Konten dari Pengguna

Analisis: Trump Hantam Dunia dengan Skema Tarif Baja-Aluminium Sebesar 25%

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
11 Februari 2025 16:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Donald Trump. Sumber: Unsplash free image
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump. Sumber: Unsplash free image
ADVERTISEMENT
Presiden AS, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan kenaikan tarif impor baja dan aluminium ke tingkat 25%, memberlakukan kebijakan ini mulai 4 Maret 2025. Kebijakan yang kontroversial ini menghapus pengecualian yang sebelumnya diberikan kepada negara-negara sekutu seperti Kanada, Meksiko, dan Korea Selatan. Langkah ini diambil dengan dalih “menyelamatkan industri dalam negeri” dari praktik dumping dan persaingan tidak adil.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, tarif adalah pajak yang dikenakan terhadap barang impor, dan tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk melindungi industri domestik dari persaingan asing yang dianggap tidak seimbang. Trump menyebut tarif ini sebagai "tulang punggung keamanan nasional," menekankan bahwa ketahanan ekonomi Amerika harus dijaga dengan keras untuk melawan ketergantungan pada impor yang dianggap berisiko.
Latar belakang kebijakan ini sangat menarik jika dilihat dari sejarah kebijakan tarif sebelumnya. Pada 2018, ketika tarif impor baja dan aluminium dinaikkan ke 10%, harapannya adalah industri baja AS akan bangkit kembali. Namun, data menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, produksi aluminium di AS justru turun hingga 81% dan ketergantungan pada impor semakin meningkat. Kegagalan tarif 10% tersebut mendorong Trump untuk mengambil langkah yang lebih drastis, yakni menaikkan tarif menjadi 25%, dengan harapan kebijakan ini akan memberikan tekanan yang lebih kuat terhadap para pesaing di pasar global.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, kebijakan ini menuai banyak kritik. Banyak pihak menganggap bahwa penggunaan istilah “keamanan nasional” hanyalah retorika yang disamarkan sebagai upaya proteksionisme ekonomi semata. Kritikus berpendapat bahwa kebijakan ini lebih mencerminkan ambisi politik daripada strategi ekonomi yang matang, serta berpotensi menimbulkan gesekan perdagangan dengan negara-negara yang terkena dampak.
Bagi para pengusaha baja dan aluminium, kebijakan tarif baru ini jelas memberikan sinyal bahwa dinamika perdagangan global sedang memasuki babak yang lebih sulit. Selain berdampak pada biaya impor, langkah ini juga diprediksi akan mempengaruhi harga bahan baku dan menimbulkan perubahan signifikan dalam rantai pasok industri.
Skema Tarif: Senjata Diplomasi yang Tidak Konsisten
Skema tarif baru yang diluncurkan oleh Presiden Trump jelas menunjukkan bahwa kebijakan proteksionisme kini tak hanya berfokus pada perlindungan industri dalam negeri, tetapi juga berperan sebagai alat diplomasi koersif. Dalam penerapan tarif impor baja dan aluminium, AS memberlakukan tarif 25% secara universal untuk sebagian besar negara. Namun, praktik pelaksanaannya menyuguhkan sebuah paradoks.
ADVERTISEMENT
Pertama, meskipun tarif 25% diterapkan secara menyeluruh, ada pengecualian yang diberikan secara ad hoc. Contohnya, Australia mendapatkan perlakuan khusus setelah Perdana Menteri Anthony Albanese mengaitkan ekspor logam Australia dengan kolaborasi pertahanan AUKUS—sebuah aliansi strategis yang menggabungkan kekuatan pertahanan AS, Australia, dan negara-negara lain. Kebijakan ini seolah memberikan sinyal bahwa hubungan strategis dapat membuka celah pengecualian dalam aturan tarif yang keras.
Di sisi lain, negara-negara yang selama ini menjadi sekutu dekat AS seperti Kanada dan Meksiko tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Kedua negara tersebut justru "dihukum" dengan penangguhan tarif selama 30 hari meskipun mereka sepakat untuk memperketat keamanan perbatasan AS. Langkah ini menggambarkan bahwa meski secara teknis tarif diberlakukan secara seragam, pertimbangan politik dan negosiasi bilateral tetap memainkan peran penting. Sementara itu, Tiongkok—sebagai pesaing ekonomi utama—tetap dikenai tarif sebesar 10%, yang menunjukkan adanya pertimbangan strategis dalam menetapkan besaran tarif sesuai dengan konteks geopolitik masing-masing negara.
ADVERTISEMENT
Data pendukung menunjukkan bahwa skema tarif ini bukan sekadar reaksi proteksionis. Kebijakan ini dirancang untuk memaksa negara lain melakukan penyesuaian kebijakan luar negeri yang lebih sejalan dengan kepentingan strategis AS. Dengan memberikan pengecualian bagi Australia dan “menghukum” Kanada serta Meksiko, AS menggunakan tarif sebagai senjata untuk menekan negara-negara lain agar mengadopsi kebijakan yang mendukung agenda keamanan dan politik luar negeri Amerika.
Secara empiris, pola penerapan tarif ini mengungkapkan ketidakkonsistenan yang mencerminkan sifat koersif dari kebijakan tersebut. Penggunaan tarif sebagai alat negosiasi menunjukkan bahwa selain aspek ekonomi, pertimbangan politik juga sangat dominan. Bagi para pengusaha dan pemangku kepentingan di sektor baja dan aluminium, pemahaman mendalam tentang skema ini menjadi kunci untuk menavigasi dampak yang muncul—baik dari sisi fluktuasi harga bahan baku maupun dinamika rantai pasok global.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, skema tarif baru ini menegaskan bahwa dalam era geopolitik yang semakin kompleks, alat ekonomi seperti tarif dapat berfungsi ganda sebagai instrumen perlindungan industri dan senjata diplomasi, yang aplikasinya dipengaruhi oleh berbagai faktor strategis dan negosiasi bilateral.
BRICS dalam Sorotan: Apakah Ini Upaya Melumat Kerjasama Global Selatan?
Kebijakan tarif baja dan aluminium sebesar 25% yang digulirkan Donald Trump tidak hanya menargetkan sekutu tradisional AS seperti Kanada dan Meksiko, tetapi juga secara tidak langsung memukul negara-negara BRICS—Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Brazil, sebagai salah satu pemasok utama baja ke AS, terancam kehilangan pasar senilai US senilai USD 4,9 miliar.
Langkah Trump ini bisa dilihat sebagai upaya mengisolasi kekuatan ekonomi alternatif yang selama ini diwakili oleh BRICS. Sejak didirikan pada 2009, BRICS telah menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni ekonomi Barat, dengan membentuk institusi seperti New Development Bank (NDB) yang menyaingi IMF dan Bank Dunia. Pada 2024, BRICS bahkan meluncurkan mata uang digital bersama untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Dengan menargetkan negara-negara BRICS melalui tarif, Trump mungkin sedang mencoba melemahkan kohesi kelompok ini dan memaksa mereka kembali ke orbit ekonomi AS.
ADVERTISEMENT
Langkah Trump ini bisa dilihat sebagai upaya mengisolasi kekuatan ekonomi alternatif yang selama ini diwakili oleh BRICS. Sejak didirikan pada 2009, BRICS telah menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni ekonomi Barat, dengan membentuk institusi seperti New Development Bank (NDB) yang menyaingi IMF dan Bank Dunia. Pada 2024, BRICS bahkan meluncurkan mata uang digital bersama untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Dengan menargetkan negara-negara BRICS melalui tarif, Trump mungkin sedang mencoba melemahkan kohesi kelompok ini dan memaksa mereka kembali ke orbit ekonomi AS.
Namun, strategi ini berisiko memicu perlawanan kolektif. Tiongkok, misalnya, telah mengancam akan mengurangi impor kedelai AS—senjata andalan Beijing dalam perang dagang 2018-2020. Brazil, di bawah kepemimpinan Lula da Silva yang pro-BRICS, juga bisa memanfaatkan forum G20 atau WTO untuk melobi dukungan internasional. India, meski cenderung pragmatis, tidak akan tinggal diam melihat ekspor aluminiumnya terhambat. Jika BRICS bersatu, mereka bisa menggunakan kekuatan kolektif untuk menekan AS melalui mekanisme perdagangan multilateral atau bahkan membentuk blok dagang alternatif.
ADVERTISEMENT
Di balik tarif ini, ada pertanyaan besar: Apakah Trump sedang mencoba memecah belah BRICS? Dengan menargetkan Brazil dan India—dua anggota BRICS yang relatif moderat—AS mungkin berharap bisa menarik mereka kembali ke aliansi Barat. Namun, langkah ini justru berpotensi memperkuat solidaritas BRICS, terutama di tengah upaya China dan Rusia untuk memperluas pengaruh ekonomi global. Jika BRICS mampu mempertahankan kohesinya, tarif Trump bukan hanya gagal melumat kerjasama Global Selatan, tetapi justru menjadi bumerang yang mempercepat kemunduran hegemoni AS di panggung ekonomi dunia.
Dampak ke Indonesia: Ancaman Oversupply dan Tekanan Harga
Kebijakan tarif baru AS telah mengguncang pasar baja dan aluminium global, dan Indonesia pun tak luput dari dampaknya. Penerapan tarif 25% ini menggeser alur perdagangan internasional, memaksa produsen di berbagai negara untuk mencari pasar alternatif ketika akses ke pasar AS—salah satu konsumen terbesar dunia—menjadi terbatas. Akibatnya, terjadi potensi oversupply (kelebihan pasokan) di pasar global yang berimbas pada penurunan harga secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi normal, keseimbangan antara pasokan dan permintaan menjaga kestabilan harga. Namun, dengan pembatasan akses ke pasar AS, produsen di negara-negara penghasil baja dan aluminium, seperti Brasil, Australia, dan negara-negara Asia, kini menghadapi kelebihan pasokan. Produsen-produsen ini, yang awalnya mengandalkan pasar Amerika, harus mendistribusikan produk mereka ke pasar lain, sehingga menambah jumlah penawaran global. Menurut beberapa analisa pasar, dalam skenario oversupply, penurunan harga dapat mencapai hingga 15–20% dalam jangka pendek, jika permintaan global tidak mampu menyerap kenaikan volume produksi.