Konten dari Pengguna

Mitsubishi Lancer Evolution: Perginya Legenda Balap Jalanan & Sang Raja Reli

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
3 Februari 2025 11:31 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mitsubishi Lancer Evolution. Sumber: Unsplash (Free to use)
zoom-in-whitePerbesar
Mitsubishi Lancer Evolution. Sumber: Unsplash (Free to use)
ADVERTISEMENT
Pada Oktober 2015, Mitsubishi mengumumkan keputusan yang mengejutkan dunia otomotif: penghentian produksi Lancer Evolution (Evo) setelah 23 tahun menjadi ikon performa tinggi. Mobil yang dijuluki "King of Rally Homologation" ini bukan hanya sekadar kendaraan, melainkan simbol semangat balap Mitsubishi yang telah memenangkan hati jutaan penggemar. Namun, di balik kesuksesan dan legenda yang dibangunnya, ada serangkaian faktor kompleks yang memaksa Mitsubishi mengakhiri era Evo.
ADVERTISEMENT
Lancer Evolution lahir pada 1992 sebagai hasil homologasi untuk memenuhi regulasi World Rally Championship (WRC). Mobil ini dirancang berdasarkan Lancer biasa, tetapi disuntikkan teknologi dari Mitsubishi RalliArt, divisi balap perusahaan. Generasi pertama (Evo I) langsung mencuri perhatian berkat mesin 2.0L turbocharged 4G63T yang menghasilkan 247 horse power dan sistem penggerak empat roda (AWD) canggih. Kesuksesan di WRC—terutama di tangan legenda seperti Tommi Mäkinen—membuat Evo menjadi simbol kemenangan.
Popularitas Evo meledak karena tiga alasan utama: kinerja luar biasa untuk harganya, potensi modifikasi tak terbatas, dan kesan "underdog" yang mampu mengalahkan mobil premium. Harga yang terjangkau (sekitar $30.000 untuk Evo IX di AS) membuatnya menjadi pilihan para tuner dan penggemar balap. Mitsubishi menjual lebih dari 100.000 unit Evo selama 23 tahun produksi, dengan Evo IX (2005) dianggap sebagai puncak kejayaannya.
ADVERTISEMENT
Lancer Evolution sering dibandingkan dengan rival abadinya, Subaru WRX STI. Keduanya sama-sama menggunakan mesin 2.0L turbo dan AWD, tetapi Evo unggul dalam hal presisi handling berkat sistem AWD Active Yaw Control yang mendistribusikan torsi ke setiap roda secara dinamis. Sementara WRX STI mengandalkan tenaga kasar, Evo lebih seperti pedang samurai—tajam dan responsif.
Pada generasi terakhir (Evo X, 2007-2015), Mitsubishi mengganti mesin 4G63T dengan 4B11T berbahan aluminium. Meski kehilangan "jiwa" mesin besi legendaris, Evo X tetap menjadi monster dengan 291 HP dan transmisi dual-clutch SST. Bandingkan dengan WRX STI generasi sama yang hanya menawarkan 305 HP namun dengan bobot lebih berat. Kompetitor lain seperti Ford Focus RS atau Volkswagen Golf R memang lebih nyaman sehari-hari, tetapi tidak memiliki aura "track-ready" ala Evo.
ADVERTISEMENT
Budaya Balap Jalanan: Evo sebagai Simbol Prestise dan Pemberontakan
Lancer Evolution IX di kontes The Lowdown. Sumber: Unsplash (free to use)
Di jantung budaya balap jalanan Jepang, Lancer Evolution bukan sekadar mobil—ia adalah legenda yang hidup. Sejak era 1990-an, Evo menjadi ikon dalam subkultur hashiriya (pembalap jalanan) dan dōrin (komunitas tuner ilegal). Mobil ini dianggap sebagai "senjata" para pembalap yang menguasai jalanan pegunungan (touge) dan jalan tol malam hari (wangan). Karakteristiknya yang unik—sistem penggerak empat roda (AWD), mesin 4G63T yang mudah dimodifikasi, dan handling setajam pisau—membuatnya menjadi simbol prestise sekaligus mimpi buruk bagi rival-rivalnya.
Salah satu cerita urban paling melegenda terjadi di Gunung Akagi, salah satu touge paling berbahaya di Jepang. Konon, ada seorang pembalap misterius yang dijuluki "Akagi no Oni" (Setan Akagi) yang menggunakan Evo III putih. Latar waktu cerita legenda balap jalanan ini bervariasi, ada sumber yang mengatakan terjadi pada 1995. Namun, beberapa pendapat minor di antara komunitas Mitsubishi, terjadi pada 1997.
ADVERTISEMENT
Ia dikabarkan tak pernah kalah dalam duel malam hari, bahkan melibas mobil-mobil eksotis seperti Nissan Skyline GT-R dan Toyota Supra MK4. Kisah ini menjadi inspirasi tidak langsung untuk manga Initial D, di mana mobil-mobil seperti Toyota AE86 dan Subaru Impreza menjadi bintang. Namun, di dunia nyata, Evo sering dianggap sebagai "raja abadi" touge—siapapun yang bisa mengalahkan Evo di jalur berliku dianggap layak masuk jajaran elite.
Di Gunung Haruna (inspirasi Akina dalam Initial D), Evo juga kerap muncul dalam cerita-cerita lisan. Salah satu mitos menyebutkan, seorang tuner dari Nagano memodifikasi Evo VI hingga menghasilkan 450 horse power, menggunakan turbo HKS GT3037S dan mesin yang di-blueprint manual. Mobil ini diklaim mencatat waktu lintasan tercepat di Haruna pada akhir 1990-an, tetapi menghilang setelah pemiliknya ditangkap polisi. Kisah-kisah seperti inilah yang memperkuat aura Evo sebagai mobil yang "dibuat untuk memberontak."
ADVERTISEMENT
Selain menjadi raja di jalan touge, Lancer Evolution juga meninggalkan jejak arogansinya di balapan wangan. Meski Nissan Skyline GT-R dan Fairlady Z lebih dominan di jalur lurus, Evo dihormati karena kemampuannya bermanuver di lalu lintas padat. Cerita urban terkenal menyebutkan sebuah Evo VIII yang dimodifikasi oleh tuner Osaka, dijuluki "Shinigami no Evo" (Evo Malaikat Maut). Mobil ini dikabarkan menggunakan transmisi dog-leg khusus dan nitrous hidrogen untuk mencapai kecepatan 300 km/jam, meninggalkan GT-R dalam debu. Meski kebenarannya sulit diverifikasi, kisah ini terus hidup di forum-forum underground.
Dalam komunitas dōrin, Evo adalah kanvas bagi para tuner yang ingin melampaui batas. Mesin 4G63T menjadi legenda karena kemampuannya menahan tekanan ekstrem—dari upgrade turbo besar-besaran hingga tuning ECU yang "melampaui batasan pabrik". Sebuah bengkel tuner di Yokohama, "Midnight Garage", pernah membuat Evo IX dengan tenaga 600 HP menggunakan turbo Garrett GTX3582R. Mobil ini dikabarkan menjadi "penantang gelap" dalam balap jalanan di Prefektur Kanagawa, sebelum diledakkan polisi dalam sebuah razia pada tahun 2008.
ADVERTISEMENT
Meski balap jalanan ilegal telah menyusut akibat penegakan hukum ketat, warisan Evo tetap hidup di ajang legal seperti Time Attack dan reli amatir. Di Tsukuba Circuit, Evo yang dimodifikasi oleh tim seperti HKS atau Mine's masih memecahkan rekor lap. Kisah-kisah urban tentang Evo mungkin sulit dibuktikan, tetapi ia tetap menjadi simbol keberanian, keahlian teknis, dan semangat memberontak yang khas era 90-an. Bagi banyak orang, Evo bukan hanya mobil—ia adalah cerita tentang bagaimana sebuah mesin besi dan AWD bisa mengubah jalanan menjadi medan legenda.
Akhir Era Lancer Evolution: Tekanan Regulasi dan Perubahan Prioritas Bisnis
Lancer Evo sedang drifting. Sumber: Unsplash (free to use image)
Keberhasilan Lancer Evolution sebagai ikon balap jalanan tidak bisa dilepaskan dari budaya hashiriya dan dōrin yang menjamur di Jepang pada 1990-an hingga awal 2000-an. Saat itu, jalanan pegunungan dan tol malam hari menjadi panggung bagi Evo untuk menari-nari dengan riang. Namun, gelombang besar penegakan hukum di pertengahan 2000-an mengubah segalanya. Pemerintah Jepang, didorong oleh meningkatnya kecelakaan fatal dan keluhan warga, melancarkan operasi besar-besaran untuk memberantas balap ilegal. Razia polisi di touge seperti Akagi dan Haruna, penyitaan mobil modifikasi, serta hukuman berat bagi pelanggar—termasuk denda hingga penjara—secara drastis mengurangi aktivitas balap jalanan. Dampaknya langsung terasa: komunitas tuner bubar, bengkel-bengkel gelap ditutup, dan Evo kehilangan "medan perang" yang menjadi alasan eksistensinya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Mitsubishi sendiri sedang berjuang melawan krisis internal. Skandal kecurangan uji emisi tahun 2000—di mana perusahaan terbukti menutupi cacat teknis pada puluhan ribu kendaraan—menghancurkan reputasi mereka. Pada 2004, Mitsubishi nyaris bangkrut dan harus diselamatkan oleh bailout dari Mitsubishi Group. Di tengah situasi ini, divisi RalliArt—yang menjadi tulang punggung pengembangan Evo—dipaksa menghemat anggaran. Mitsubishi mulai mengalihkan sumber daya ke segmen yang lebih menguntungkan secara komersial, seperti SUV Outlander dan Pajero Sport, yang permintaannya melonjak seiring tren global.
Regulasi lingkungan global menjadi paku terakhir untuk peti mati Evo. Generasi terakhir, Evo X (2007-2015), menggunakan mesin 4B11T aluminium yang lebih ringan namun kurang "tahan siksa" dibanding pendahulunya, 4G63T. Mesin ini kesulitan memenuhi standar emisi Euro 6 dan ULEV (Ultra Low Emission Vehicle) tanpa modifikasi mahal. Sementara kompetitor seperti Subaru berinvestasi besar-besaran pada teknologi mesin boxer yang lebih ramah lingkungan, Mitsubishi enggan mengalokasikan dana untuk mengembangkan mesin turbo baru khusus untuk Evo. Biaya pengembangan diperkirakan mencapai ¥20 miliar (sekitar $180 juta)—angka yang terlalu riskan untuk mobil yang hanya terjual 2.000-3.000 unit per tahun.
ADVERTISEMENT
Faktor kunci lainnya adalah pergeseran strategi perusahaan pasca-bergabung dengan Alliance Renault-Nissan pada 2016. Mitsubishi dipaksa menyesuaikan diri dengan visi Carlos Ghosn, yang fokus pada elektrifikasi dan kendaraan hemat bahan bakar. Proyek-proyek "nostalgia" seperti Evo dianggap tidak sejalan dengan rencana pengembangan SUV hybrid seperti Outlander PHEV dan mobil listrik murah seperti eK Wagon. Bahkan nama RalliArt—yang dulu identik dengan Evo—kini dipakai untuk edisi khusus SUV dengan stiker dan aksesoris kosmetik, bukan mesin performa tinggi.
Keputusan resmi penghentian produksi Evo pada 2015 bukan hanya akhir dari sebuah model, tetapi juga simbol pergeseran filosofi industri otomotif: dari era kebebasan engineering dan budaya balap jalanan, ke zaman yang didikte oleh regulasi ketat, keberlanjutan, dan dominasi pasar keluarga. Meski demikian, warisan Evo tetap hidup. Di tangan kolektor dan tim balap independen, Evo generasi lama masih bersaing di ajang Time Attack dan reli amatir—bukti bahwa legenda tidak pernah benar-benar mati, sekalipun pabrikan telah berpaling.
ADVERTISEMENT
Peluang Kebangkitan: Bisakah Evo Kembali?
Meski Mitsubishi menyatakan "Evo tidak akan kembali dalam bentuk konvensional", peluang tetap ada. Pada 2023, perusahaan ini memperkenalkan konsep Vision Ralliart, SUV listrik berdesain agresif. Banyak fans berharap konsep tersebut menjadi dasar untuk Evo generasi baru bertenaga listrik atau hybrid.
Jika Mitsubishi ingin menghidupkan kembali Evo, mereka bisa mencontoh Toyota GR Corolla atau Hyundai N Vision 74—mobil yang menggabungkan nostalgia dengan teknologi modern. Tantangannya adalah menjaga DNA Evo (AWD, handling tajam, harga terjangkau) sambil memenuhi standar emisi. Solusi seperti mesin turbo kecil dengan hybrid assist atau bahan bakar sintetis bisa dipertimbangkan.
Lancer Evolution bukan sekadar mobil—ia adalah manifestasi semangat balap Mitsubishi. Keputusan menghentikannya adalah pahit, tetapi realistis di tengah perubahan industri otomotif. Namun, warisan Evo tetap hidup di komunitas tuner, kolektor, dan ajang balap retro.
ADVERTISEMENT
Bagi Mitsubishi, kebangkitan Evo mungkin hanya soal waktu. Dengan tren electrification dan nostalgia 90-an yang sedang booming, momentum untuk menghadirkan Evo versi baru semakin terbuka. Satu hal yang pasti, selama masih ada jalan berliku dan penggemar setia, nama "Evolution" takkan pernah mati.