Konten dari Pengguna

Mencari Realitas Mitos Work-Life Balance, Menikmati Makna Bekerja dan Hidup

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
14 Februari 2025 12:35 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bekerja dari mana saja. Sumber: Unnsplash free image (Avi Richards)
zoom-in-whitePerbesar
Bekerja dari mana saja. Sumber: Unnsplash free image (Avi Richards)
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda merasa terjebak dalam pusaran ekspektasi untuk membagi waktu "sempurna" antara kerja dan kehidupan pribadi? Misalnya, ketika rapat darurat di kantor tiba-tiba berbenturan dengan acara ulang tahun anak, atau ketika tenggat waktu proyek memaksa Anda membatalkan janji olahraga yang sudah diagendakan seminggu sebelumnya. Fenomena ini bukan sekadar cerita personal, melainkan gejala kolektif di era produktivitas yang dipuja.
ADVERTISEMENT
Frasa work-life balance kerap digaungkan sebagai solusi ajaib: seolah-olah kita bisa membagi 24 jam menjadi porsi rapi—8 jam kerja, 8 jam keluarga, 8 jam tidur. Nyatanya, survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2023 mengungkap bahwa 55% pekerja global justru mengalami burnout karena tekanan untuk "tampak seimbang". Di Indonesia, data Kementerian Ketenagakerjaan (2024) menyebutkan 67% karyawan mengaku stres saat mencoba memenuhi target kerja sambil mempertahankan waktu berkualitas untuk keluarga.
Lihatlah bagaimana media sosial memperparah ilusi ini. Postingan tentang ibu kantoran yang sukses menyajikan makan malam empat sehat lima sempurna, atau CEO yang "tetap bisa maraton di sela rapat direksi", membuat banyak orang berpikir: "Apa yang salah dengan diri saya?". Padahal, seperti diungkapkan psikolog klinis Shannon Sauer-Zavala, "Work-life balance adalah mitos yang lahir dari standar tidak manusiawi. Ia mengabaikan fakta bahwa hidup adalah rangkaian prioritas yang dinamis, bukan equation matematika."
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk ini, kita seperti sedang berlari di atas treadmill yang terus dipercepat—berkeringat, tetapi tak pernah benar-benar sampai ke garis finis. Lantas, apakah konsep balance justru menjadi bumerang bagi kesehatan mental? Artikel ini akan mengajak Anda menelisik akar mitos tersebut dan mencari pola harmoni yang lebih realistis. Karena, seperti kata pepatah, "Tidak semua yang seimbang itu adil, dan tidak semua yang adil harus seimbang."
Mitos Work-Life Balance: Kenapa "50:50" Itu Bohong Besar?
Bayangkan Anda mencoba berdiri di atas dua perahu yang bergerak berlawanan. Satu kaki di setiap perahu, tubuh Anda terbelah, dan tiba-tiba—byurr!—Anda terjatuh. Begitulah analogi sederhana dari upaya memaksakan pembagian waktu kerja dan kehidupan pribadi secara "50:50". Konsep ini terdengar ideal, tapi dalam praktiknya, ia hanya ilusi yang justru memicu kelelahan mental. Data Harvard Business Review (2022) mengonfirmasi hal ini: 72% profesional mengaku gagal memisahkan pekerjaan dan kehidupan pribadi meski telah membuat jadwal ketat. Bahkan, 58% di antaranya merasa bersalah ketika harus memprioritaskan satu sisi.
ADVERTISEMENT
Mengapa "balance" begitu sulit diwujudkan? Psikolog Shannon Sauer-Zavala menjelaskan, otak manusia tidak dirancang untuk multitasking sempurna. Setiap kali kita beralih fokus dari pekerjaan ke urusan pribadi (atau sebaliknya), otak membutuhkan 15-20 menit untuk kembali berkonsentrasi penuh. Artinya, upaya membagi waktu secara rigid justru menghabiskan energi kognitif. Contoh konkretnya: ketika Anda menyisihkan 30 menit untuk makan malam bersama keluarga sambil sesekali mengecek pekerjaan, sebenarnya Anda tidak benar-benar hadir di kedua momen tersebut. Hasilnya? Pekerjaan tidak tuntas, hubungan dengan keluarga pun terasa hambar.
Mitos "50:50" juga mengabaikan realitas dinamika kehidupan. Ada hari-hari ketika pekerjaan menuntut 80% energi Anda—misalnya saat menghadapi deadline proyek besar. Di sisi lain, ada momen ketika keluarga atau kesehatan harus jadi prioritas utama, seperti ketika anak sakit atau diri sendiri butuh pemulihan dari kelelahan. Studi Gallup (2023) menunjukkan, pekerja yang fleksibel dalam mengalokasikan waktu berdasarkan kebutuhan prioritas—bukan patokan tidak jelas—cenderung 40% lebih bahagia dan 28% lebih produktif. Ini membuktikan bahwa harmoni, bukan keseimbangan matematis, adalah kunci keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Lalu, dari mana mitos ini berasal? Salah satu akarnya adalah narasi media dan budaya korporat yang mengagungkan "kesempurnaan". Iklan-iklan menampilkan sosok ibu karir yang bisa menyelesaikan presentasi kantor sambil memasak makan malam lezat, atau ayah yang tetap hadir di setiap pertandingan sepak bola anak meski bekerja 60 jam seminggu. Riset University of California (2021) menyebut, multitasking meningkatkan produksi hormon stres (kortisol) hingga 18% dan mengurangi efisiensi kerja sebesar 40%. Padahal seperti diungkap CEO Prominence Homes, Mike McMullen, "Tidak ada manusia yang bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Kita hanya bisa memilih hal-hal yang paling bermakna, lalu memberi yang terbaik di sana."
Jadi, "50:50" bukan sekadar tidak realistis—ia adalah standar yang kejam. Daripada terjebak dalam siklus kegagalan, lebih baik kita mengakui bahwa hidup adalah seni mengatur prioritas, bukan pembagian waktu yang simetris. Seperti kata Sauer-Zavala, "Balance is a social construct. Harmony is a survival skill."
ADVERTISEMENT
Akar Masalah: Toxic Positivity "Harus Bisa Semua"
Pernahkah Anda melihat postingan Instagram seorang teman yang terlihat "sempurna": bangun pukul 5 pagi untuk yoga, menyelesaikan laporan kantor sebelum jam 9 malam, lalu mengunggah foto makan malam homemade dengan caption #Blessed. Di balik filter yang indah, narasi seperti ini menciptakan ilusi bahwa kita harus bisa mengerjakan segalanya—dan tetap tersenyum. Inilah wajah toxic positivity dalam konteks work-life balance: budaya yang menyembunyikan tekanan di balik jargon "you can have it all".
Psikolog klinis Lisa Damour dalam bukunya Under Pressure (2023) menjelaskan bahwa toxic positivity bermula dari glorifikasi multitasking dan produktivitas tanpa batas. Masyarakat dijejali pesan bahwa "tidak ada alasan untuk gagal" jika kita "benar-benar berusaha". Padahal, riset Journal of Occupational Health Psychology (2022) membuktikan bahwa tekanan untuk tampil sempurna di semua bidang meningkatkan risiko kecemasan hingga 34% dan menurunkan kepuasan hidup sebesar 22%. Contoh nyatanya? Seorang ibu bekerja yang memaksakan diri menghadiri rapat penting sambil mengurus anak sakit, hanya karena tak ingin dicap "tidak kompeten" oleh rekan kantor.
ADVERTISEMENT
Budaya ini diperparah oleh norma korporat yang mengaitkan kesuksesan dengan kemampuan "menjadi superman/superwoman". Survei Indeed Indonesia (2023) menemukan bahwa 71% perusahaan masih menggunakan metrik kehadiran fisik dan jam kerja sebagai indikator produktivitas, alih-alih hasil kerja. Akibatnya, karyawan terjebak dalam siklus overcompensation: bekerja ekstra keras demi membuktikan diri.
Riset Pew Research Center (2023) menyatakan 45% pengguna aktif Instagram merasa tidak percaya diri setelah membandingkan hidupnya dengan unggahan orang lain. CEO Prominence Homes, Mike McMullen, mengkritik hal ini: "Kita seperti berlomba menjadi mesin, bukan manusia. Padahal, kelelahan bukan tanda lemah, melainkan alarm bahwa ada yang salah dengan sistem."
Toxic positivity juga mengakar dari ketakutan akan penilaian sosial. Sebuah studi Universitas Indonesia (2024) menunjukkan, 58% responden mengaku menyembunyikan kelelahan mereka karena takut dianggap "tidak bersyukur" atau "tidak profesional". Padahal, memaksakan senyum saat burnout ibarat menambal lubang di kapal dengan plester—lambat laun, air akan menerobos dan kapal pun tenggelam. Psikolog Shannon Sauer-Zavala menegaskan, "Mengakui keterbatasan bukan kegagalan, melainkan langkah pertama menuju kesehatan mental yang berkelanjutan."
ADVERTISEMENT
Jadi, mitos "harus bisa semua" bukan sekadar ekspektasi tidak realistis, melainkan bom waktu yang siap meledakkan kesejahteraan psikologis. Daripada terjebak dalam siklus ini, mungkin sudah saatnya kita mengganti pertanyaan "Bagaimana bisa melakukan semuanya?" menjadi "Apa yang benar-benar layak diperjuangkan?". Sebab, seperti kata pepatah, "Kita bisa melakukan apa saja, tapi tidak bisa melakukan segala sesuatu."
Solusi Realistis: Ganti ‘Balance’ dengan ‘Harmoni’
Bayangkan hidup ini seperti orkestra. Jika semua instrumen diminta bermain dengan volume dan durasi yang exact sama, hasilnya bukan simfoni indah, melainkan riuh tanpa makna. Begitu pula dengan konsep work-life balance yang kaku. Daripada memaksakan pembagian waktu 50:50, lebih baik kita menciptakan harmoni—di mana setiap aspek kehidupan boleh mengambil porsi berbeda, sesuai kebutuhan dan momen.
ADVERTISEMENT
Data Gallup (2023) mengungkap, pekerja yang fokus pada prioritas inti (bukan jadwal rigid) 40% lebih kecil mengalami burnout. Contohnya, seorang desainer grafis freelance mungkin bekerja 12 jam sehari saat ada proyek besar, lalu mengambil cuti seminggu untuk pulang ke kampung halaman. Di sisi lain, seorang ibu baru mungkin memilih mengurangi jam kerja sementara untuk fokus merawat bayi, tanpa merasa gagal. Ini bukan ketidakseimbangan, melainkan harmoni yang disesuaikan dengan konteks hidup.
Psikolog klinis Emily Nagoski dalam buku Burnout (2024) menyarankan pendekatan "penyelesaian stres" alih-alih menghindarinya. Artinya, kita perlu mengalokasikan energi secara fleksibel: kadang kerja lebih dominan, kadang istirahat jadi prioritas. Misalnya, ketika sedang deadline, wajar jika pekerjaan menyerap 70% waktu. Setelah proyek selesai, kita bisa "mengembalikan" waktu itu untuk keluarga atau hobi. CEO Prominence Homes, Mike McMullen, membagikan strateginya: "Saya blokir kalender weekend untuk keluarga. Klien tahu saya tidak akan membalas pesan pada Sabtu-Minggu. Itu cara saya menjaga harmoni."
ADVERTISEMENT
Harmoni juga berarti menerima bahwa hidup tidak selalu rapi. Kadang anak akan rewel saat Anda sedang presentasi, atau bos menelepon malam hari saat Anda santai. Harmoni adalah kemampuan menari di tengah hujan, bukan menuntut cuaca cerah terus-menerus.
Jadi, mari berhenti mengejar angka 50:50 yang ilusif. Seperti lagu jazz, hidup akan lebih bermakna ketika kita berani berimprovisasi—bukan terpaku pada notasi kaku. After all, kata filsuf Seneca, "Bukan karena hidupnya pendek, tapi kita yang terlalu banyak membuang waktu untuk hal tidak penting."
Ambil Microphone, dan Menyanyilah!
Sudah saatnya kita berhenti mengukur hidup dengan timbangan imajiner. Angka 50:50, porsi sempurna, atau target "harus bisa semua" hanyalah ilusi yang diciptakan untuk membuat kita terus berlari di tempat. Hidup bukanlah kompetisi siapa yang paling rapi membagi waktu, melainkan seni memilih mana yang layak diperjuangkan—dan berani mengabaikan sisanya.
ADVERTISEMENT
Lihatlah bagaimana musisi jazz menciptakan melodi: mereka tidak terpaku pada partitur kaku, tapi merespon ritme, suasana, dan energi sesama pemain. Begitu pula hidup kita. Kadang pekerjaan perlu crescendo, kadang keluarga butuh solo. Tidak ada yang salah dengan itu. Data Gallup (2023) membuktikan, orang yang fokus pada 3 prioritas utama dalam sehari cenderung 35% lebih bahagia daripada mereka yang mencoba menyelesaikan banyak tugas sekaligus.
Masyarakat mungkin masih akan menyoraki Anda dengan pertanyaan: "Kenapa kerja terus sih?" atau "Kapan nikahnya?". Tapi ingat, seperti kata penulis Elizabeth Gilbert, "Anda tidak perlu menjadi korban ekspektasi orang lain. Hidup Anda adalah panggung, dan Andalah pemegang mic-nya."
Jadi, lemparkan timbangan itu ke laut. Ambil microphone, dan nyanyikan lagu hidup versi Anda sendiri—dengan fals sesekali, dengan jeda, atau dengan refrain yang diulang-ulang. Paling penting, itu adalah suara Anda, bukan replika dari standar orang lain. Sebab, seperti kata pepatah Jawa, "Ojo dadi kacang sing lali karo kulite"—jangan jadi kacang yang lupa pada kulitnya.
ADVERTISEMENT