Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Pengangguran Terdidik dan Karpet Merah Perang Sipil
15 Februari 2025 14:56 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Revolusi. Sumber: Unsplash free image (Valentin Salja)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm4690vzkmh1m6m4fpxte1js.jpg)
ADVERTISEMENT
Di negeri dongeng ini, gelar sarjana bukanlah tiket menuju kemakmuran, melainkan surat keterangan resmi untuk mengantre di jurang keputusasaan.
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat lebih dari 1,2 juta pengangguran terbuka berasal dari lulusan universitas—angka yang terus membengkak seiring derasnya produksi sarjana setiap tahun. Mereka adalah korban dari ilusi sistemik: sekolah tinggi dibentuk jalan emas mobilitas sosial, tetapi realitas justru menjerumuskan mereka ke dalam kubangan pengangguran kronis. Di Indonesia, India, Nigeria, dan negara berkembang lain, fenomena ini bukan sekadar masalah pasar tenaga kerja, melainkan bom waktu demografis yang detaknya kian terdengar.
Lihatlah ironi yang mengiris: Kampus-kampus megah berdiri bak istana, sementara lulusannya terpaksa mengais rezeki sebagai pengemudi ojek online, buruh serabutan, atau bahkan penjual telur gulung di pinggir sekolahan. Sistem pendidikan, alih-alih menjadi mesin pembebasan, justru menjadi pabrik feodalisme.
ADVERTISEMENT
Pierre Bourdieu dalam Reproduction in Education, Society and Culture (1977) sudah mengingatkan: Sekolah sering kali hanya mereproduksi ketimpangan, bukan menciptakan kesetaraan. Di sini, jurang antara kurikulum usang dan kebutuhan industri, bukan lagi sekadar wacana—ini adalah kuburan idealisme dan impian jutaan anak muda terdidik.
Tapi jangan salah! Pengangguran terdidik bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah generasi melek informasi, terhubung di ruang digital, dan mampu mengartikulasikan kemarahan.
Seperti dikatakan Manuel Castells dalam The Information Age (1996), kelompok ini adalah aktor potensial gerakan sosial—sebuah kekuatan yang bisa mengubah kekecewaan jadi perlawanan. Lihatlah bagaimana kaum terpelajar menggerakkan Arab Spring 2011: Diploma dan mahasiswa yang seharusnya jadi tonggak pengetahuan, berubah menjadi mesin perang. Meluluhlantakkan dunia Arab menjadi medan pembantaian.
ADVERTISEMENT
Prof. Abdul Haris, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, secara blak-blakan menyatakan: "Kita (perguruan tinggi) masih menghasilkan pengangguran."
Ia mengakui tiga masalah krusial: ketimpangan akses, kesenjangan kualitas, dan kurikulum yang tidak relevan. Padahal, perguruan tinggi seharusnya menjadi pusat knowledge creation, bukan sekadar knowledge transfer. Namun, hingga 2024, hanya 12,76% angkatan kerja Indonesia yang berpendidikan tinggi—sisanya adalah lulusan SMA/SMK yang lebih mudah diserap pasar.
Di balik kejenuhan ruang kelas, eksploitasi di kantor magang, dan umpatan bimbingan skripsi, bibit pemberontakan lahir dari rahim yang sama. Rahim yang dimiliki oleh ideologi kebebasan, pencerahan, dan perlawanan kezaliman. Setiap tahun, ribuan sarjana baru dilahirkan tanpa masa depan, sementara pemerintah sibuk berkoar tentang "pembangunan SDM unggul".
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya: Sampai kapan elite politik bisa tidur nyenyak, sementara gelombang generasi terdidik yang marah siap meledakkan status quo?
Jika hari ini kita abai, besok mungkin kita hanya tinggal menyaksikan negeri ini berubah dari "darurat pengangguran" menjadi kuburan harapan. Kuburan yang berisi jasad perjuangan, dan saksi bisu amarah sipil pada pemerintah.
Ancaman Gerakan Pemberontakan Massal: Ketika Negara Menanam Bom Sosial
Bayangkan sebuah mesin otomatis yang menyediakan kopi panas, tapi hanya mengeluarkan air comberan. Itulah analogi relative deprivation—ketika harapan kehidupan layak dijanjikan melalui pendidikan dan demokrasi, dan berbenturan dengan kenyataan berisi pengangguran massal dan ketimpangan sosial.
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel (1970) menegaskan: Manusia tidak memberontak karena kemiskinan, tapi karena merasa dikhianati oleh sistem yang menjanjikan kemakmuran, tapi malah memberi penderitaan. Di sini, sarjana penganggur bukan sekadar korban, melainkan bahan bakar yang siap meledak. Mereka adalah generasi yang tahu cara membaca Marx, mengutip Foucault, dan—yang lebih berbahaya—mengorganisir massa. Mengubah pemikiran bebas, jadi bom molotov.
ADVERTISEMENT
Lalu, masuklah para dalang identitas. Seperti produser acara reality show yang sengaja memicu konflik antar-kontestan demi rating. Elite politik dan kelompok radikal memanfaatkan isu etnis, agama, atau kelas untuk mengkonsolidasi kekuasaan.
James C. Scott dalam The Art of Not Being Governed (2009) mengingatkan: Identitas adalah senjata paling efektif untuk mengubah ketidakpuasan menjadi gerakan massa. Lihatlah Myanmar, di mana junta militer mengalihkan kemarahan rakyat dari korupsi ke kampanye anti-Rohingya. Atau Indonesia, di mana isu SARA kerap jadi "obat bius" untuk menutupi kegagalan negara menciptakan lapangan kerja. Konyolnya, sementara rakyat sibuk bertikai soal bendera atau ritual, oligarki tetap aman mengeruk kekayaan.
Tapi puncak ironi ada pada state fragility. Bayangkan negara sebagai satpam kompleks perumahan yang tidur pulas, sementara perampok menggasak rumah warga.
ADVERTISEMENT
Charles Tilly dalam From Mobilization to Revolution (1978) menyebut: Negara yang gagal menjamin keamanan dan keadilan akan memicu "hukum rimba," di mana warga mengambil alih peran negara dengan cara mereka sendiri—dengan pentungan bisbol atau senjata api. Di Sudan Selatan misalnnya, pengangguran terdidik yang frustrasi jadi komandan milisi. Bahkan di Peru, Profesor Filsafat, Abimael Guzman, mengorganisir gerilyawan Shining Path. Inilah paradoks kejam: Negara yang lalai menciptakan lapangan kerja, justru memproduksi "lapangan perang".
Dampaknya? Bukan sekadar kerusuhan sesaat, tapi disintegrasi sosial permanen. Perang sipil Suriah, yang dimulai dari protes damai mahasiswa pada 2011, telah menghancurkan 70% infrastruktur negara dan mengubah 13 juta warga jadi pengungsi.
Di Indonesia, kekerasan bukan lagi alat, melainkan budaya peradaban digital. Anak-anak tumbuh dengan melihatnya sebagai solusi, sementara negara kehilangan monopoli atas legitimasi hukum.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya: Kapan para penguasa sadar bahwa pengangguran terdidik bukanlah "statistik sampah," melainkan arsenik politik yang perlahan meracuni tubuh bangsa? Jika hari ini mereka masih sibuk berdebat soal bendera setengah tiang atau syarat calon presiden, besok kita semua mungkin akan jadi penonton pameran seni konyol berjudul: "Perang Sipil: Karya Agung Negara yang Gagal".
Gerakan Revolusi Besar yang Dibutuhkan Negara
Negara ini sedang bermain Russian roulette dengan masa depan generasi mudanya. Di satu sisi, ada pilihan revolusi sistemik—menghancurkan struktur pendidikan yang timpang, mengganti oligarki ekonomi dengan demokrasi produktif, dan merombak kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elite. Di sisi lain, reformasi ala kadarnya—program tambal sulam seperti pelatihan singkat atau insentif sektor informal—yang ibarat memberi parasetamol pada pasien kanker ganas.
ADVERTISEMENT
Reorientasi pendidikan bukan lagi tentang menambah mata kuliah atau magang semu. Ini tentang membongkar kurikulum abad ke-19 yang dipaksakan di era AI. Contoh nyata: Jerman dengan sistem Dual Education-nya, di mana 78% lulusan SMK langsung terserap industri karena kurikulum dirancang bersama perusahaan. Di Indonesia? Lebih dari 60% program studi di perguruan tinggi tidak relevan dengan kebutuhan pasar kalau kata kajian Kemnaker 2023.
Alhasil, jika tidak ada terobosan radikal—seperti menutup jurusan "zombie" yang hanya jadi tempat sampah mahasiswa—kampus akan tetap menjadi pabrik penganggur berijazah.
Demokratisasi ekonomi bukan slogan kosong. Ini berarti memaksa korporasi membuka lapangan kerja berkualitas, bukan sekadar jadi rentenir lewat sistem alih daya dan kontrak serabutan. Di Vietnam, reformasi agraria dan investasi di UMKM berhasil menekan pengangguran terdidik hingga di bawah 4%.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia, menurut riset Oxfam 2023, 85% aset ekonomi masih dikuasai 1% populasi. Jika oligarki dibiarkan, sarjana-sarjana kita akan tetap jadi budak di negeri sendiri: Pintar secara teori, tapi miskin secara martabat.
Elite politik boleh terus berlagak tuli, tapi waktu tidak bisa dibohongi. Setiap detik, 12 sarjana baru masuk daftar pengangguran. Setiap bulan, 100 anak muda terdidik hijrah ke luar negeri. Setiap tahun, kepercayaan pada negara kian terkikis.
Jika revolusi pendidikan dan ekonomi tidak dimulai hari ini, bersiaplah menyaksikan negeri ini menjadi laboratorium experimen yang gagal—tempat di mana ijazah digantung di dinding, sementara mayat-mayat harapan bergelimpangan di jalanan.