Konten dari Pengguna

Babak Baru Sergio Ramos, Legenda Real Madrid, di Liga Meksiko

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
12 Februari 2025 15:49 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sergio Ramos dengan seragam barunya. Sumber: Monterrey Rayados dan diedit oleh penulis menggunakan aplikasi Adobe Photoshop
zoom-in-whitePerbesar
Sergio Ramos dengan seragam barunya. Sumber: Monterrey Rayados dan diedit oleh penulis menggunakan aplikasi Adobe Photoshop
ADVERTISEMENT
Sergio Ramos tak pernah tanggung brutal. Bek yang lebih dikenal karena tekelnya yang keras daripada senyumannya ini telah mengoleksi 28 kartu merah sepanjang kariernya—rekor yang bikin lawan segan dan wasit waspada. Kini, di usia 38 tahun, ia kembali mengejutkan dunia dengan keputusan hijrahnya ke Liga Meksiko, bergabung bersama Monterrey. Apakah ini sekadar pelarian menjelang pensiun, atau masih ada bara kompetitif yang membakar dalam dirinya?
ADVERTISEMENT
Kepindahan Ramos ke Meksiko bukan cuma soal nostalgia atau sekadar menambah saldo rekening. Ini adalah ujian terakhir bagi mental "win or die" yang selama ini menjadi identitasnya. Bagaimana gaya bertahannya yang ekstrem menghadapi tantangan baru di liga yang terkenal dengan permainan agresif? Apakah ia masih mampu menjadi tembok kokoh di lini belakang, atau justru akan lebih sering berurusan dengan kartu merah daripada perayaan kemenangan? Yang jelas, perjalanan Ramos di tanah Amerika Latin ini akan menjadi babak menarik dalam karier panjangnya yang penuh drama.
Sergio Ramos di Puncak Karir: Real Madrid dan Seni "Menghancurkan" Lawan
Sergio Ramos bukan sekadar bek yang bertahan, melainkan seniman di lapangan yang menggabungkan kecerdasan taktis, agresivitas, dan “dark arts” dalam setiap pertandingan. Di puncak karirnya bersama Real Madrid, Ramos tampil dengan statistik yang mengesankan: 671 penampilan, 101 gol, dan 40 assist, serta membawa pulang 26 trofi—termasuk empat gelar UEFA Champions League. Walaupun identik dengan kartu merah—20 di La Liga dan 4 di UCL—rekor ini justru mencerminkan betapa ia tak segan mengambil risiko demi menguasai permainan. Teknik provokatifnya, dikombinasikan dengan kemampuan untuk melakukan time-wasting pada momen-momen krusial, membuatnya menjadi sosok yang sulit diprediksi dan selalu memberikan tekanan mental kepada lawan.
ADVERTISEMENT
Kekuatan mental Ramos pun tampak jelas ketika ia mencetak gol penyeimbang di menit ke-93 pada final Liga Champions 2014. Momen itu bukan hanya mengubah arah pertandingan, tetapi juga menegaskan statusnya sebagai “clutch player”—sosok yang mampu tampil di saat-saat genting dan memberikan hasil ketika timnya sangat membutuhkannya. Dengan gaya bermain yang brutal dan penuh emosi, Ramos selalu menginspirasi rekan-rekannya untuk tidak pernah lengah, sekaligus menunjukkan bahwa keberanian dan keberhasilan sering datang dari pengambilan risiko yang terukur.
Kini, kehadirannya di Liga MX bersama Monterrey mengundang pertanyaan menarik: apakah klub ini benar-benar mencari sosok pemimpin yang mampu mengubah dinamika tim, atau hanya mengandalkan branding dari mantan pemain top Eropa? Di satu sisi, pengalaman dan mentalitas “win or die” yang selama ini melekat pada Ramos dapat memberikan suntikan semangat dan kedalaman strategi di lini pertahanan Monterrey. Di sisi lain, ada juga nuansa romantis sepak bola yang membuat kehadirannya menjadi daya tarik tersendiri bagi para penggemar—sebuah simbol kejayaan masa lalu yang sekaligus membawa harapan baru bagi sebuah tim yang ingin bersaing ketat di Liga MX.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun juga, perjalanan Ramos di tanah Meksiko ini akan menjadi ujian terakhir bagi gaya ekstremnya. Apakah ia mampu menyesuaikan mentalitas dan tekniknya di lingkungan yang berbeda, atau kehadirannya hanya sebatas simbol untuk menambah aura eks pemain top Eropa? Waktu yang akan menjawab, namun satu hal yang pasti: legasi Ramos di Real Madrid telah mengukir sejarah, dan sekarang ia memiliki kesempatan untuk menorehkan bab baru dalam kariernya.
Gaya Main Ekstrem di Usia Senja: Masih Relevan?
Meskipun usianya sudah memasuki senja karier, gaya main ekstrem Ramos masih menyisakan tanda tanya: apakah ia masih relevan di era yang menuntut adaptasi? Data menunjukkan bahwa selama masa tugasnya di PSG (2021–2023), rata-rata tekel per gamenya turun drastis dari 2,5 di Madrid menjadi 1,2, sementara persentase duel udara yang dimenangkan pun menyusut dari 75% menjadi 65%. Tidak hanya itu, dalam tiga tahun terakhir, Ramos tercatat mengalami 18 cedera menurut data dari Transfermarkt—sebuah indikasi nyata bahwa fisiknya tidak lagi seperti masa kejayaannya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, konteks Liga MX memberikan secercah harapan. Walaupun liga ini terkenal dengan sifat fisikal yang tinggi, tempo permainannya cenderung lebih lambat dibandingkan kompetisi di Eropa. Hal ini membuka peluang bagi Ramos untuk mengandalkan pengalaman dan kecerdasan membaca permainan, suatu nilai tambah yang sering kali tak tergantikan oleh kekuatan fisik semata. Perbandingan bisa diambil dengan Thiago Silva di Chelsea, yang pada usia 39 tahun tampil dengan gaya lebih kalem namun tetap efektif sebagai tulang punggung lini belakang.
Di sisi lain, gaya main agresif Ramos masih membawa risiko disiplin yang harus dihadapi oleh Monterrey. Di musim 2023/24 bersama Sevilla, misalnya, ia tercatat mendapatkan 2 kartu merah dalam 9 laga, sebuah statistik yang bisa menjadi beban tambahan bagi tim. Apakah klub di Liga MX siap menampung konsekuensi disiplin dari seorang pemain yang tak kenal kompromi?
ADVERTISEMENT
Seperti ungkap Ramos pada 2023, "Saya tak ingin jadi pelatih di lapangan, tapi tetap ingin jadi pemimpin yang tak kenal kompromi." Kalimat itu mencerminkan tekadnya untuk tetap menginspirasi dan memimpin dengan prinsip yang sama, meskipun harus beradaptasi dengan keterbatasan fisik. Di era di mana pengalaman menjadi senjata utama, Ramos dituntut mengeluarkan gaya ekstremnya bertahan, atau ia harus mengubah irama untuk terus relevan di panggung yang baru.
Ambisi Meninggalkan Legacy
Kepindahan Sergio Ramos ke Liga Meksiko tampaknya tidak didorong terutama oleh faktor ekonomi, mengingat gaji yang diterimanya di Monterrey hanya sekitar €3,5 juta per tahun—jauh lebih rendah dibandingkan tawaran dari klub Arab Saudi yang mencapai ~€12 juta per tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah langkah ini semata-mata merupakan ambisi untuk terus bersaing, atau lebih kepada pencarian identitas baru di luar kancah sepak bola Eropa?
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang non-ekonomi, terdapat beberapa faktor yang menjelaskan motivasi Ramos. Pertama, keinginan untuk mencoba tantangan baru di liga yang memiliki karakteristik unik. Liga MX, yang menikmati popularitas tinggi dengan 25 juta penonton per musim—tertinggi di Amerika Latin—menawarkan atmosfer kompetitif yang berbeda, dengan tempo permainan yang cenderung lebih lambat dibandingkan liga-liga Eropa. Di sinilah Ramos dapat mengandalkan pengalaman, meski secara fisik mungkin tidak lagi seperti masa mudanya.
Kedua, kepindahan ke Monterrey juga tampak sebagai bagian dari proyek ambisius klub tersebut. Setelah meraih gelar Liga MX pada 2023 dan dengan ambisi kuat untuk menjuarai CONCACAF Champions League, Monterrey sedang menggalang kekuatan untuk menjadi kekuatan dominan di kawasan. Dalam konteks ini, Ramos berpotensi menjadi "game changer"—sebuah figur yang tidak hanya memperkuat lini belakang, tetapi juga membawa pengaruh kepemimpinan yang mampu menginspirasi tim untuk meraih prestasi lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, ada aspek pencarian legacy. Seperti halnya Beckham dan Leo Messi yang mengukir sejarah di luar Eropa dengan bergabung di MLS, Ramos tampaknya ingin membuktikan bahwa dirinya masih mampu bersinar di kancah internasional yang berbeda. Langkah ini bisa jadi merupakan upaya untuk mengukuhkan warisan dan identitasnya sebagai pemain legendaris yang tidak hanya diukur dari kesuksesan di liga Eropa, melainkan juga dari kontribusinya dalam mengubah dinamika dan membawa semangat kompetitif di liga baru.
Secara ringkas, meskipun tawaran finansial tidak sekelas opsi lain, keputusan Ramos untuk pindah ke Liga Meksiko mencerminkan perpaduan antara ambisi profesional, pencarian identitas baru, dan keinginan untuk meninggalkan legacy yang tak lekang oleh waktu. Pendekatan ini menunjukkan bahwa bagi Ramos, perjalanan kariernya bukan semata soal uang, tetapi tentang tantangan, inovasi, dan bukti bahwa kehebatan tetap dapat bersinar di arena manapun. Jika suatu hari Ramos mendapat kartu merah ke-29, maka itu bukanlah kegagalan. Melainkan, konsekuensi dari aksi seni bertahan yang brutal.
ADVERTISEMENT