, Bank Mandiri, dan BNI—anjlok hingga 20-30%. BCA, bank dengan kapitalisasi terbesar, kehilangan Rp 150 triliun nilai pasar hanya dalam setahun. Hal ini tidak bisa disikapi hanya sebagai fluktuasi pasar, tetapi indikasi ketakutan investor terhadap tingginya risiko kredit macet (NPL) yang mengintai.
ADVERTISEMENT
Penyebabnya bervariasi, mulai dari sektor properti yang stagnan, UMKM yang kredit macet pasca pandemi, hingga eksposur besar bank-bank ini pada proyek pemerintah yang kerap boncos. Bank Mandiri, misalnya, masih menyimpan Rp 25 triliun kredit macet dari sektor energi dan konstruksi. Jika satu domino jatuh, efek berantainya bisa melumpuhkan sistem. Paling mengkhawatirkan, adalah kepercayaan nasabah yang mulai goyah. Simpanan masyarakat di bank-bank kecil sudah menyusut 7% sepanjang 2023—pertanda awal bank rush yang bisa memicu krisis likuiditas.
Rupiah kini laksana kapal karam di tengah badai dolar AS. Sejak awal 2024, mata uang nasional terdepresiasi 14%, menyentuh level 16.300 IDR/USD—hanya selangkah lagi dari rekor terburuk krismon 1998 (16.800 IDR/USD). Pelemahan ini bukan sekadar imbas kenaikan suku bunga The Fed, tapi juga buah dari defisit neraca perdagangan berkepanjangan. Impor minyak dan barang mentah yang tinggi, tidak diimbangi ekspor komoditas, yang harganya kali ini lagi tertekan di pasar global.
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) berusaha mempertahankan rupiah dengan intervensi agresif, termasuk menjual USD 8 miliar dari cadangan devisa dalam tiga bulan terakhir. Namun, langkah ini ibarat meminum obat kuat untuk kesembuhan penyakit impoten. Cadangan devisa Indonesia kini tersisa USD 130 miliar, hanya cukup skema impor selama enam bulan—ambang batas minimal yang direkomendasikan IMF. Jika rupiah tembus 17.000 IDR/USD, hiperinflasi bisa meledak. Harga BBM dan listrik akan melambung memicu gejolak sosial seperti kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah berkelakar target pertumbuhan ekonomi 8% sebagai tujuan utama. Namun, di balik optimisme itu, Indonesia justru terperangkap dalam siklus utang yang sulit. Utang luar negeri pemerintah dan swasta telah menembus USD 400 miliar (Rp 6.200 triliun), setara dengan 38% PDB—angka yang melampaui ambang aman Bank Dunia (30%). Sadisnya, utang ini tidak digunakan untuk membangun sektor produktif. Hanya 15% dialokasikan ke industri manufaktur, sementara sebagian besar dipakai untuk menutup defisit anggaran dan membiayai proyek infrastruktur high-cost–low-impact seperti, pembangunan Ibu Kota Nusantara yang sekarang mangkrak.
ADVERTISEMENT
Pada saat negara-negara Asia berlomba memperdagangkan komoditas, pertumbuhan ekspor Indonesia malah stagnan di kisaran 2-3%. Padahal, Thailand dan Vietnam—dengan utang lebih rendah—mencatat pertumbuhan ekspor 8-10% berkat diversifikasi produk manufaktur. Indonesia masih bergantung pada komoditas mentah (batubara, CPO) yang harganya fluktuatif. Tanpa adanya transformasi struktural, target 8% Prabowo hanyalah ilusi.
Tantangan Internal yang Memperparah Krisis
Indonesia bukan sedang sakit—ia infeksi parah oleh luka korupsi yang bernanah. Skandal korupsi bukan lagi kasus one-off, tapi sudah menjadi business as usual. Ambil contoh kasus Pertamax Oplos di Pertamina (2025), di mana uang rakyat Rp 1000 triliun menguap ke kantong elit. Atau mega-skandal PT Timah yang berbuah Rp 371 triliun kerugian bagi negara. Ini bukan salah "oknum", tapi bukti sistemik bahwa korupsi adalah anak haram konstitusi. Perzinahan antara oligarki dan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, di bawah pemerintahan Joko Widodo sebelumnya, pemberantasan korupsi justru seperti tikus mengejar keju di labirin tanpa pintu keluar. KPK yang dulu ditakuti, kini menjadi macan ompong setelah revisi UU KPK 2019 yang mencabut kewenangan penyadapan dan independensinya. Tahun 2023, hanya 21% kasus korupsi yang dituntaskan—angka terendah dalam satu dekade terakhir.
Prabowo Subianto mungkin datang dengan janji "Pertumbuhan Ekonomi 8%". Tapi realitanya, ia lebih mirip tukang cuci piring yang diserahi tumpukan piring kotor sepuluh tahun terakhir. Warisan yang ia terima memang buruk: utang menumpuk, infrastruktur setengah jadi, dan ekonomi yang terperangkap di jerat komoditas. Tapi alih-alih membenahi pipa yang bocor, ia malah sibuk mengelap genangan air.
Lihatlah kebijakan fiskalnya: bukannya memangkas utang, pemerintah justru mengajukan penambahan utang Rp 1.200 triliun pada APBN 2025. Utang ini diklaim untuk "stimulus ekonomi", tapi nyatanya 40%-nya dipakai untuk membayar utang sebelumnya—siklus gali lubang tutup lubang. Proyek infrastruktur pun berjalan seperti kuda buta. Pembangunan IKN yang menghabiskan Rp 500 triliun di tengah Kalimantan yang belum teraliri listrik.
ADVERTISEMENT
Parahnya lagi, Pemerintah gagal total mendiversifikasi ekonomi. 80% ekspor Indonesia masih bertumpu pada komoditas mentah—batubara, CPO, nikel—yang harganya ditentukan pasar global. Sementara Vietnam sudah melesat dengan ekspor manufaktur senilai USD 400 miliar, Indonesia masih berkutat pada retorika "kekayaan alam". Alhasil, ketika harga batubara anjlok, APBN langsung kolaps.
Akar masalahnya bukan sekadar salah kebijakan, tapi mentalitas elit yang menganggap Indonesia sebagai "rumah bordil" untuk berpesta seks ria sepuasnya, dan ejakulasi massal. Lihatlah bagaimana izin tambang dan perkebunan sawit dengan mudah diberikan kepada konglomerat—seringkali tanpa kajian lingkungan memadai. Di sektor energi, Pertamina yang seharusnya menjadi tulang punggung energi nasional, justru jadi sapi perah proyek fiktif dan markup.
Dampak Sosial-Ekonomi: Rakyat Terjepit di Tengah Krisis
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2024 mencapai 5,7% atau sekitar 8,4 juta orang—naik dari 5,45% di periode yang sama tahun 2023. Angka ini belum termasuk pekerja sektor informal yang kehilangan mata pencaharian. Sektor manufaktur yang terparah. Kementerian Perindustrian melaporkan 112.000 pekerja di industri tekstil, elektronik, dan otomotif di-PHK sepanjang 2023 akibat penutupan atau restrukturisasi perusahaan.
Contoh nyata: PT Yamaha Manufacturing Asia menutup pabriknya di Karawang, berpeluang merumahkan 2000 pekerja. Sementara itu, KFC Indonesia mengumumkan restrukturisasi dengan memangkas 1500 karyawan di 150 gerainya. Menurut catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), 23% UMKM di Jawa dan Sumatra terancam gulung tikar akibat kenaikan harga BBM dan suku bunga kredit yang melambung (Sumber: Laporan Apindo, 2023).
ADVERTISEMENT
Dampaknya merambat ke sektor konsumsi: penjualan ritel turun 4,1% pada triwulan I-2024 (BPS). Masyarakat kelas menengah-bawah terpaksa mengencangkan ikat pinggang, sementara jurang ketimpangan semakin melebar. Indeks Gini Indonesia tetap stagnan di 0,384 (BPS, 2023), jauh di atas target RPJMN 2024 sebesar 0,36.
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Desember 2023 menunjukkan, 67% masyarakat tidak percaya pemerintah mampu menurunkan harga sembako. Angka ini sejalan dengan laporan Transparency International yang menempatkan Indonesia di peringkat 115 Indeks Persepsi Korupsi 2023 (skor 34/100)—terburuk dalam lima tahun terakhir.
Potensi kerusuhan makin nyata dengan melonjaknya harga beras. Harga beras premium di pasar tradisional pada April 2024 mencapai Rp 16.000/kg (BPS), naik 22% dibandingkan 2023. Padahal, 22,8 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, Maret 2024). Jika pemerintah gagal mengendalikan inflasi (yang sudah menyentuh 4,5% per April 2024), kerusuhan sosial seperti Mei 1998 bukan lagi sekadar kenangan.
ADVERTISEMENT
Ketidakstabilan ekonomi memicu eksodus modal dan manusia. Bank Indonesia mencatat, pada triwulan I-2024 terjadi pelarian modal asing (capital outflow) senilai Rp 45 triliun dari pasar saham dan surat utang pemerintah. Sementara itu, laporan Henley & Partners (2024) menyebut sekitar 1.200 orang kaya Indonesia (aset di atas USD 1 juta) telah mengajukan izin investasi atau residensi di Singapura, Malaysia, dan Australia—naik 40% dari 2022.
Di tingkat masyarakat umum, tren emigrasi tenaga terampil juga meningkat. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri naik 15% pada 2023, dengan 65% di antaranya menyatakan tidak berniat pulang. Alasan utama, minimnya lapangan kerja berkualitas dan sistem birokrasi yang korup.
ADVERTISEMENT
George Soros dan spekulan global tidak perlu repot-repot menjatuhkan Indonesia. Cukup memanfaatkan ketidakpercayaan pasar yang sudah terbentuk. Ketika rupiah terdepresiasi, mereka akan masuk untuk memborong aset-aset strategis di harga murah—seperti yang terjadi di Thailand 1997. Ironisnya, sementara rakyat kecil berjuang bertahan, para elit justru sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri dengan membawa modal ke luar negeri.
Strategi George Soros: Eksploitasi Krisis Ekonomi
George Soros bukanlah dongeng. Ia adalah predator ekonomi yang telah merobohkan negara-negara dengan situasi kerentanan finansial. Indonesia, dengan tiga kelemahan fatal: rupiah yang limbung, perbankan rapuh, dan utang yang membengkak, adalah mangsa empuk baginya. Menciptakan krisis, lalu memanen keuntungan dari reruntuhannya.
Langkah 1: Menyerang Rupiah dengan Senjata "Short-Selling"
Soros akan mulai dengan membidik mata uang, seperti yang dilakukannya pada Poundsterling Inggris (1992) dan Baht Thailand (1997). Caranya sederhana tapi mematikan:
ADVERTISEMENT
Contoh Nyata: Pada 1997, Soros Quantum Fund melakukan ini ke Baht Thailand. Nilai Baht ambruk 50%, dan ia meraup USD 1 miliar dalam hitungan minggu.
Langkah 2: Menghancurkan Kepercayaan pada Perbankan
ADVERTISEMENT
Sektor perbankan Indonesia yang sudah goyah adalah sasaran berikutnya. Soros akan menggunakan dua taktik:
Langkah 3: Memanfaatkan Utang untuk Memaksa "Fire Sale"
ADVERTISEMENT
Utang Indonesia yang mencapai Rp 8.000 triliun adalah jerat yang bisa dieksploitasi:
Preseden di Yunani (2015): Krisis utang Yunani dimanfaatkan hedge fund untuk membeli pelabuhan dan bandara dengan diskon 70%.
Langkah 4: Memanipulasi Media untuk Mempercepat Kehancuran
Soros tahu krisis ekonomi dimulai dari krisis kepercayaan. Di sini, media menjadi senjatanya:
ADVERTISEMENT
Contoh di Malaysia (1997): Soros dituding membayar media internasional untuk menggambarkan Malaysia sebagai "negara korup yang tak layak investasi", mempercepat pelarian modal.
Langkah 5: Menunggu Saat Tepat untuk "Membeli Murah"
Setelah krisis memuncak, Soros akan berubah dari penghancur menjadi penyelamat, tentu dengan maksud mengeruk keuntungan:
ADVERTISEMENT
Jalan terakhir selamat dari krisis, Indonesia harus berani melakukan reformasi total. Pertama, KPK harus dikembalikan kekuatannya untuk memberantas korupsi di tubuh BUMN dan birokrasi. Kedua, BI perlu membatasi transaksi spekulatif valas dan diversifikasi cadangan devisa ke emas atau dolar. Ketiga, pemerintah harus mengalihkan utang ke sektor produktif seperti pendidikan dan industri hijau, bukan proyek mercusuar. Terakhir, perang melawan hoaks ekonomi harus dimenangkan dengan edukasi publik dan kolaborasi media lokal. Krisis ini adalah cermin. Selama korupsi dan salah kelola dibiarkan, Indonesia akan tetap menjadi sasaran empuk predator seperti Soros. Sejarah 1998 jangan sampai terulang—kini saatnya kita bertindak, sebelum rupiah dan harga diri bangsa jatuh ke titik nadir.