Konten dari Pengguna

Moonton Membiarkan Mobile Legends Tidak Asyik karena Toksik

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
29 Januari 2025 14:12 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Game Mobile Legends. Sumber: Pandhuya Niking, Unsplash free image.
zoom-in-whitePerbesar
Game Mobile Legends. Sumber: Pandhuya Niking, Unsplash free image.
ADVERTISEMENT
Mobile Legends adalah game dimana para pemainnya harus membangun kerja sama tim untuk memenangkan permainan. Permainan yang mengusung genre ini punya satu formula unik, yakni sebuah kemenangan hanya bisa diraih melalui kekompakan, taktik, dan mentalitas kompetitif. Hal ini dibuktikan dari mekanisme gameplay yang punya tingkat kesulitan tinggi, termasuk Mobile Legends sendiri. Sebuah pertandingan berakhir ketika salah satu base tim sudah bisa dirubuhkan. Namun, seiring perkembangannya justru konsep tersebut mulai menuju jalan kesesatan. Bukan cuma merubuhkan base, tapi juga merubuhkan mentalitas lawan dengan toxic.
ADVERTISEMENT
Sejak pertama kali diluncurkan pada 14 Juli 2016, game ini sudah dimainkan oleh lebih dari satu juta pemain di Indonesia. Pertumbuhan yang masif juga diikuti oleh mulai banyaknya komunitas baru yang berasosiasi dengan Mobile Legends, dan seringkali dibangun oleh para content creator yang mengkomersialkan game tersebut. Bisa dibayangkan, hanya dalam kurun waktu tiga tahun saja, Moonton selaku perusahaan pembuat game ini bisa mengadakan turnamen kejuaraan dunia yang diikuti oleh 16 tim dari seluruh dunia. Pertama kali dilaksanakan di Kuala Lumpur, perusahaan asal Tiongkok tersebut berhasil meraup keuntungan lebih dari USD 100.000. Angka tersebut terbilang fantastis mengingat game ini bisa dimainkan secara gratis dan cuma mengandalkan microtransaction sebagai sumber penghasilannya.
Seperti game online lainnya, Mobile Legends yang sudah bisa mengeruk emas akhirnya dimanfaatkan sebagai mesin uang andalan oleh Moonton. Semenjak sambutan yang antusias karena keberhasilan event M1 World Championship pada 2019, komunitas Mobile Legends yang semakin membesar membawa petaka tersendiri bagi para penikmatnya. Pelan tapi pasti, game ini mulai digerogoti penyakit yang menimpa game online lain sebelumnya, yaitu kemunculan pemain-pemain yang merusak citra Mobile Legends,
ADVERTISEMENT
Terdapat aturan tak tertulis dalam industri game, bahwa ketika komunitas yang berisi pemain mulai sering chaos, maka produk tersebut sudah jadi waralaba besar. Hal ini rupanya terjadi juga pada Moonton yang seolah membiarkan komunitas Mobile Legends mengadopsi budaya purba ini. Jumlah pemain yang terus membeludak membuat iklim kompetisi jadi lebih ketat. Namun, semangat persaingan yang tinggi tidak jarang menimbulkan gesekan antar pemain semakin memanas. Kondisi ini lama-kelamaan akhirnya menelurkan sebuah kebiasaan buruk di komunitas Mobile Legends. Apalagi kalau bukan toxic.
Istilah ini mengandung makna racun, atau merugikan orang lain dengan cara berbuat kasar secara verbal. Dalam sebuah environtment game online yang mengedepankan iklim kompetitif, maka tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali developer memilih menutup mata dan cenderung membiarkan para pemainnya melakukan “kekacauan” satu sama lain. Tujuan utamanya adalah mempertahankan iklim tersebut, sehingga mereka tak perlu repot-repot menggelontorkan biaya riset yang besar untuk menelaah perilaku konsumen. Sebab, lebih mudah untuk terus mengurung konsumen dan memaksanya betah di kondisi yang sama.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Moonton nampaknya juga menerapkan sistem ini di Mobile Legends. Kelebihan bisa dimainkan di mana saja otomatis membuat para pemain bisa terus bertempur melawan pemain lain. Memang, toxic sendiri adalah bagian dari lingkungan kompetitif, dan seringkali berperan sebagai resistensi rasa sakit akibat kalah dalam permainan. Namun, apa yang dilakukan oleh Moonton kepada produk andalannya ini sudah kelewat batas.
Keadaan ini semakin diperburuk dengan kualitas Emotional Quotient yang dimiliki oleh para pemain Mobile Legends masih rendah. Maklum, game ini didominasi oleh pemain usia remaja dan anak-anak yang masih labil, sehingga sering terjadi kasus abuse ketika salah satu tim yang dihuni oleh pemain “sampah” tersebut mengalami kekalahan. Mereka akan berusaha menyalahkan pemain lain demi menjaga harga dirinya di dalam game. Keberanian dalam menghina dan menghakimi pemain lain semakin merajalela, karena dalam Mobile Legends seorang pemain tidak diwajibkan untuk memakai identitas asli, alias sarat akan unsur anonimity.
ADVERTISEMENT
Semua perilaku negatif yang tumbuh subur dalam komunitas yang buruk ini akhirnya sampai ke kriteria terakhir bernama Intelligence. Sebagian besar orang percaya bahwa dalam tingkat kecerdasan tertentu, seseorang bisa menentukan tindakan yang diambil ketika menghadapi suatu masalah. Meskipun masih bisa diperdebatkan, namun fakta di lapangan membuktikan bahwa semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka perilakunya semakin terarah. Sedangkan dalam toxicity, seorang pemain bisa melemparkan sumpah serapah dengan membabi buta. Tidak peduli mana kawan, mana lawan.
Sekarang, bagaimana nasib Mobile Legends jika dipenuhi pemain yang berperilaku buruk? Jawabannya terletak pada Moonton selaku pembuat dan pengelola produknya. Jika mereka memilih untuk terus mempertahankan iklim kompetitif dengan semakin mengurung pemainnya di kondisi yang sama, maka sudah pasti dapat uang yang besar. Keuntungan raksasa ini bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan produk ke arah yang lebih profitable di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Namun, memaksa konsumen untuk terus menikmati kondisi yang sama dalam jangka waktu panjang juga akan semakin memperburuk kualitas konsumen. Bila Moonton terus bersembunyi di balik kebodohan konsumennya, maka tinggal menunggu sebelum bom waktu meledak dengan sendirinya. Melupakan fakta bahwa konsumen juga memiliki diagram kepuasannya sendiri, adalah blunder yang luar biasa. Semuanya sekarang kembali pada kedua belah pihak. Andai dalam waktu bersamaan para pemain Mobile Legends merubah perilaku dan sikap konsumerisme mereka, sedangkan Moonton bersikeras mempertahankan environment yang masih sama dengan sekarang, maka saat itulah game kecintaan low-cost gamer Indonesia ini akan terkubur bersama sejarah.