Konten dari Pengguna

Ancaman Efisiensi Anggaran Pendidikan, Demi Indonesia C 'Emas' 2045

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
16 Februari 2025 8:21 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekolah yang terbengkalai. Sumber: Unsplash free image (Javas Rabni)
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah yang terbengkalai. Sumber: Unsplash free image (Javas Rabni)
ADVERTISEMENT
Rencana pemangkasan anggaran pendidikan 2025 melalui Instruksi Presiden Nomor 1/2025 menggambarkan proses yang penuh dengan ambiguitas dan ketidakpastian, seolah-olah upaya efisiensi dilakukan tanpa adanya "cetakan biru" yang jelas. Secara kronologis, anggaran pendidikan yang semula dipatok sebesar Rp724,2 triliun—mewakili 20% dari APBN—mengalami pemotongan sebesar total Rp17,7 triliun yang menimpa tiga kementerian terkait, yakni Kemendikdasmen, Kemendiktisaintek, dan Kemenag.
ADVERTISEMENT
Informasi yang diterima oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dari Wakil Menteri Keuangan pun masih menyisakan pertanyaan apakah pemotongan ini bersifat sementara atau permanen, yang menimbulkan kekhawatiran atas keberlangsungan program pendidikan nasional. Sementara DPR, melalui Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, mendesak agar persentase mandatory spending 20% tetap terpenuhi, belum terdapat langkah konkrit berupa koordinasi dengan Kemenkeu dan Bappenas guna menyusun mekanisme pemangkasan yang transparan dan terukur.
Analogi yang digunakan—ibarat membangun rumah tanpa cetak biru, di mana material bangunan dipersiapkan tanpa memperhatikan kondisi pondasi yang sudah retak—menggambarkan betapa kritisnya situasi ini. Keputusan yang terburu-buru dan tidak terstruktur berpotensi mengganggu stabilitas dan kualitas pendidikan di tanah air. Data resmi terkait Inpres Nomor 1 Tahun 2025 dapat dilihat pada arsip jdih.setneg.go.id, sementara kekhawatiran atas pemangkasan anggaran pendidikan juga berpeluang pelanggaran konstitusi akibat efisiensi yang tidak terarah.
ADVERTISEMENT
Ego Kebijakan Populis versus Prioritas Nasional
Di balik retorika populis yang mengesankan, kenyataan mengungkapkan betapa sektor pendidikan kian dijadikan korban. Pemerintah seolah-olah terpesona oleh gemerlap popularitas Program Makan Bergizi Gratis, padahal prioritas utamanya seharusnya adalah memastikan akses pendidikan yang layak bagi seluruh anak, terutama di daerah terpinggirkan seperti Papua. Di sana, siswa-siswi yang selama ini harus bergulat dengan keterbatasan infrastruktur dan akses ke sekolah yang memadai, kini justru harus menerima "solusi" berupa makan siang gratis, seolah-olah makanan bisa menggantikan kekurangan fasilitas pendidikan yang mendasar.
Data dari UNESCO sendiri merekomendasikan agar alokasi pendidikan mencapai 4–6% dari PDB, namun realitas Indonesia menunjukkan angka yang jauh lebih rendah, hanya berkisar antara 2–3,5% saja. Ironisnya, sementara angka tersebut terus merosot, kualitas pendidikan Indonesia pun semakin memburuk, dibuktikan oleh skor PISA yang memprihatinkan—membaca 371 dan matematika 379—jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Tidak hanya itu, inefisiensi struktural yang mendarah daging turut memperparah keadaan: anggaran pendidikan yang seharusnya difokuskan untuk peningkatan mutu belajar tersebar di lebih dari 20 kementerian dan lembaga. Contohnya, Kemendikbudristek hanya mengelola sekitar 12% dari total anggaran pendidikan, sementara kementerian lain seperti PUPR menikmati porsi yang jauh lebih besar.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang terkesan mengutamakan pencitraan populis daripada pemecahan masalah struktural inilah yang secara gamblang mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menetapkan prioritas nasional yang seharusnya menjadi pondasi kemajuan bangsa. Jika pemerintah lebih memilih menciptakan slogan manis untuk meraih dukungan politik daripada mengambil langkah konkrit memperbaiki sistem pendidikan, maka generasi mendatang akan terus terjebak dalam lingkaran kegagalan dan kemandekan yang terlalu lama menodai potensi bangsa.
Pelanggaran Konstitusi: Pemangkasan vs Amanat UUD 1945
Pelanggaran konstitusi semakin kentara ketika pemotongan anggaran pendidikan, yang seharusnya menjamin hak dasar setiap warga negara, justru mengorbankan amanat UUD 1945. Berdasarkan Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 dan UU Sisdiknas No. 20/2003, pendidikan wajib mendapatkan minimal 20% dari APBN. Namun, dengan adanya tekanan politik untuk mengakomodasi program-program lain—misalnya, pembangunan infrastruktur yang dianggap lebih 'strategis'—anggaran pendidikan yang semula dipatok sekitar Rp724,2 triliun, berisiko turun di bawah ambang tersebut. Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, dengan tegas menyatakan, “Mandatory spending 20% harus dipertahankan, bukan disunat. Kalau tidak, pemerintah inkonstitusional!”
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini bukan tanpa dasar, mengingat data UNESCO menunjukkan bahwa alokasi ideal untuk pendidikan seharusnya mencapai 4–6% dari PDB, sedangkan Indonesia hanya mencatat antara 2–3,5% saja, sebuah fakta yang makin mengkhianati janji konstitusional untuk hak pendidikan. Ironisnya, pemerintah seolah tampak rela memberikan “doping” kepada atlet demi menghemat biaya akomodasi makanan sehat, lalu berharap sang atlet—dalam hal ini sektor pendidikan—mampu tampil maksimal meski sumber dayanya terkikis. Kebijakan semacam ini jelas menunjukkan bahwa prioritas populis dan dorongan politik jangka pendek mengalahkan komitmen untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga pendidikan malah menjadi tumbal dalam permainan politik yang tidak berpihak pada masa depan bangsa.
Dampak Pemangkasan: Dari Guru Honorer hingga Indonesia ‘Cemas’ 2045
ADVERTISEMENT
Pemangkasan anggaran pendidikan membawa dampak yang mengguncang fondasi sektor pendidikan Indonesia, mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang, dan secara terang-terangan mengkhianati janji pembangunan bangsa. Di tahun 2024, pemecatan massal guru honorer sudah mengguncang dunia pendidikan, dan dengan pemangkasan yang akan diberlakukan di 2025, nasib 751 guru di Banjarmasin yang gagal seleksi PPPK diprediksi semakin terpuruk. Di samping itu, 32 kabupaten yang sudah mengalami kekurangan SMP kini semakin terancam dengan putusnya sekolah, seiring dengan pemotongan anggaran infrastruktur pendidikan sebesar 34,3% yang akan memperlebar kesenjangan akses pendidikan—terutama di daerah-daerah yang paling membutuhkan. Di sisi jangka panjang, pemotongan sebesar 20% anggaran riset di Kemendikbudristek, yang mencapai Rp22,5 triliun, menghambat laju inovasi yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan sektor teknologi dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Tak heran, UNESCO telah memperingatkan bahwa dengan alokasi riset yang hanya mencapai 0,3% dari PDB, Indonesia akan tertinggal jauh dibandingkan negara-negara seperti Singapura (2,2%) dan Korea Selatan (4,8%). Di tengah retorika pemerintah yang seolah-olah mengutamakan citra populis melalui program-program seperti Makan Bergizi Gratis—yang ironisnya mengesampingkan kebutuhan mendasar seperti peningkatan mutu guru dan infrastruktur pendidikan—target ambisius untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, dengan rata-rata lama sekolah yang harus naik dari 9,08 tahun menjadi 12 tahun, tampak semakin mustahil.
Ini ibarat memberi doping kepada atlet demi menghemat biaya akomodasi makanan sehat, lalu berharap ia bisa tampil maksimal tanpa persiapan yang memadai. Kebijakan semena-mena ini menunjukkan betapa pemerintah lebih memilih memanjakan agenda politik jangka pendek daripada membangun pondasi pendidikan dan inovasi yang berkualitas untuk masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Dana Pendidikan Bukan Sapi Perah! Sekolah dan Universitas bukan Peternakan!
Dana pendidikan bukanlah sapi perah yang bisa diperas demi agenda politik semata. Alih-alih menaikkan anggaran pendidikan sesuai dengan laju inflasi dan kebutuhan riil di lapangan, justru dengan ceroboh memangkas Rp8 triliun untuk Kemendikdasmen. Padahal, menurut data yang ada, 46% daerah di Indonesia masih mengalami kekurangan sekolah—suatu kondisi yang menunjukkan betapa gentingnya masalah akses pendidikan di banyak pelosok negeri. Kebijakan ini jelas mengorbankan masa depan bangsa demi kepentingan populisme yang hampa, yang mengutamakan pencitraan daripada keberlanjutan pembangunan sumber daya manusia.
Lebih menyedihkan lagi, ketidaktransparanan pengelolaan anggaran pendidikan semakin menggarisbawahi kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusional. Menteri Pendidikan Mu’ti terus menyatakan bahwa program-program strategis seperti BOS dan tunjangan guru tidak akan terpengaruh, padahal kenyataannya, ada pemangkasan sebesar 34,3% pada anggaran infrastruktur pendidikan dan 40% pada honorarium guru. Data ini dengan jelas menunjukkan kontradiksi antara janji manis retorika dan realitas di lapangan—di mana dana yang seharusnya mendukung peningkatan mutu pendidikan justru digunakan untuk menghemat biaya birokrasi dan memenuhi ambisi politik jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti sampai di situ, usulan Kementerian Keuangan untuk mengubah dasar acuan alokasi anggaran pendidikan dari 20% dari belanja APBN menjadi persentase dari pendapatan negara merupakan lari dari tanggung jawab konstitusional. Langkah tersebut merupakan pengkhianatan terhadap UUD 1945, yang telah menetapkan bahwa pendidikan adalah hak dasar yang wajib dijamin oleh negara. Jika diterapkan, perubahan acuan ini dapat menyebabkan anggaran pendidikan merosot drastis, mengikis pondasi kualitas pendidikan nasional. Seperti yang diingatkan oleh Koordinator JPPI, “Jika anggaran dipangkas, Indonesia Emas 2045 akan jadi Indonesia Cemas: SDM lemas, daya saing nol!” Pernyataan itu bukan sekadar retorika, melainkan peringatan keras bahwa tanpa investasi yang memadai pada pendidikan, impian untuk mencetak Indonesia yang berdaya saing global hanya akan menjadi angan-angan belaka.
ADVERTISEMENT
Pemangkasan anggaran pendidikan ibarat memetik buah sebelum matang—hasilnya pahit dan merusak pohon. Daripada menjadikan pendidikan sebagai sapi perah, pemerintah harus memenuhi mandat konstitusi, memperbaiki alokasi, dan berhenti berkhayal tentang Indonesia Emas 2045 tanpa pondasi SDM kuat. Seperti kata pepatah, “Jika kau ingin satu tahun makmur, tanamlah padi. Jika kau ingin sepuluh tahun makmur, tanamlah pohon. Jika kau ingin seratus tahun makmur, investasilah pada pendidikan.” Sayangnya, pemerintah kita justru sibuk membabat padi demi sesuap nasi.