Konten dari Pengguna

Analisis Pasal 228A DPR: Simposium Manusia Sakit Jiwa dan Anjing Rabies

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
5 Februari 2025 17:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan: DPR, Kuasa Semu, dan Pengkhianatan terhadap Teori Negara Hukum
Demo yang dilakukan di depan DPR. Sumber: Unsplash free image/Deastama
zoom-in-whitePerbesar
Demo yang dilakukan di depan DPR. Sumber: Unsplash free image/Deastama
Dalam khazanah ilmu politik, konsep Negara Hukum (rechtsstaat) yang dirumuskan oleh Friedrich Julius Stahl, menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara harus menundukkan diri pada hukum, bukan pada kehendak abnormal dan subjektif dari penguasa. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan konsesi bersama yang sifatnya konsekuentif, memberikan derajat yang sama bagi seluruh lapisan negara, di mata hukum.
ADVERTISEMENT
Sebuah peraturan yang jadi konsesi bersama masyarakat. Namun, revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020, khususnya Pasal 228A yang memberi kewenangan evaluasi dan rekomendasi pemberhentian pejabat negara, menunjukkan DPR mengangkangi prinsip ini dengan kasar. Dengan dalih “akuntabilitas”, DPR justru membangun rezim evaluasi politik yang berpotensi memusnahkan independensi lembaga negara. Ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan kudeta konstitusional yang mengancam pondasi demokrasi.
Lebih jauh lagi, menurut teori Pluralisme Kekuasaan dari Robert Dahl, stabilitas sistem pemerintahan negara demokrasi sangat dipengaruhi oleh penyebaran kekuasaan yang tidak terpusat pada satu lembaga negara. Tetapi, DPR—dengan syarat anggota berpendidikan minimal SMA—kini bertindak sangat ceroboh dan dungu seolah mereka adalah leviathan baru. Berusaha untuk mengontrol lembaga-lembaga yang diisi oleh profesional seperti KPK, MA, dan MK.
ADVERTISEMENT
Bodohnya lagi, mereka tidak memiliki kompetensi hukum memadai. Menurut survei KPU 2019, 9% anggota DPR adalah lulusan SMA/Sederajat, dan mereka memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengadili minimal sarjana hukum yang menjalankan mandat konstitusional. Pada kasus ini, wacana Knowledge Asymmetry (ketimpangan pengetahuan) yang diajukan oleh Frank Baumgartner berlaku: DPR memanfaatkan ketidaktahuan publik dan kelemahan sistem untuk mengonsolidasi kekuasaan, sambil mengabaikan prinsip meritrokasi yang mensyaratkan kualifikasi keahlian dalam pengambilan keputusan publik.
Sambil membalikkan meja makan, tindakan DPR juga sengaja mengingkari konsep Konstitusionalisme yang diusung oleh Charles Howard McIlwain. Konstitusionalisme menekankan pembatasan kekuasaan melewati hukum tertulis. Namun, DPR justru menggunakan instrumen hukum (revisi peraturan internal) untuk mengabadikan hegemoni politik. Wewenang evaluasi ini DPR tidak hanya melanggar prinsip non-intervensi antarlembaga negara, tetapi juga menciptakan hierarki palsu. DPR bisa menjadi majikan atas lembaga lain, mirip hubungan antara anjing rabies dan manusia sakit jiwa. Padahal, dalam teori Trias Politica milik Montesquieu, evaluasi kinerja pejabat publik adalah domain eksekutif (melalui ombudsman) atau yudikatif (melalui proses hukum). Bukan melalui legislatif yang hanya berfungsi merumuskan undang-undang dan pengesahannya.
ADVERTISEMENT
Steven Levitsky dan Lucan Way, pernah menyatakan bahwa, dalam demokrasi lembaga terpilih seperti DPR berpeluang untuk mengubah dirinya sebagai pengahancur konstitusi, jika tidak diawasi dengan ketat. Teori ini disebut sebagai Autokrasi Elektoral. Mengacu pada sebelumnya, DPR yang menggerogoti pasal checks dan balances lewat pasal 228A, membuka pintu bagi politisasi lembaga netral: anggota KPK yang mengusut korupsi elit politik bisa “dibungkam” melalui rekomendasi pemberhentian sepihak. Ini adalah bentuk legalized repression (represi yang dilegalkan) yang kerap menjadi ciri rezim otoriter.
Tidak hanya itu, langkah DPR ini bertentangan dengan teori Delegasi Kekuasaan dari principal-agent Dalam demokrasi perwakilan, rakyat (pricnipal) mendelegasikan kekuasaan kepada DPR (agent) melalui pemilu. Namun, ketika DPR menggunakan mandatnya untuk memperluas kuasa—bukan melayani kepentingan publik—mereka telah melakukan pelanggaran kepercayaan (breach of trust). Alih-alih responsif dengan kebutuhan konstituen, DPR justru responsif dengan nafsu kekuasaan golongan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, revisi ini adalah preseden buruk yang mengubah legislatif dari penjaga konstitusi menjadi predator konstitusi. Jika teori-teori di atas adalah pilar akademis yang menjaga integritas demokrasi, maka DPR telah membongkar pilar-pilar itu satu per satu. Pertanyaannya: bagaimana mungkin lembaga yang minim kapasitas akademik dan moral ini diberi hak untuk mengadili mereka yang justru lebih kompeten? Inilah paradoks yang tidak hanya memalukan, tetapi juga membahayakan masa depan Indonesia sebagai negara hukum.
Mengapa Peraturan Ini Disahkan?
DPR berdalih bahwa revisi ini diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas pejabat negara, dan memastikan prinsip good governance. Dengan retorika muluk yang dipenuhi kesalahan berpikir, mereka mengklaim bahwa pasal 228A adalah alat untuk mengawasi kinerja lembaga seperti KPK, MA, dan MK. Seolah-seolah menempatkan diri sebagai pahlawan kesiangan yang tiba-tiba peduli pada integritas kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika tujuannya adalah akuntabilitas, DPR bisa dengan memulai dari lembaga paling problematik selama 20 tahun terakhir, yang tidak lain adalah DPR sendiri. KPK mencatat, puluhan anggota DPR periode 2019-2024 tersandung kasus korupsi.
Ini bukan akuntabilitas, tapi akrobat politik: mengalihkan perhatian publik dari borok internal dengan menciptakan musuh imajiner. Lagi pula bagaimana mungkin, lembaga yang syarat keanggotaannya hanya lulusan SMA punya hak komptensi mengevaluasi kinerja sarjana, magister, dan doktor di bidang hukum? Bukan cuma itu, tetapi diserahkan kelapangan untuk penafsiran konstitusi!
Di balik jargon dan semangat "akuntabilitas", revisi ini adalah senjata politik untuk melanggengkan hegemoni DPR atas lembaga-lembaga yang selama ini mengganggu "bisnis politik" di dalam daging oligarki. Dengan adanya pasal 228A, DPR bisa memaksa pemberhentian pejabat publik yang mungkin dianggap mengganggu kepentingan bisnis kotor DPR.
ADVERTISEMENT
Seperti contohnya komisioner KPK yang berani menyentuh kasus korupsi anggota dewan, atau hakim MK yang menolak intervensi politik. Semangat ini adalah solidaritas kehancuran untuk membentuk Orde Baru versi kedua. Dimana DPR dengan koalisi iblisnya ingin mengontrol semua cabang kekuasaan.
Tidak percaya, Lihatlah rekam jejak mereka: revisi UU KPK yang melemahkan lembaga antirasuah, pengesahan UU Cipta Kerja yanng mengabaikan partisipasi publik, dan kini berupaya menjinakkan lembaga netral melalui evaluasi sepihak. Semua ini adalah ritual kanibalisme konstitusional. DPR memakan anak kandung demokrasi sendiri demi kekuasaan.
Pasal 228A bukan sekadar regulasi teknis, melainkan bom waktu yang siap meluluhlantakkan sistem Hukum Tata Negara (HTN). Pertama, ia merusak prinsip Trias Politica: DPR—yang seharusnya fokus pada fungsi legislasi—kini mencaplok kewenangan eksekutif (evaluasi kinerja) dan yudikatif (pemberhentian pejabat). Kedua, ia melanggar asas independensi kehakiman (Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945) dengan membuka celah intervensi terhadap MK. Ketiga, mengancam checks and balances jika DPR bisa memecat pejabat yang cenderung tidak disukai, siapa yang akan mengawasi DPR?
ADVERTISEMENT
Implikasinya jelas: demokrasi akan bergerak mundur ke era rezim partai tunggal. Ketika legislatif menjadi kelompok yang tidak terkalahkan. Bahkan John Locke, bapak demokrasi liberal, pasti geleng-geleng kepala melihat DPR dengan gegabah menempatkan diri sebagai pengadilan akhir, tanpa basis kompetensi maupun legitimasi moral.
DPR berteriak "reformasi", tapi yang mereka lakukan adalah perzinahan kekuasaan. Mereka menjerit "akuntabilitas", tapi yang dibangun adalah kerajaan impunitas. Mereka mengaku "wakil rakyat", tapi kebijakannya lebih mirip preman pasar yang memeras pedagang. Jika ini terus dibiarkan, jangan heran jika suatu hari nanti, DPR akan menempatkan diri mereka lebih tinggi dari lembaga manapun. Artinya, jelas merusak konstitusi.
Implikasi di Masa Depan – Pasal 228A dan Mimpi Buruk Demokrasi
ADVERTISEMENT
Revisi Pasal 228A dalam Peraturan DPR Nomor 1/2020 secara eksplisit memberi kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara, termasuk dari KPK, KPU, dan MK. Pasal ini terdiri dari dua ayat:
Dengan kata lain, Pasal 228A adalah senjata hukum yang mengubah evaluasi menjadi alat intervensi, di mana “layak-tidak layak” ditentukan bukan oleh hukum, melainkan oleh kepentingan politik anggota dewan.
ADVERTISEMENT
Pasal 228A membuka pintu bagi DPR untuk menghabisi pejabat yang dianggap “bermasalah”, terutama mereka yang vokal mengkritik atau mengusut kasus korupsi di tubuh legislatif. Bayangkan: seorang komisioner KPK yang sedang menyelidiki skandal suap di DPR tiba-tiba dievaluasi dan direkomendasikan pemberhentian karena alasan “tidak memenuhi syarat”.
Ini bukan skenario fiksi, melainkan skema mafiosi yang sudah teruji sejak era Orde Baru. DPR, yang seharusnya diawasi KPK, justru menjadi “pemilik” KPK melalui Pasal 228A. Implikasinya? Pejabat yang berani melawan oligarki akan disingkirkan secara sistematis, sementara koruptor di DPR bisa bernapas lega. Jika ini terjadi, demokrasi Indonesia akan berubah menjadi sirkus politik, di mana hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, bukan para penguasa.
KPK, MA, dan MK dirancang sebagai lembaga independen yang bebas dari intervensi politik. Namun, Pasal 228A mengubur independensi itu. Dengan dalih evaluasi, DPR bisa memaksa lembaga-lembaga ini tunduk pada “arahan politik” dewan. Contohnya: MK yang memutus sengketa pilpres secara adil bisa dianggap “bermasalah” jika keputusannya tidak menguntungkan koalisi mayoritas di DPR
ADVERTISEMENT
Pendeknya, Pasal 228A adalah cambuk politik untuk menjinakkan lembaga negara. Jika ini terus berlanjut, Indonesia akan kehilangan penjaga demokrasi dan beralih ke model demokrasi boneka, di mana semua lembaga hanya menjilat kaki DPR.
Ketika DPR—dengan track record buruknya—mulai berlaku sebagai “hakim” bagi pejabat berintegritas, yang terjadi adalah krisis legitimasi besar-besaran. Masyarakat akan mempertanyakan: atas dasar apa sekelompok politisi bermasalah merasa berhak memecat hakim konstitusi atau komisioner antikorupsi?
Pasal 228A tidak hanya merusak kepercayaan pada DPR, tetapi juga pada seluruh sistem hukum. Jika pejabat yang dipilih melalui proses fit and proper test ketat bisa dipecat sepihak oleh dewan yang minim kapasitas, maka hukum tidak lagi dipandang sebagai solusi, melainkan alat permainan elite. Akibatnya, masyarakat akan mencari jalan lain di luar sistem: protes anarkis, apatisme politik, atau bahkan dukungan pada otoritarianisme. Inilah bom waktu sosial yang diciptakan DPR—dan ketika meledak, yang menjadi korban bukan hanya demokrasi, tetapi juga stabilitas negara.
ADVERTISEMENT
DPR mungkin membayangkan diri mereka sebagai dewa Olympus yang bisa mengatur nasib pejabat negara dengan tongkat petir Pasal 228A. Tapi dalam realitas, mereka lebih mirip Timun Mas yang menabur biji arogansi dan menuai raksasa krisis. Jika Pasal 228A tetap dipertahankan, bersiaplah menyaksikan KPK jadi macan ompong dan MK jadi tukang stempel keputusan DPR.
Penutup: Manusia Sakit Jiwa yang Menundukkan Anjing Rabies
Bayangkan sebuah adegan absurd: seorang manusia sakit jiwa, dengan tatapan kosong dan senyum mengerikan, berusaha menundukkan seekor anjing rabies. Alih-alih menggunakan obat atau tali pengikat, ia justru memakai rantai karatan yang bisa melukai dirinya sendiri. Anjing itu, meski sakit, masih memiliki naluri untuk menggigit. Tapi manusia itu, dalam kebodohannya, yakin bisa mengendalikannya. Hasilnya? Keduanya terluka, darah mengucur, dan lingkungan sekitar menjadi kacau balau.
ADVERTISEMENT
Inilah analogi yang tepat untuk menggambarkan DPR dan revisi Pasal 228A. DPR, bagaikan manusia sakit jiwa, mencoba menundukkan lembaga-lembaga negara yang dianggap “liar” seperti KPK, MA, dan MK. Padahal, lembaga-lembaga ini hanya “liar” karena mereka menjalankan tugasnya: memberantas korupsi, mengawal pemilu, dan menafsirkan konstitusi. Alih-alih memperbaiki sistem, DPR justru menggunakan rantai karatan bernama Pasal 228A—sebuah instrumen yang tidak hanya merusak lembaga-lembaga itu, tetapi juga melukai diri sendiri. DPR mungkin merasa menang karena bisa mengontrol, tapi yang sebenarnya terjadi adalah bunuh diri politik: kepercayaan publik hancur, demokrasi terluka, dan masa depan negara terancam.