Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Ormas Kriminal: Perzinahan Oligarki dan Mengancam Perekonomian Nasional
9 Februari 2025 10:07 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Para pedagang yang jadi target ormas. Sumber: Unsplash-Karya Visual](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkkshdkpkaabadpwgg2yfnze.jpg)
ADVERTISEMENT
Perkembangan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Di Indonesia, Ormas pada dasarnya dibentuk atas asas positif, seperti memperjuangkan kepentingan masyarakat, mengadvokasi hak-hak tertentu, serta berperan dalam pembangunan sosial. Namun di kasus nyata, banyak dari mereka bertransformasi menjadi kelompok premanisme terorganisir. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan massa, tetapi intimidasi dan praktik pemerasan terhadap masyarakat. Fenomena ini telah menjelma menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi nasional. Praktik-praktik premanisme yang dilakukan oleh Ormas berdampak langsung terhadap bisnis dari skala kecil (UMKM) hingga skala besar (makro).
ADVERTISEMENT
Laksana anjing liar berkeliaran, keberadaan mereka semakin menjadi karena lemahnya ketegasan hukum dan isu adanya keterlibatan pejabat. Anjing liar yang semula mengais-ngais sampah, kini merasa punya wilayah kekuasaan. Menyalak pada siapapun yang masuk, dan mencabik-cabik mereka yang berontak. Sama seperti itu, ormas-ormas ini tidak segan-segan memaksa pelaku usaha untuk membayar “uang keamanan” jika ingin bisnis mereka tetap berjalan.
Latar belakang historis menunjukkan bahwa praktik premanisme telah ada sejak era Orde Baru, ketika kelompok-kelompok tertentu dipelihara sebagai alat politik dan pengamanan informal bagi pihak yang berkuasa. Setelah reformasi, bukannya menghilang, mereka berkembang dengan mengusung identitas ormas untuk mendapatkan perlindungan hukum. Mereka bergerak di berbagai sektor, mulai dari pungutan liar terhadap pedagang kecil, penguasaan lahan parkir, pengelolaan lapak ilegal, hingga intimidasi terhadap perusahaan besar dan investor.
ADVERTISEMENT
Jika diabaikan, maka keberadaan premanisme berbasis ormas akan semakin merajalela dan menggerogoti perekonomian nasional. Tidak hanya sektor bisnis, tapi masyarakat secara keseluruhan. Dengan memahami fenomena ini, kita dapat merumuskan solusi ekektif untuk memberantas anjing liar ini yang semakin ganas dan menggigit siapapun yang mengganggu.
Asal Muasal Budaya Premanisme Ormas di Indonesia
Budaya premanisme telah berakar sejak masa penjajahan kolonial, di mana istilah "preman" berasal dari kata Belanda "vrijman" yang awalnya merujuk pada orang bebas. Namun, seiring waktu berubah makna menjadi kelompok yang hidup di luar tatanan hukum dan norma sosial.
Konsep civil society, yang menjadi dasar ormas, diadopsi dari pemikiran Barat seperti Cicero dan filsuf Romawi Kuno, kemudian berkembang melalui Revolusi Industri dan kapitalisme di Eropa. Di Indonesia, ormas muncul seiring dengan modernisasi pada era kolonial, terutama ketika Belanda memperkenalkan sistem perkebunan dan pendidikan modern. Organisasi seperti Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam (1912) menjadi pionir gerakan sosial-politik yang menggabungkan aspirasi kebangsaan dan keagamaan. Pasca-kemerdekaan, ormas berkembang pesat pada 1950-an di bawah sistem demokrasi parlementer, tetapi mengalami represi selama era Demokrasi Terpimpin Sukarno dan Orde Baru Soeharto, di mana negara mengontrol ruang gerak masyarakat sipil
ADVERTISEMENT
Hubungan ormas dengan premanisme mulai terlihat jelas pada era Orde Baru (1966–1998). Rezim Soeharto menggunakan Ormas sebagai alat politik untuk mengkonsolidasi kekuasaan, seperti Pemuda Pancasila yang direkrut dari kalangan preman dan kriminal untuk melawan kelompok kiri. Didirikan oleh elit militer seperti Abdul Haris Nasution, organisasi ini merekrut preman untuk memberantas komunisme pada 1965–1966. Kini, mereka tetap berpengaruh dalam politik praktis dengan jaringan kekerasan yang terorganisir.
Militer dan intelijen seperti Ali Moertopo membina kelompok preman untuk mengamankan pemilu, mengintimidasi oposisi, dan memastikan kemenangan Golkar. Contohnya, kelompok seperti Pemuda Panca Marga dan Angkatan Muda Siliwangi menjadi "tangan panjang" negara dalam menciptakan ketakutan dan kontrol sosial.
Pasca terjadinya reformasi 1998, ormas kehilangan arah dan patron, tetapi segera beradaptasi membangun jaringan independen yang bergerak sesuai dengan kepentingan kapital. Mereka beralih ke bisnis perlindungan, pemerasan, dan mobilisasi massa untuk kepentingan politik lokal. Bahkan, paling parah bisa menciptakan kerusuhan tertentu untuk mengganggu pihak yang dipesan.
ADVERTISEMENT
Kelompok seperti Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rempug (PBR) menggunakan narasi nasionalis atau etnis untuk melegalkan aksi kekerasan. Seperti sweeping tempat hiburan, atau memungut retribusi dari pedagang kecil. Fenomena ini mencerminkan premanisme struktural, saat negara gagal menyediakan keadilan dan keamanan, sehingga masyarakat mencari perlindungan dari ormas setempat yang dipandang memiliki pengaruh kuat. Hal-hal ini seluruhnya beroperasi di luar wilayah hukum, dan berpotensi membahayakan.
Selain faktor historis dan politis, kondisi ekonomi yang penuh ketidakadilan—ditandai oleh kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan distribusi kekayaan—menjadi lahan subur bagi tumbuhnya praktik-praktik premanisme. Kelangkaan lapangan kerja dan kegagalan sistem keadilan dalam menertibkan perilaku menyimpang, membuat kelompok premanisme ini berani melakukan segala bisnis kriminal. Contohnya seperti: pungutan liar, intimidasi, dan bentuk eksploitasi lainnya yang merugikan pelaku usaha, baik di tingkat UMKM maupun investasi makro.
ADVERTISEMENT
Kombinasi faktor historis, politis, dan ekonomi inilah yang mewujudkan budaya premanisme di kalangan ormas, menjadikannya sebagai hambatan signifikan dalam upaya pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional.
Bisnis Ilegal Ormas: Pungli, Parkir Liar, dan Penyewaan Lapak Ilegal
Praktik premanisme yang dilakukan oleh ormas di sektor bisnis Indonesia telah mengakar dalam bentuk pungutan liar, penguasaan parkir ilegal, monopoli lahan usaha. Fenomena ini tidak hanya merugikan pelaku ekonomi kecil, bahkan korporasi besar yang menyerap ribuan tenaga kerja. Studi kasus dari pemberitaan media online mengungkap bagaimana Ormas memanfaatkan celah struktural untuk mengeksploitasi sumber daya ekonomi, seringkali dengan dalih "pelindung komunitas" atau "kearifan lokal".
Di Karawang, Jawa Barat, Ormas lokal kerap memblokir akses masuk ke kawasan industri, memaksa perusahaan membayar "biaya transportasi" hingga Rp500 juta per bulan. Ancaman kekerasan terhadap manajemen pabrik dan pekerja kerap terjadi jika tuntutan tidak dipenuhi. Pada 2022, sebuah pabrik tekstil asal Korea Selatan terpaksa menghentikan operasi setelah ancaman pembakaran oleh Ormas yang mengatasnamakan "putra daerah". Investor mengklaim kerugian mencapai Rp1,2 triliun akibat gangguan ini. Ironisnya, pelaku seringkali mendapat perlindungan dari oknum aparat yang menerima bagi hasil. Kasus serupa terjadi di Gresik, Jawa Timur, di mana Ormas menggunakan bendera partai politik untuk memeras perusahaan tambang.
ADVERTISEMENT
Praktik ini menunjukkan simbiosis antara Ormas, aparat, dan elit politik. Pungli dikemas sebagai "kontribusi sosial", tetapi hakikatnya merupakan bentuk pemerasan terstruktur. Lemahnya pengawasan Ombudsman dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di daerah memperparah situasi, sementara UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas tidak secara tegas mengatur sanksi bagi pelaku premanisme berkedok komunitas. Di sisi lain, perusahaan enggan melapor karena takut pembalasan atau biaya hukum yang mahal.
Di Jakarta, parkir ilegal yang dikelola Ormas menghasilkan Rp 460 miliar per tahun. Juru parkir liar di kawasan Monas dan Tanah Abang, misalnya, wajib menyetor Rp200.000–Rp500.000 per hari kepada Ormas tertentu. Pada 2023, seorang wisatawan asal Prancis tewas tertabrak mobil saat beradu argumen dengan juru parkir liar di kawasan Pasar Baru. Korban menolak membayar tarif parkir sebesar Rp100.000 untuk 15 menit, yang kemudian memicu aksi kekerasan. Kasus ini menguak jaringan Ormas yang melibatkan oknum Satpol PP dan polisi setempat.
ADVERTISEMENT
Parkir liar telah menjadi "bisnis resmi tidak resmi" yang dilegalkan oleh ketidaktegasan hukum. Dishub DKI mengakui 70% titik parkir ilegal dikuasai Ormas berlatar milisi. Tarif tinggi dipatok bukan karena kelangkaan lahan, tetapi sebagai bentuk rent-seeking ekonomi. Keberadaan Perda Nomor 3 Tahun 2020 tentang Parkir tidak efektif karena tidak disertai redistribusi akses ekonomi kepada masyarakat marginal. Alih-alih memberdayakan, negara membiarkan Ormas menjadi perantara yang memonopoli ruang publik.
Di Cirebon, Ormas Persatuan Rumah Makan Padang (PRMPC) merazia warung nasi Padang yang menjual makanan di bawah harga Rp10.000 pada 2021. Aksi ini mengakibatkan 15 UMKM tutup setelah tokonya dirusak dan pemiliknya diancam. Ormas beralasan ingin "menjaga standar harga", tetapi investigasi Tempo menemukan bahwa PRMPC menguasai distribusi daging sapi ke restoran Padang, sehingga ingin mempertahankan margin keuntungan. Di sisi lain, di Pasar Kosambi Bandung, preman Ormas membakar 20 lapak pedagang pada 2020 karena menolak membayar "uang keamanan" Rp2 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
Premanisme berbasis etnis ini mengeksploitasi sentimen komunitas untuk monopoli ekonomi. Ormas seperti PRMPC memanfaatkan kerinduan akan "kearifan lokal" untuk menciptakan kartel harga. Padahal, UU Perlindungan UMKM Nomor 20 Tahun 2008 melarang praktik monopoli, namun penegakannya lemah karena tekanan politik. Di Bandung, kasus pembakaran lapak justru melibatkan mantan anggota DPRD yang menjadi donatur Ormas, menunjukkan bagaimana premanisme menjadi alat oligarki lokal.
Premanisme sebagai Cermin Kegagalan Negara
Pertama, premanisme Ormas dalam bisnis adalah produk dari state absence, di mana negara gagal hadir sebagai penjamin keadilan ekonomi. Kedua, kolusi antara Ormas dan partai politik menciptakan "ekonomi preman" yang legal secara formal tetapi ilegal secara substansi. Contohnya, di Bekasi, Pemda menerbitkan "Surat Tugas Pengelolaan Parkir" kepada Ormas tertentu, yang kemudian digunakan untuk memeras pedagang. Ketiga, pendekatan represif alih-alih restoratif justru melanggengkan siklus kekerasan. Operasi Gabungan TNI-Polri pada 2023 di 15 kawasan industri hanya menangkap "preman kecil", sementara aktor intelektual di tingkat elite tidak tersentuh.
ADVERTISEMENT
Revisi UU Ormas harus memasukkan klausul anti-monopoli dan mekanisme audit keuangan organisasi. Namun, solusi teknis tidak cukup tanpa perubahan struktural. Pemberantasan premanisme bisnis Ormas harus diikuti dengan redistribusi akses ekonomi kepada masyarakat miskin perkotaan, reformasi birokrasi yang transparan, serta penghapusan praktik "joki izin" yang melibatkan Ormas. Tanpa itu, premanisme akan tetap menjadi kanker dalam perekonomian Indonesia, merampas hak-hak warga sekaligus mengubur potensi kemajuan bangsa.
Masa Depan Perekonoian dengan Intimidasi Ormas
Perekonomian Indonesia menghadapi ancaman eksistensial jika premanisme Ormas tidak segera dieradikasi. Seperti tumor ganas, praktik ini tidak hanya merusak iklim investasi, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan keberlanjutan pembangunan. Tanpa tindakan tegas, Indonesia akan terjebak dalam spiral ketidakstabilan: investor asing dan domestik kabur, UMKM kolaps di bawah tekanan pemerasan, dan industri strategis berpindah ke negara tetangga.
ADVERTISEMENT
Dampaknya sudah terlihat: kerugian investasi mencapai ratusan triliun rupiah di kawasan industri seperti Karawang dan Bekasi, di mana Ormas memblokir pabrik dengan ancaman kekerasan. Presiden bahkan menerima surat protes resmi dari investor yang terancam hengkang, sementara Vietnam dan Thailand siap menyambut relokasi industri Indonesia yang kian tak kompetitif.
Generasi baru premanisme sedang tumbuh dengan wajah yang lebih mengerikan. Jika sebelumnya preman mengandalkan pentungan dan ancaman fisik, kini mereka berevolusi menjadi kartel ekonomi yang terhubung dengan oligarki politik. Jaringan Ormas mulai merambah ranah digital melalui cyber extortion, memeras perusahaan dengan ancaman serangan siber atau kebocoran data. Di sektor riil, mereka menguasai logistik, energi, dan perdagangan dengan taktik paramiliter—seperti kasus Ormas berseragam loreng yang menyegel pabrik di Karawang menggunakan senjata api. Fenomena ini bukan lagi sekadar kejahatan jalanan, melainkan bentuk makar ekonomi yang menggerogoti kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Solusi parsial seperti revisi UU Ormas atau razia simbolis hanya akan memperpanjang penderitaan. Indonesia membutuhkan langkah radikal: operasi militer terbatas di kawasan industri yang dikuasai preman, hukuman mati bagi aktor intelektual yang terbukti merusak perekonomian nasional, dan revolusi birokrasi untuk memberantas oknum aparat yang menjadi kaki tangan Ormas. Transparansi mutlak harus diterapkan, misalnya melalui sistem blockchain untuk mengaudit pengelolaan lahan parkir dan industri.
Negara tidak boleh ragu "menumpas" premanisme meski harus menumpahkan darah, karena kelambanan hanya akan mengorbankan masa depan generasi muda. Sejarah membuktikan, operasi Petrus 1983—meski kontroversial—berhasil meredam premanisme di era Orde Baru. Kini, pendekatan serupa perlu dijalankan dengan prinsip keadilan dan transparansi, tanpa tebang pilih.
Analoginya jelas: Ormas premanisme ibarat anjing liar yang awalnya diberi remah-remah, lalu berkembang biak dan menguasai rumah. Jika dibiarkan, mereka akan menerkam tamu, merusak properti, dan akhirnya menggigit tangan sang pemilik. Indonesia sudah berada di titik kritis: Ormas bukan lagi "mitra" negara, melainkan tiran yang memeras upeti dari setiap transaksi ekonomi. Pilihan kini ada di tangan negara: bertindak tegas dengan risiko konflik bersenjata, atau membiarkan bangsa ini tenggelam dalam kebangkrutan dan kekacauan.
ADVERTISEMENT
Darah yang tertumpah hari ini mungkin pahit, tetapi lebih mulia daripada air mata generasi mendatang yang mewarisi negeri gagal. Premanisme bukan sekadar masalah hukum—ia adalah pengkhianatan terhadap konstitusi yang menjamin keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat. Jika perlu, gunakan pasal makar untuk membubarkan Ormas premanistik, karena hanya dengan cara ini Indonesia bisa menyelamatkan diri dari jurang kehancuran.