Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Kekayaan Semu: Ketika Kebohongan Menjadi Topeng
18 Februari 2025 11:02 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Terang Coffe, tempat lokasi perbincangan kekayaan. Sumber: Dokumentasi Pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm9zqvd9es4eqmc3j15qegq3.png)
ADVERTISEMENT
Malam dingin di Terang Coffe & Eatery, aku duduk dengan tiga orang yang entah mengapa tak terasa seperti teman. Udara malam berembus lembut, membawa aroma kopi yang pekat bercampur dengan sedikit asap rokok dari meja sebelah. Namun, di dalam diriku, ada angin panas yang menderu-deru, seolah badai kecil sedang berkecamuk di dada, menyeret segala emosi yang selama ini kusembunyikan. Di sampingku, mereka bertiga bergantian bercerita tentang kesuksesan mereka—atau setidaknya, itulah yang ingin mereka yakinkan padaku. Kata-kata meluncur bagai air sungai deras, mengalir tanpa henti, namun tak satu pun sampai ke telingaku dengan jernih. Hanya gemericik kosong, seperti tetesan air memantul dari batu licin, memenuhi kepala.
ADVERTISEMENT
Leader MLM itu bicara soal downline-nya yang ribuan, katanya. Ia menepuk dadanya sendiri, lalu tertawa renyah, seolah dunia ini adalah panggung sandiwara dan ia bintang utamanya. Matanya berbinar-binar, penuh percaya diri, saat ia menjelaskan betapa mudahnya mengumpulkan uang hanya dengan merekrut orang lain bergabung dalam skema piramidanya. Tangannya bergerak-gerak antusias, seperti penyihir yang menggambar simbol-simbol magis di udara, menciptakan ilusi kemakmuran bagi siapa saja yang mau mendengarkannya. “Annajm,” katanya, suaranya nyaring dan penuh keyakinan, “kamu hanya perlu ikut aku. Tiga bulan saja, kamu pasti bisa beli mobil baru. Bahkan rumah mungkin.” Aku tersenyum tipis, tapi dalam hati aku merasa geli. Apakah dia benar-benar percaya pada kata-katanya sendiri? Ataukah ia hanya sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini nyata?
ADVERTISEMENT
Trader kripto menyela dengan klaim profit miliaran—matahari pun, katanya, takkan sanggup menyilaukan angka-angka di rekeningnya. Suaranya rendah dan tenang, namun ada nada sombong yang samar-samar di balik setiap kata yang ia ucapkan. Dia memperlihatkan layar ponselnya kepada kami, menunjukkan grafik-grafik yang naik turun dengan warna hijau mencolok. “Ini bukan soal untung rugi,” katanya, sambil menyeringai, “ini soal visi. Orang-orang bodoh yang takut ambil risiko, mereka yang akan kalah. Sedangkan aku…” Dia berhenti sejenak, lalu menyeruput kopinya pelan-pelan, seolah memberi waktu bagi kata-katanya untuk meresap. “…aku adalah masa depan.” Aku menatapnya tanpa berkata apa-apa. Grafik itu tampak begitu sempurna, begitu indah, seperti mantra yang bisa membuat orang lupa daratan. Tapi apakah itu benar-benar miliknya? Atau hanya bayangan palsu yang diciptakan oleh algoritma dan harapan kosong?
ADVERTISEMENT
Dan si asisten DPR? Ah, dia hanya tersenyum tipis, lalu mulai bercerita tentang proyek-proyek fiktif yang ia tandatangani. Kemeja mahalnya terlihat begitu rapi, seolah disetrika ulang setiap kali ia bernapas. Suaranya datar, namun ada kebanggaan terselubung dalam setiap kalimat yang ia ucapkan. “Proyek infrastruktur besar-besaran,” katanya, sambil memainkan cincin emas di jarinya. “Anggarannya triliunan. Tentu saja, ini demi kemajuan bangsa.” Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada yang sedikit lebih tinggi, seakan ia sedang berpidato di hadapan para pendukungnya. Tapi matanya—matanya tidak pernah benar-benar bertemu dengan mataku. Mereka bergerak cepat, seperti tikus yang berlarian di lorong gelap, mencari tempat bersembunyi. Apakah dia takut? Ataukah dia hanya mencoba menyembunyikan sesuatu?
Aku diam. Tak berkata apa-apa. Tokoku yang reyot dan mobil pikap tua yang kusupiri setiap hari adalah bukti bahwa aku tak sesukses mereka. Atau mungkin... mereka juga tak sesukses yang mereka katakan? Pikiran itu berputar-putar di kepalaku, seperti daun kering yang tertiup angin, tak pernah benar-benar jatuh ke tanah. Aku memandangi ketiganya, satu per satu, mencoba membaca wajah mereka, mencari jejak kejujuran di balik topeng-topeng yang dikenakan. Tapi semakin aku memandang, semakin aku merasa mereka bukanlah manusia biasa. Mereka adalah makhluk aneh, setengah nyata dan setengah ilusi, hidup di antara dua dunia: dunia nyata dan dunia mimpi. Dan aku? Aku hanya penonton, duduk di kursi, menonton simposium yang tak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Ilusi Superioritas & Tekanan Sosial
Saat mereka terus berbicara—entah itu tentang downline ribuan, profit miliaran, atau proyek fiktif yang katanya “demi kemajuan bangsa”—aku hanya duduk di sana, diam, dengan segelas kopi yang mulai dingin di depanku. Tapi dalam kepala, pikiran-pikiranku berkecamuk seperti badai. Aku mencoba memahami apa yang sedang terjadi, mencari jejak kebenaran di antara hutan ilusi yang tercipta.
Manusia, aku tahu, adalah makhluk yang haus pengakuan. Itu bukan sekadar naluri; itu adalah bagian dari cara kita bertahan hidup. Ketika seseorang merasa dirinya lebih rendah dari orang lain, ia akan berusaha menciptakan citra superior untuk menutupi ketidakberdayaannya. Teori Social Comparison yang pernah kubaca melintas di benakku. Orang-orang membandingkan diri dengan orang lain untuk menilai diri sendiri. Jika kenyataan tak sesuai harapan, mereka menciptakan narasi baru—narasi palsu—untuk menghindar dari rasa malu dan kegagalan.
ADVERTISEMENT
Semua ini membuatku berpikir. Apakah mereka benar-benar percaya pada cerita-cerita mereka sendiri? Ataukah mereka hanya terjebak dalam siklus ilusi superioritas yang tak terhindarkan? Dalam hati, aku mulai merasa bahwa mereka bukanlah manusia biasa. Dunia nyata adalah tempat aku berada, dengan toko reyot dan pikap tua yang kutunggangi setiap hari. Dunia mimpi adalah tempat mereka berdiri, di mana angka-angka besar dan janji-janji manis menjadi kenyataan—setidaknya, itulah yang ingin mereka yakini.
Namun, aku tahu satu hal: kebohongan tidak akan bertahan selamanya. Seperti bayang-bayang di bawah matahari, kebohongan itu pasti akan lenyap saat cahaya kebenaran datang. Dan jika mereka benar-benar penipu, maka suatu hari, topeng-topeng itu akan jatuh. Pertanyaannya adalah: apakah aku akan tetap diam saat itu terjadi? Ataukah aku akan ikut terseret dalam badai yang mereka ciptakan?
ADVERTISEMENT
Percakapan di Toko Reyot
Malam itu, aku pulang dengan hati yang terasa penuh duri. Udara dingin menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuatku merinding. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada—rasa kosong bercampur amarah, rasa malu bercampur kecewa—semua berkecamuk. Aku tahu, aku harus menyelesaikan satu pekerjaan terakhir sebelum benar-benar menutup hari ini: memperbaiki laptop seorang pelanggan yang rusak akibat tumpahan air. Laptop itu milik Briptu Agung, seorang polisi muda yang tampak ramah namun sedikit misterius.
Ketika aku membuka pintu tokoku yang reyot, ia sudah duduk di kursi plastik di teras, menunggu dengan sabar sambil memainkan ponselnya. "Maaf, mas, saya buru-buru," katanya saat aku datang. Suaranya sopan, namun ada nada serius yang sulit diabaikan. Aku hanya mengangguk, lalu mulai bekerja di meja kerjaku yang sederhana. Lampu neon redup di atas kepala kami berkedip-kedip, sebelum akhirnya menyala stabil, memberikan cahaya yang cukup untuk melihat komponen-komponen kecil di dalam laptop.
ADVERTISEMENT
Sambil bekerja, aku mencoba berbasa-basi. "Ada keperluan penting, ya, Pak?" tanyaku, mencoba terdengar santai meski pikiranku masih dipenuhi oleh bayang-bayang percakapan di kafe tadi.
Briptu Agung tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada ringan penuh teka-teki. "Ya, bisa dibilang begitu. Ini soal pekerjaan. Saya sedang mengejar waktu untuk menuntaskan sesuatu yang... cukup sensitif." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kalau boleh jujur, saya butuh laptop ini untuk mengecek beberapa dokumen penting malam ini juga."
Aku mengangkat alis, penasaran. "Dokumen apa, Pak? Kalau boleh tahu." Pertanyaanku terlontar tanpa sengaja, lebih karena rasa ingin tahu daripada basa-basi semata.
Ia tertawa kecil, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Begini saja, Mas. Bayangkan kalau ada orang-orang yang berpura-pura sukses, tapi ternyata mereka hanya terlibat permainan besar untuk menipu banyak orang."
ADVERTISEMENT
Jantungku seketika berdegup kencang. Kata-katanya langsung menusuk telingaku seperti jarum tajam. Aku berusaha tetap tenang, tapi tangan yang sedang memegang obeng tiba-tiba gemetar. "Oh ya?" kataku, berusaha terdengar biasa saja. "Pasti sulit ya, Pak, menangani kasus seperti itu?"
Briptu Agung mengangguk pelan. "Memang tidak mudah. Apalagi orang-orang ini sangat licin. Mereka pandai menyembunyikan jejak, bahkan kadang berhasil membuat diri mereka tampak seperti pahlawan di mata masyarakat. Tapi kita punya bukti-bukti kuat. Tinggal menunggu waktu saja sebelum semuanya terungkap."
Kemudian, ia mulai menyebutkan beberapa nama. Awalnya, aku hanya mendengarkan tanpa bereaksi. Namun, ketika ia menyebut nama-nama temanku—Leader MLM itu, trader kripto yang sombong, dan si asisten DPR—aku rasanya seperti disambar petir di tempat. Dunia tiba-tiba berputar begitu cepat, seolah gravitasi telah hilang dan aku terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Tubuhku membeku, obeng yang kugenggam nyaris terlepas dari tangan. Aku mencoba menelan ludah, tapi tenggorokanku terasa kering.
ADVERTISEMENT
"Kenapa, Mas? Bisa diperbaiki?" tanya Briptu Agung, melihat reaksiku yang aneh.
Aku buru-buru menggeleng, berusaha menyembunyikan keguncangan dalam diriku. "Nggak, nggak apa-apa, Pak. Hanya... agak kaget saja mendengar cerita ini. Memangnya, kenapa mereka bisa sampai terlibat?"
Agung menatapku sejenak, seolah mencoba membaca ekspresiku. Lalu, ia berkata dengan nada halus, "Begini, Mas. Kadang, orang-orang ini terjebak dalam ilusi kekayaan. Mereka pikir, dengan uang banyak, mereka bisa mendapatkan segalanya. Tapi pada akhirnya, mereka hanya menjadi budak. Dan sayangnya, cara mereka mendapatkan uang itu... tidak bersih."
Aku hanya bisa diam. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana bisa? Teman-temanku, yang tadi sore masih tertawa renyah, ternyata adalah bagian dari jaringan penipuan besar-besaran. Aku tahu, dalam hati, bahwa kebohongan mereka tak akan bertahan selamanya. Seperti bayang-bayang di bawah matahari, kebohongan itu pasti akan lenyap saat cahaya kebenaran datang. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa kebenaran itu akan datang begitu cepat, dan melalui cara yang begitu ironis.
ADVERTISEMENT
Aku melanjutkan pekerjaanku dengan tangan yang masih gemetar. Setiap detik terasa seperti jam. Ketika akhirnya laptop itu selesai diperbaiki, aku menyerahkannya kepada Briptu Agung dengan senyum yang terasa kaku. "Ini sudah selesai, Pak. Semoga bisa membantu pekerjaan Bapak."
Ia tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih. Sebelum pergi, ia menepuk bahuku pelan. "Hati-hati, Mas. Dunia ini penuh dengan tipu daya. Jangan sampai terjebak dalam ilusi yang salah."
Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Ketika ia pergi, aku duduk kembali di kursi plastik itu, merenung dalam kesunyian. Malam itu, aku menyadari satu hal: dunia memang penuh dengan kebohongan. Tapi hanya mereka yang berani menghadapi kebenaran yang bisa keluar dari jerat bayang-bayang kekayaan ilusi.
ADVERTISEMENT
Ada api kecil yang menyala di dadaku. Api dendam. Bukankah mereka pantas menerima karma atas semua kebohongan yang mereka buat? Bukankah mereka layak merasakan penderitaan seperti yang kurasakan? Tapi aku ingat, kebangkrutanku bukan karena ulah mereka. Aku sendiri yang gagal menjaga tokoku, aku sendiri yang tak cukup kuat menghadapi badai kehidupan.
Teori Cognitive Dissonance melintas di pikiranku. Manusia menghindari konflik mental dengan mencari alasan-alasan untuk meredakan ketegangan. Aku sadar, jika aku membocorkan rahasia itu, aku hanya akan menjadi sama buruknya dengan mereka. Motif balas dendam hanya akan menyeretku ke dalam lumpur kebencian yang sama kosongnya dengan kebohongan yang mereka ciptakan.
Aku memilih diam. Memilih untuk tidak ikut bermain dalam drama kebohongan. Barangkali inilah integritas—sebuah pilihan yang sulit, tapi tetap harus diambil.
ADVERTISEMENT
Kekayaan yang Tak Pernah Cukup
Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan berat. Matahari sudah menggantung tinggi, namun sinarnya tak mampu menghangatkan dingin kamarku. Aku meregangkan tubuh di atas kasur lusuh yang sudah usang, mencoba menepis bayang-bayang malam sebelumnya. Briptu Agung, polisi muda yang datang sebagai pelanggan, tidak tahu bahwa aku menyimpan rahasia besar. Ia hanya melihatku sebagai teknisi biasa, seseorang yang membantunya memperbaiki laptop untuk misi pentingnya. Tapi aku? Tahu lebih banyak dari yang seharusnya.
Ketika aku membuka ponsel, media sosial langsung menyambutku dengan riuh rendah kebohongan. Ketiga temanku masih sibuk memamerkan kesuksesan mereka. Leader MLM itu memposting foto dirinya bersama sekelompok orang, semua tersenyum lebar dengan cek raksasa di tangan. Trader kripto membagikan tangkapan layar grafik naik turun yang penuh warna hijau, disertai caption motivasi tentang "kesuksesan tanpa batas." Sementara si asisten DPR mengunggah video dirinya berpidato di sebuah acara resmi, berbicara tentang "kemajuan bangsa" dengan nada yang begitu meyakinkan. Semua tampak sempurna di dunia maya mereka. Namun, aku tahu apa yang tersembunyi di balik topeng-topeng itu—kebohongan yang suatu hari akan runtuh seperti istana pasir di tepi laut.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, aku mulai memasukkan beberapa lowongan pekerjaan di LinkedIn. Setiap pagi, aku duduk di depan layar komputer, mengetik surat lamaran dengan hati-hati, mencoba menjual kemampuanku kepada perusahaan-perusahaan, yang mungkin tak pernah mendengar namaku. Proses ini melelahkan, dan sering kali hasilnya kosong. Banyak lamaranku ditolak tanpa penjelasan. Ada kalanya aku merasa ingin menyerah, tapi aku tahu, inilah harga yang harus kubayar untuk tetap jujur pada diriku sendiri.
Ada sesuatu yang ironis dalam semua ini. Teman-temanku hidup dalam ilusi kekayaan semu, sementara aku, yang memilih jalan sulit dengan kejujuran, harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Dunia ini kadang terasa tidak adil. Mereka yang berbohong bisa hidup mewah—setidaknya untuk sementara waktu—sedangkan mereka yang jujur sering kali harus berkubang dalam kesulitan. Tapi aku sadar, kekayaan semu hanyalah fatamorgana. Suatu hari, ilusi itu akan lenyap, dan mereka akan terjebak dalam kehancuran.
ADVERTISEMENT
Aku ingat kata-kata Briptu Agung: "Dunia ini penuh dengan tipu daya. Jangan sampai terjebak dalam ilusi yang salah." Kata-kata itu terngiang-ngiang di benakku setiap kali aku merasa putus asa. Ya, mungkin jalan yang kupilih lebih sulit. Mungkin aku harus bekerja lebih keras dibandingkan memilih jalan pintas. Tapi aku tahu, kejujuran adalah pondasi yang kokoh. Meskipun sulit, meskipun lambat, setidaknya aku bisa tidur nyenyak di malam hari tanpa mimpi buruk yang menghantui.
Itulah pesan moral yang kusadari seiring berjalannya waktu: kejujuran sering kali harus dibayar dengan sulitnya mencari uang. Tapi di dunia yang penuh tipu daya ini, kejujuran adalah satu-satunya hal yang tak pernah bisa dibeli.