Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Ancaman Kiamat Kredit Macet dari 'Beli Sekarang, Pegang Kini, Bayar Nanti'
31 Januari 2025 11:20 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah skenario, seorang mahasiswa di Yogyakarta ingin mendapatkan iPhone terbaru yang cukup mahal. Ia sadar betul, gajinya sebagai barista part time tidak bisa membuatnya meraih gadget mahal tersebut dalam sekali beli. Bagaimana bila dia mengajukan kartu kredit ke bank terdekat? Oh sudah pasti customer service akan mendapat bahan komedi lucu untuk obrolan jam makan siang bersama pegawai bank yang lain.
ADVERTISEMENT
Di tengah kondisinya yang serba terbatas, serta psikisnya yang meronta-ronta setiap hari melihat pelanggan berlalu dengan gaya hidup impiannya, ia tidak sengaja menonton iklan saat sedang memainkan game di smartphone kentangnya. “Sebuah harapan,” pikirnya. Ia menemukan layanan paylater yang cukup menggiurkan. Hanya cukup menyisihkan gaji bulanannya yang kecil, cicilan tiga ratus ribu rupiah per bulan jadi pilihan yang sangat masuk akal.
Namun, nasibnya tak begitu mujur. Bulan demi bulan tak kuasa membayar cicilannya karena tanggungan hidup yang semakin menumpuk, sekaligus bunga yang bikin mimpi buruk makin nyata. Kredit skornya makin anjlok, dan impian membeli rumah di usia 30 tahun hanya seperti buih-buih di lautan.
Mungkin terdengar fiksi, tapi sayangnya ini merupakan sepotong kecil dari banyak kasus nyata di lapangan. Data OJK tahun 2023 menunjukkan bahwa 63% nasabah paylater di Indonesia didominasi oleh usia 18-40 tahun dan 40% di antaranya melakukan telat bayar.
ADVERTISEMENT
Paylater, layanan “beli sekarang, pegang kini, bayar nanti” yang dipasarkan oleh banyak fintech di Indonesia, rupanya jadi cawan suci bagi banyak orang. Berbagai motif pula, seperti membeli gadget impian, membeli tiket konser, atau bahkan sekadar memenuhi kebutuhan hidup yang makin mahal. Tetapi, kemudahan ini justru bagaikan pisau bermata dua, sama-sama tajam dan bisa melukai diri sendiri.
Di satu sisi, itu bisa memudahkan transaksi kredit bagi siapa pun tanpa kartu kredit. Di sisi yang lainnya, paylater bisa jadi senjata berbahaya bagi yang terjebak gaya hidup konsumtif, dan juga yang dihimpit oleh keprihatinan hidup. Jika tidak kompas moral dan aturan yang meregulasi, layanan surgawi ini hanya menjerumuskan penggunanya ke dalam pedihnya neraka utang. Tentu, tidak lupa mengancam stabilitas ekonomi individu, hingga nasional. Layaknya “kiamat” finansial yang terus mengintai.
ADVERTISEMENT
Kemunculan bisnis paylater juga tidak bisa dilepaskan dari opportunity market yang berhasil diteropong oleh fintech, yakni generasi muda Indonesia yang menguasai teknologi, tetapi kesulitan mendapat akses ke kartu kredit yang disediakan oleh bank. Hal ini disebabkan memiliki layanan kredit bank merupakan utopia. Guna mempercepat eksekusinya, dan ekspansi besar-besaran, mereka bekerja sama dengan beberapa e-commerce yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Contohnya, seperti ShopeePayLater dan Tokopedia Cicilan. Kolaborasi ini melahirkan layanan yang makin membuat bank gigit jari, yaitu adanya diskon besar hingga 50% bila melakukan pembayaran memakai paylater. Bahkan demi meraih market lebih luas, mereka menyewa para influencer untuk endorsing layanan cicilan ini dengan berbagai campaign yang eksploitatif. Khususnya, memakai tagline sakti “belanja dulu, mikir belakangan”.
ADVERTISEMENT
Seperti sebuah pepatah "ada udang di balik batu", pasti hadir maksud tersembunyi di balik sesuatu yang terlihat sangat lezat. Paylater, dengan segala kemudahannya, akhirnya secara tidak langsung memengaruhi mindset konsumen. Mereka seolah mendapat uang gratis, dan kenikmatan instan, rajin mengambil banyak cicilan. Kesannya sebagai utang berbunga berubah menjadi dana jatuh dari langit. Akhirnya, paylater diposisikan sebagai “solusi finansial”, bukan “liabilitas” konsekuensi.
Adanya “kiamat” finansial akan ditandai dengan banyak fenomena penting, termasuk dampak negatif yang akan kita terima. Salah satu kasus paling nyata terjadi pada Izzaty (21), seorang mahasiswi asal Malang yang mengaku kini kesulitan untuk melunasi cicilan. Ia mengaku tergiur untuk membeli smartphone baru seharga delapan juta rupiah di e-commerce lokal dengan jangka cicilan selama 12 bulan. Awalnya ia cukup yakin bisa menyisihkan Rp 830 ribu dari uang saku bulanan yang dikirim dari rumah. Tetapi, sejak biaya kuliah mengalami kenaikan, orang tua akhirnya memotong kirimannya sehingga mengalami kesulitan membayar.
ADVERTISEMENT
Bunga yang ia terima makin menumpuk, sampai utangnya membengkak jadi Rp 12 juta dalam setahun. Hal ini berdampak langsung pada skor kreditnya, yang nantinya mengancam impiannya untuk mengajukan KPR di masa depan. Berkat kegagalannya membayar utang, Izzaty jadi terjebak dalam cicilan berkepanjangan, dan mempersulit dirinya untuk menyelesaikan skripsi yang membutuhkan dana untuk riset laboratorium.
Kasus lilitan cicilan bunga ganas ini tentu tak hanya menimpa Izzaty seorang. Media sosial yang menjadi reklame iklan konsumerisme, melalui konten-konten para influencer, akhirnya jadi corong utama campaign marketing dijalankan. Campaign #HaulPayLater di TikTok misalnya, menampilkan anak muda pamer belanjaan barang branded tanpa menyebutkan barang tersebut dibeli memakai paylater.
Mirisnya, menurut survei Jakpat (2023), ditemukan bahwa 68% pengguna paylater mengaku malu untuk mengakui utangnya kepada keluarga mereka. Hal ini tentu semakin berbahaya, mengingat mayoritas dari mereka belum memiliki penghasilan tetap, dan masih bergantung pada pembiayaan orang tua untuk hidup sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Bisa kita bayangkan sebuah realitas, yang benar-benar terjadi, di mana alih-alih untuk menabung untuk investasi, anak muda justru mengalokasikan 30% penghasilan mereka untuk cicilan gawai mahal dan hiburan tersier. Mengutip dari Kompas.id, PT Pefindo Biro Kredit mencatat dalam setahun terakhir, paylater tumbuh 24,53 persen lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan perilaku konsumtif masyarakat yang masih tinggi dan makin menggila.
Lebih lanjut, secara daerah, pengguna paylater terkonsentrasi di Jabodetabek dengan pangsa pasar 31,71 persen. Secara pengguna, rentang usia 19-40 adalah kelompok debitur terbesar. Rincian transaksinya berasal dari kategori penggunaan lainnya 41,9 persen, pembelian di e-commerce sebesar 33 persen, dan pembelian tiket untuk bepergian mencapai 21,1 persen. Sebagian besar untuk kebutuhan konsumtif. Alhasil "gali lubang tutup lubang", jadi sebuah tren di masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Melihat masalah yang semakin kompleks ini, seyogyanya kita mundur kembali ke tahun 2008. Krisis finansial global di tahun tersebut, dipicu oleh kredit macet dari kartu kredit yang beroperasi di Amerika Serikat. Fase di mana banyak nasabah gagal bayar atau melunasi cicilan rumah berjangka panjang. Jika kecerobohan ini kembali diulang oleh paylater, berkat OJK yang kurang ketat dan BI teledor sebagai regulator, bukan tidak mungkin krisis kredit macet terjadi dalam waktu dekat. Paylater berpotensi jadi subprime mortgage baru ala Indonesia. Bedanya, paylater ini tidak dilindungi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Artinya, jika perusahaan pemberi jasa kolaps karena gagal bayar massal, maka nasabah baru tidak bisa mendapat dana yang mereka klaim.
Mari kita bayangkan sebuah skenario. Terdapat 10 juta pengguna paylater, masing-masing gagal bayar dua juta rupiah. Maka terdapat dana kredit macet sejumlah Rp 20 triliun. Setelah dampak ini menghantam, maka akan banyak fintech kesulitan melakukan likuiditas, yang menyebabkan layanan berhenti beroperasi. Selanjutnya, bank-bank yang menjadi mitra bisnis fintech ikut kena imbasnya. Ujungnya, krisis keuangan merambat ke banyak sektor, karena bank tidak mampu lagi memberikan kredit kepada nasabah, dan akan melakukan debit massal seperti krisis moneter tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Kasus pinjol ilegal pada 2021 harusnya menjadi peringatan. Saat itu, ada 1,2 juta orang dirugikan oleh bunga pinjaman yang mencapai 0,8% per hari. Kejadian tersebut membuat banyak penyedia jasa pinjaman online gulung tikar dan pengguna kesulitan untuk mengajukan kredit ke bank-bank nasional. Melihat kasus ini, paylater yang semakin liar dan tidak diregulasi, kemungkinan akan berubah jadi rentenir berizin. Praktik serupa pinjaman online ganas akhirnya terjadi lagi, dan membawa implikasi yang sama.
Solusi mendasar yang harus segera diterapkan oleh OJK adalah turun tangan langsung sebagai regulator. Contohnya, merevisi POJK Nomor 35/2018 tentang fintech, dengan beberapa aturan yang lebih mengikat. Pertama, memberikan plafon maksimal 30% dari penghasilan bulanan penggunanya. Kedua, larangan iklan paylayter yang masif di media sosial, atau dengan pelarangan keterlibatan konten eksplisit yang menunjukkan pembelian barang menggunakan paylater. Selain itu, sama dengan iklan rokok yang diregulasi, dilarang menargetkan untuk masyarakat di bawah 21 tahun atau mempromosikan gaya hidup mewah. Terakhir, menampilkan bunga per tahun (bukan per hari) dengan font besar di setiap konten iklan yang ditayangkan. Hal ini bertujuan untuk memberikan transparansi bunga kepada calon pengguna.
ADVERTISEMENT
Selain dari sisi pemerintah, perusahaan fintech juga harus berbenah diri demi menyelamatkan perusahaannya dari kerugian massal. Pada setiap rekening konsumen, mereka bisa memberikan fitur “lock limit”, yang memungkinkan pengguna untuk membatasi plafon paylater sendiri. Dilanjutkan dengan penerapan notifikasi peringatan risiko dini bila pengguna mendekati batas kemampuan bayar. Berikutnya, pengguna bisa diberikan reward seperti diskon di e-commerce mitra bila berhasil melunasi cicilan sebelum jatuh tempo.
Agar transaksi pengguna semakin aman dari gagal bayar, e-wallet yang bekerja sama dengan fintech bisa menerapkan fitur “auto-saving”, yakni menyisihkan sepuluh ribu rupiah setiap hari dari saldo pengguna setiap hari, untuk tujuan belanja di akhir bulan. Fitur ini akan semakin jos bila didukung oleh indikator menabung yang divisualisasikan oleh “pohon impian” dengan animasi interaktif yang diisi oleh barang-barang impian yang akan dibeli. Tujuan dari fitur tabungan ini, untuk memberikan stimulus kepada pengguna untuk lebih bijak dalam pengelolaan keuangan yang lebih baik. Masukan ini tentu didukung oleh survei Katadata (2023) yang mengatakan bahwa 7 dari 10 pengguna paylater mengaku stres saat tagihan mendekati jatuh tempo.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kita sampai pada penghujung artikel yang cukup melelahkan ya? Kesimpulannya, layanan paylater bukanlah musuh. Ia hanya sebuah alat yang bisa menjadi berkah atau petaka, tergantung bagaimana cara memanfaatkannya. Tetapi, tanpa hadirnya regulasi yang jelas dan ketat, literasi keuangan pengguna, dan kesadaran kolektif, tentu akan jadi bencana. Alat ini bisa melahirkan “kiamat” finansial berupa kredit macet massal yang menghancurkan masa depan generasi muda.
Pemerintah dalam hal ini harus segera bergerak cepat memperbarui regulasi. Fintech wajib bertanggung jawab, bukan sekadar mengejar keuntungan besar dalam waktu singkat. Sebagai masyarakat, harus mulai berani untuk berkomitmen tidak perlu membeli, kalau belum mampu membayar nanti. Seperti kata Najwa Shihab, “utang itu seperti api, bisa menghangatkan tapi juga mampu membakar.”
ADVERTISEMENT