Konten dari Pengguna

Killswitch Engage: "Guru Besar Melodic Metalcore" Sepanjang Zaman

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
4 Februari 2025 14:32 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi.
ADVERTISEMENT
Apa jadinya jika kemarahan heavy metal dan kelembutan melodi bertemu dalam satu panggung? Jawabannya adalah Killswitch Engage—sebuah nama yang tidak hanya mendefinisikan ulang metalcore, tapi juga membuktikan bahwa musik keras bisa menyentuh jiwa.
ADVERTISEMENT
Di akhir era 90-an, ketika gelombang nu-metal mendominasi industri, sekelompok musisi asal Massachusetts diam-diam merajut sesuatu yang berbeda. Killswitch Engage lahir dari sisa-sisa kejenuhan terhadap sound keras yang itu-itu saja. Mereka bukan sekadar band, tapi katalisator yang menyatukan keganasan hardcore punk, kompleksitas heavy metal, dan keindahan melodi ala Swedia.
Album debut Alive or Just Breathing (2002) menjadi pijakan awal, tapi sejarah mereka baru benar-benar meledak ketika Howard Jones—seorang vokalis dengan suara bak petir yang bisa berubah menjadi gerimis—mengambil alih mikrofon.
Howard bukan sekadar pengganti. Dialah yang membawa Killswitch Engage dari tepian scene underground ke puncak tangga lagu, dengan lagu-lagu yang menjadi soundtrack pemberontakan sekaligus pelipur lara. Bersama duet gitaris jenius, Adam Dutkiewicz dan Joel Stroetzel, mereka menciptakan harmoni yang seimbang antara kehancuran dan keindahan—sebuah formula yang menjadikan mereka legenda skena musik keras.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Melodic Metalcore.
Tapi bagaimana persisnya Killswitch Engage mengubah metalcore dari genre yang dianggap "berisik dan berantakan" menjadi mahakarya yang emosional? Mengapa era Howard Jones dianggap sebagai masa keemasan mereka, dan warisan apa yang mereka tinggalkan untuk generasi berikutnya? Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan band yang membuktikan bahwa musik berat tidak harus kehilangan jiwa—bahkan, justru bisa menjadi lebih berdaya karena itu. Di tangan mereka, metalcore bukan lagi sekadar teriakan. Ia menjadi puisi.
Metalcore yang Bernyanyi dengan Hati
Metalcore pada dasarnya adalah anak haram dari perkawinan terlarang antara kerasnya hardcore punk dan teknisnya heavy metal. Namun, Killswitch Engage (KSE) mengambil porsi yang lebih jauh dan beragam: mereka menyuntikkan jiwa ke dalam formula baru tersebut. Lahirlah kemudian melodic metalcore—subgenre di mana riff gitar tak hanya menghancurkan, tapi juga menyanyikan melodi. Bayangkan band In Flames atau At the Gates (ikon Swedish melodic death metal) bertemu dengan energi kerasnya Hatebreed. Di situlah KSE berdiri sendirian, diantara gelapnya persimpangan jalan antara amarah dan keindahan.
ADVERTISEMENT
Perbedaan mendasar dengan metalcore biasa, dengan versi yang dibawakan oleh mereka adalah unsur aransemen. Jika metalcore tradisional fokus pada breakdown brutal dan vokal kasar yang nyaris tak terdengar, maka melodic metalcore menawarkan harmoni yang seimbang. Killswitch Engage, misalnya, menggunakan kombinasi gitar kembar ala Iron Maiden yang dipadu dengan layer distorsi tebal. Adam Dutkiewicz dan Joel Stroetzel, duo gitaris band ini, kerap memainkan melodi yang saling menempel seperti dua sisi koin. Satu sisi menusuk, satu sisi lain merangkul rasa sakitnya. Itulah mengapa karakter musik mereka terdengar seperti soundtrack film kolosal epik, bukan sekedar getaran dan raungan amplifier yang memekakkan telinga.
Kontras vokal Howard Jones juga jadi bumbu penting dalam masakan mereka. Ia bisa berteriak sekeras gemuruh petir di satu verse (This is Absolution), namun bernyanyi selembut hujan gerimis yang dalam dan melankolis di chorus (The Arms of Sorrow). Akulturasi vokal ini bukan hanya gaya, tapi strategi musikal. Scream mewakili frustasi, sementara clean vokal adalah penawar luka. Bahkan, kala Jesse Leach kembali menggantikan Howard Jones yang hengkang karena penyembuhan penyakitnya, pola ini tetap dipertahankan. Hal ini adalah bukti bahwa harmoni vokal adalah signature Killswitch Engage.
ADVERTISEMENT
Lagu-lagu seperti "My Curse" dan "The End of Heartache" adalah bukti nyata kejeniusan mereka. Di "My Curse", intro gitar melankolis langsung menyergap telinga sebelum breakdown menggelegar. Lalu, chorusnya yang melodis seakan membisikkan, "Ini masih metalcore, tapi kau boleh menitikkan air mata." Sementara "Holy Diver" (cover lagu Dio) menjadi contoh langka di mana versi cover justru lebih dikenang daripada aslinya—berkat sentuhan harmonisasi gitar dan vokal Howard yang dramatis.
Dari segi produksi, Adam D. (yang juga produser) kerap menggunakan drop tuning (seperti Drop C) untuk memberi kedalaman pada riff, sementara efek delay dan reverb halus di clean vocal menciptakan atmosfer "arena rock". Hasilnya? Lagu-lagu yang cocok diputar di garasi underground, sekaligus di festival berkapasitas ribuan orang.
ADVERTISEMENT
Howard Jones: Suara yang Mengubah Takdir
Jika ada vokalis metalcore yang suaranya bisa diibaratkan sebagai badai yang tiba-tiba membawa kedamaian, dialah Howard Jones. Bergabung dengan Killswitch Engage pada 2002—mengisi kekosongan setelah Jesse Leach mundur—Howard bukan sekadar pengganti. Ia adalah fenomena yang membawa band ini melampaui batas-batas genre. Karakter vokalnya yang unik, seperti dua sisi pedang yang saling melengkapi, menjadi kunci mengapa era-nya dianggap sebagai masa keemasan KSE.
Howard Jones bukanlah vokalis metal biasa. Berbeda dengan scream tinggi ala metalcore klasik (misalnya Austin Carlisle dari Of Mice & Men) atau growl death metal yang dalam, suaranya adalah bariton berat yang merdu, hampir seperti suara penyanyi soul yang tersesat di panggung metal. Saat ia menyanyi bersih (clean vocal), seperti dalam lagu "The End of Heartache" atau "Daylight Dies", nadanya terasa hangat dan penuh kedalaman—seolah ia sedang bercerita, bukan sekadar berteriak. Tapi begitu ia beralih ke scream, seperti dalam "This Is Absolution", suaranya berubah menjadi guntur yang memecah langit.
ADVERTISEMENT
Kombinasi ini langka. Kebanyakan vokalis metalcore memisahkan peran scream dan clean vocal dengan dua orang (contoh: Jeremy McKinnon dari A Day to Remember yang sering dibantu vokalis tamu). Howard melakukannya sendirian, dan dengan fluiditas yang nyaris tak ada celah.
Ciri khas Howard Jones dari vokalis lainnya adalah kemampuan dalam mengekspresikan lirik. Ia tidak sekadar meneriakkan kata-kata dan menghidupkannya. Coba lihat bagaimana ia menyayat hari di lagu "Rose of Sharyn":
Meski era Howard di KSE berakhir pada 2012—dipicu masalah kesehatan (diabetes tipe 2) dan tekanan kreatif—pengaruhnya tetap abadi. Album The End of Heartache (2004) dan As Daylight Dies (2006) menjadi landasan melodic metalcore modern, dengan lagu-lagu yang masih diputar di radio rock hingga hari ini. Bahkan setelah ia digantikan oleh Jesse Leach, fans kerap membandingkan keduanya—bukti bahwa gaya vokal Howard meninggalkan jejak yang dalam.
ADVERTISEMENT
Pasca karirnya dari KSE, ia membuktikan bahwa suaranya tetap relevan. Bersama proyek band Light the Torch, ia merilis album Revival pada 2018 yang memadukan metalcore dengan elemen alternatif. Memang tidak ada yang bisa menyangkal bahwa, momen terbesar dalam karirnya adalah manggung bersama Killswitch Engage, menyanyikan lagu "My Curse" sambil membuat ribuan penonton bergemuruh bersamanya.
Howard Jones bukan sekadar vokalis. Ia adalah narator emosi yang mengubah Killswitch Engage dari band metalcore biasa menjadi legenda. Di tangannya, teriakan bukanlah akhir—melainkan awal dari sebuah kisah yang perlu diceritakan.
Prestasi dan Pengaruh: Dari Underground ke Legenda
Di balik gemuruh vokal dan sorotan pada frontman, Killswitch Engage adalah cerita tentang kesolidan tim yang jarang terungkap. Adam Dutkiewicz, si jenius di balik gitar dan meja mixing, bersama Joel Stroetzel yang merajut riff ikonik seperti "My Curse", menciptakan harmoni gitar yang jadi ciri khas band ini. Mereka bukan sekadar duo gitaris—mereka adalah arsitek yang mengubah distorsi jadi melodi. Mike D’Antonio, bassis sekaligus desainer grafis, tak hanya menghidupkan groove lewat bassline, tapi juga memberi identitas visual lewat artwork album yang tajam. Sementara Justin Foley, drummer dengan teknik destruktif tapi terkendali, menjadi mesin ritme yang menjaga lagu tetap "manusiawi", bukan sekadar ledakan double pedal. Kolaborasi mereka bukan soal ego, tapi visi bersama: setiap lagu harus punya jiwa, bukan sekadar kumpulan riff.
ADVERTISEMENT
Kesolidan ini tercermin dari album-album laris mereka. The End of Heartache (2004), yang membawa Howard Jones ke panggung utama, tak hanya meraih sertifikasi Emas di AS, tapi juga menjadi soundtrack film Resident Evil: Apocalypse. Lagu-lagunya, seperti "Rose of Sharyn", membuktikan bahwa metalcore bisa emosional tanpa kehilangan gigi. As Daylight Dies (2006) kemudian mengukuhkan mereka sebagai raja harmoni dengan "My Curse"—lagu yang masih diputar di radio rock hingga hari ini, bahkan jadi bagian dari game legenda Guitar Hero III. Bahkan saat Howard hengkang, mereka tak goyah: Disarm the Descent (2013) debut di #7 Billboard 200, pencapaian langka untuk band metal yang kehilangan vokalis ikonik.
Formula mereka? Harmoni gitar yang memikat, lirik penuh harapan, dan dinamika vokal yang dramatis. Banyak band mencoba meniru—seperti As I Lay Dying atau Blessthefall—tapi jarang yang bisa menyeimbangkan melodi dan agresi sebaik KSE. Adam D., yang juga produser untuk band seperti Every Time I Die, pernah bilang, "Kami tidak ingin jadi band paling berat. Kami ingin jadi band yang membuatmu merasakan sesuatu."
ADVERTISEMENT
Prestasi mereka diakui bahkan oleh industri mainstream. Lagu "The End of Heartache" masuk nominasi Grammy 2005 untuk Best Metal Performance, mengukuhkan metalcore sebagai genre yang layak diperhitungkan. Di panggung festival, mereka jadi performer yang tak pernah mengecewakan: di Download Festival 2019, 90.000 penonton menyanyikan "My Curse" dalam harmoni; di Wacken Open Air, mereka jadi tamu tetap yang selalu dinanti; sementara di Ozzfest 2005, mereka membuktikan bahwa metalcore bisa berdampingan dengan legenda seperti Black Sabbath.
Sesuatu yang mengokohkan relevansi mereka hingga sekarang, adalah chemistry personel yang langka. Saat Howard Jones hengkang, Jesse Leach sang mantan vokalis pendiri, kembali dengan energi baru. Dibuktikan dengan keberhasilan album Atonement (2019) tetap meraih nominasi Grammy Award. Adam D., yang pada 2007 hampir pensiun dini karena cedera punggung, bertahan demi visi bersama. Killswitch Engage adalah bukti bahwasannya musik keras dan cadas bisa menyentuh jiwa tanpa terjebak dalam dikotomi "underground melawan mainstream".
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang, harmoni gitar dan dentuman drum mereka di lagu "The Arms of Sorrow" dan "Strength of the Mind", masih jadi referensi bahan ajar bagi banyak band generasi baru. Killswitch Engage bukan hanya hanya legenda. Mereka adalah blueprint tentang bagaimana musik keras dengan audience yang kurang minat, bisa bertahan dan terus mencetak prestasi. Akhir kata, seperti ucapan Mike D'Antonio dalam sebuah wawancara, "Musik harus menyembuhkan, bukan hanya menghancurkan"