news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

George Soros: Dalang Media Global dan Agenda Terselubung di Gerakan Filantropi

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
16 Maret 2025 9:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unsplash/Absolut Vision
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unsplash/Absolut Vision
ADVERTISEMENT
Di balik layar bisnis media global, terdapat seekor laba-laba tua yang gesit merajut jaringnya hingga ke sudut-sudut gelap kekuasaan. George Soros, triliuner berusia 93 tahun yang pernah menjebloskan Poundsterling ke penjara krisis pada 1992, bukan hanya spekulan investasi mata uang legendaris. Ia adalah arsitek utama jaringan media global yang rumit, seekor laba-laba yang memintal jaringnya dari New York hingga Budapest. Terbentang dari ruang redaksi hingga lobi kebijakan. Setiap gerakannya—dari donasi 'filantropi' hingga investasi gelap—menyimpan pola yang sama: mengubah media menjadi senjata untuk mengukir realitas sesuai ambisinya.
ADVERTISEMENT
Pada 1992 silam, Soros memanfaatkan ketergantungan Inggris pada ERM (European Exchange Rate Mechanism) untuk menyerok Poundsterling, meruntuhkan kepercayaan pasar uang, dan meraup USD 1 miliar dalam semalam. Tak cukup sampai disitu, ia juga semakin memperluas operasinya hingga bisnis informasi dan media. Melalui OSF (Open Society Foundation), Soros kerap kali menyumbang dana jutaan dolar ke berbagai media besar berpengaruh di dunia.
Tapi apa motif di balik kedermawanan ini? Mengapa Soros, seorang oligarki yang portofolio investasinya merambah energi, farmasi, dan teknologi, begitu obsesif mendanai media progresif? Apakah ini kebetulan bahwa media-media ini serempak mengampanyekan isu-isu yang sejalan dengan kepentingan bisnisnya—seperti transisi energi hijau, imigrasi terbuka, atau deregulasi pasar? Atau ini adalah bagian dari skema panjang untuk meracuni pikiran publik, membungkam oposisi, dan menciptakan dunia di mana Soros tidak hanya menguasai uang, tetapi juga kebenaran?
ADVERTISEMENT
Filantropi atau Senjata Ideologi?
George Soros kerap muncul sebagai sosok filantropi progresif yang mendedikasikan kekayaannya untuk keberlangsungan demokrasi. Namun, sejak pendanaan media via OSF yang sering dilancarkannya, ia dihadapkan pada tuduhan serius. Soros dicurigai mempromosikan narasi globalisme lewat media-media yang mengedepankan narasi anti-establishment yang berseberangan dengannya.
Lewat aliran dana jutaan dolar tiap tahun, Soros semakin memperoleh posisinya dengan baik. Data menunjukkan, sejak 2016, OSF telah menyuntikkan USD 52 juta ke 45 organisasi media di AS, termasuk ProPublica dan The Marshall Project, menurut laporan Media Research Center (2021). Angka ini bukan sekadar "dukungan untuk jurnalisme independen", melainkan investasi sistematis untuk membentuk opini publik.
Ambil contoh media ProPublica, penerima $1,3 juta dari OSF pada 2019 untuk meliput "ketimpangan ekonomi". Sepintas, ini terlihat mulia. Namun, laporan investigasi mereka seperti "The Secret IRS Files" (2021)—yang mengungkap pengemplangan pajak triliuner—ternyata tidak pernah menyentuh portofolio Soros, termasuk perusahaan offshore-nya di Kepulauan Virgin. Padahal, Soros sendiri disebut Forbes sebagai salah satu "penggerak pasar gelap obligasi negara berkembang". Di sini, filantropi berubah menjadi tameng. ProPublica dijadikan alat untuk mengalihkan sorotan dari praktik Soros, sambil menyerang kompetitor bisnisnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian muncullah The Intercept, media yang didanai oleh First Look Media, kepunyaan Pierre Omidyar—mitra Soros dalam sejumlah inisiatif OSF. The Intercept gencar mengekspos skandal pemerintahan Trump, misalnya kolusi yang dilakukan Rusia dalam memengaruhi pemilu AS. Tetapi, seringkali tutup mata pada bobroknya pemerintahan Joe Biden yang mendukung tegas kebijakan imigrasi terbuka ke AS. Dalam tiga tahun terakhir, hampir 70% artikel rilisan The Intercept tentang topik politik fokus mengkritik kelompok sayap kanan. Sementara hanya 11% yang berani menguliti kelompok sayap kiri (Media Bias/Fact Check, 2023).
Di Eropa Timur, OSF lebih terang-terangan. Di Hungaria, pemerintah Viktor Orbán menuding Soros mendanai media seperti Direkt36 dan 444.hu untuk "merusak kedaulatan nasional". Data OSF menunjukkan bahwa sejak 2015, mereka telah mengucurkan EUR 5,2 juta ke beberapa media asal Hungaria. Dana ini disinyalir sering digunakan sebagai pembiayaan liputan anti korupsi yang menyenggol nama Viktor Orban di dalamnya. Selain itu, Soros juga sudah menancapkan cakarnya dengan berinvestasi besar di berbagai perusahaan teknologi dan energi asal Eropa Timur—sektor yang kebijakannya bisa diubah melalui tekanan media. Apakah ini kebetulan? Atau ini simbiosis antara aktivisme media dan ekspansi bisnis?
ADVERTISEMENT
Merubah Media Menjadi Mesin Propaganda
George Soros tidak hanya mendanai media, ia berinvestasi pada pembangunan pabrik narasi. Setiap perusahaan yang terkait dengannya, dari Vice Media hingga The Guardian, beroperasi layaknya roda gigi dalam mesin propaganda raksasa yang mencetak kebenaran versi Soros. Pola liputan mengungkapkan keseragaman yang mencurigakan: isu-isu yang diangkat selalu selaras dengan agenda globalisme, transisi energi hijau, dan pelemahan kedaulatan nasional—tiga pilar yang juga menjadi tulang punggung kerajaan investasinya.
Vice Media contohnya, pada 2015 silam mendapatkan kucuran dana sebesar USD 250 juta dari OSF. Setelah dana besar masuk, mereka mulai gencar mengampanyekan ideologi progresif ekstrem, LGBTQ, dan anti bahan bakar fosil yang radikal. Pada waktu yang sama, Soros terlacak sedang memiliki portofolio besar di investasi perusahaan mobil listrik di berbagai negara. Tidak heran jika Vice yang audiensnya didominasi Gen Z, menghasilkan kurang lebih 300 artikel tentang krisis iklim dan gaya hidup bebas pada 2022.
ADVERTISEMENT
Di Eropa, The Guardian yang didanai oleh OSF melalui program pelatihan jurnalis, jadi ujung tombak kampannye anti-nasionalisme. Program "Guardian- Open Society Fellowship" telah melatih 45 jurnalis dari Eropa Timur sejak 2019, dengan kurikulum yang menekankan "nilai demokrasi liberal". Akhirnya jurnalis-jurnalis lulusan program ini membanjiri media Eropa Timur, dengan liputan mengenai pemerintah konservatif Hungaria dan Polandia sebagai penjahat otoriter.
Di sisi lain mereka mengabaikan kebijakan pro-globalis ala Soros, seperti penerimaan imigran massal. Laporan Media Research Center (2022) menemukan bahwa 89% artikel The Guardian tentang Hungaria antara 2020-2023 mengandung kata kunci "demokrasi terancam", tetapi hanya 3% yang menyebut investasi Soros di sektor privat negara tersebut.
Propaganda ini menjalar hingga Amerika Latin, saat OSF mendanai Agência Pública (Brasil) dan Centro de Investigación Periodística (Chili) untuk meliput "pelanggaran HAM" oleh pemerintah sayap kanan. Namun, kedua media ini membisu ketika pemerintahan Meksiko melakukan pembungkaman pers. Analisa Latin Media Monitor (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 80% artikel Agência Pública tentang Brasil di era Bolsonaro bernada negatif, sementara hanya 22% yang mengkritik kebijakan López Obrador di Meksiko—negara tempat Soros memiliki investasi tambang senilai USD 650 juta.
ADVERTISEMENT
Mekanisme propaganda Soros lebih kejam daripada rezim otoriter manapun. Ia tidak perlu mengotori tangannya untuk membredel media—cukup membiayainya, lalu membiarkan "jurnalis independen" mengulangi narasi yang ia inginkan. Dampaknya jelas, yakni media bukan lagi penjaga demokrasi, tetapi seorang algojo yang siap memenggal realitas. Setiap pemberitaan krisis iklim dan ancaman populasi adalah mesin uang untuk memperkaya Soros, dan merobohkan lawan bisnisnya. Seperti kata Noam Chomsky: "Propaganda paling efektif adalah yang tidak terlihat seperti propaganda." Soros telah menguasainya dengan sempurna.