Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Plagiarisme dalam Industri Video Game
7 Juni 2022 19:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri game dikenal dengan persaingan kreativitas tingkat tinggi, teknologi, serta experience. Setiap produknya selalu dituntut untuk menghadirkan tiga unsur tersebut agar bisa bersaing, baik segi penjualan maupun penciptaan inovasi baru. Mengenai hal ini, para pengembang atau disebut developer memperebutkan hak cipta. Semakin banyak mengantonginya, maka semakin deras juga aliran uangnya. Berbagai judul legendaris yang rilis ke pasaran bahkan jadi kiblat utama karena berhasil membawa inovasi besar dan berpengaruh. Contohnya adalah Rockstar Games yang berhasil menempatkan seri Grand Theft Auto sebagai raja kategori action-adventure open world game. Tidak ada yang asing dengan game ini, bahkan orang tua mengenal game ini karena reputasinya sebagai “pengancam moral” anak.
ADVERTISEMENT
Namun, kondisi industri game punya masalah sama dengan industri lain yang menjunjung tinggi orisinalitas, yakni plagiarisme. Hal ini bisa terjadi dari kehadiran judul game yang laris-manis, sehingga developer lain kesulitan untuk membuat konsep baru. Urusan dapur kreatif membutuhkan biaya riset dan waktu yang tidak sedikit. Plagiarisme paling parah yang pernah dikenal adalah Tetris. Game yang mendobrak pasar tahun 80-an ini sudah diproduksi ulang berkali-kali oleh developer yang berbeda-beda. Bahkan, judul kategori e-sports seperti Mobile Legends juga baru-baru ini menghadapi masalah yang sama. Moonton sedang ada di meja hijau setelah menerima tuntutan plagiarisme dari Riot Games, selaku pembuat dari League of Legends.
Plagiarisme sekarang jadi ancaman terbesar bagi industri ini. Siapa yang tidak mau mendapatkan hujan uang dengan modal minimal? Apalagi biaya produksi sebuah game AAA terhitung sedikit ketimbang film bisokop, dan lebih menjanjikan dari segi pendapatan. Fakta ini jelas mendorong banyak developer ingin mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan cara mudah. Tinggal mengamati pasar, menjiplaknya, dan menjualnya kembali sebagai produk baru. Sayangnya, sebagian besar berhasil menerapkannya.
ADVERTISEMENT
Jika developer ingin menghemat anggaran produksi, maka dapat menerapkan modifikasi dalam mengeksekusi ide yang didapatkan dari judul yang ada. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Respawn Entertainment di Apex Legends. Mereka mengakomodasi ide battle royale dari PUBG besutan Krafton, kemudian melakukan modifikasi baik dari segi mekanik gameplay hingga desain grafisnya. Cara ini terbilang sukses, mengingat sejak dirilis pada 4 Februari 2019, Apex Legends sudah dimainkan lebih dari 300 ribu pemain.
Memang cara Respawn Entertainment masih merepotkan daripada cuma menjiplak total. Bagi developer yang minim modal cara ini terlihat sebagai jalan pintas menuju Roma. Tetapi, dalam jangka panjang bisa memerosokkan perusahaan ke selokan paling kotor. Kehilangan kepercayaan dari konsumen bakal jadi mimpi buruk paling rasional. Setidaknya, amati tiru modifikasi merupakan tindakan paling aman. Andaikata berhasil dengan menjiplak, maka kesuksesan game tersebut akan dibayang-bayangi kegagalan. Keadaan ini sekarang dihadapi oleh Moonton bersama kejayaan Mobile Legends.
ADVERTISEMENT
Memberantas plagiarisme dalam industri ini bukan urusan mudah. Bidang yang mengedepankan kreativitas ini punya kesulitan tinggi untuk menjunjung tinggi orisinalitas utuh. Sekurang-kurangnya peristiwa saling mengadaptasi ide sudah bukan hal yang asing. Ditambah, para pencontek kini bisa bebas menjual produknya di berbagai platform, dari Appstore, hingga Playstore. Kebebasan tersebut menyulitkan pemberantasan perilaku ilegal ini, karena saking banyaknya tiruan yang beredar. Bahkan, tercatat game Angry Birds kini hampir punya 50 plagiatnya.
Siapa yang bertanggung jawab dalam kasus plagiarisme ini? Jawabannya sudah pasti mengarah pada developer “korban” dan “pelaku”. Sebagai "pelaku", cara untuk mendatangkan pundi-pundi uang dalam waktu relatif cepat bisa dicapai dengan membuat konsep yang benar-benar fresh. Memang, membutuhkan kesabaran karena sebuah inovasi baru bisa diterima setelah mendapatkan tanggapan langsung dari konsumen. Pengalaman mereka adalah acuan utama bagaimana sebuah produk pantas untuk dinikmati atau dibuang. Selain itu, para “korban” juga harus tegas dalam memanfaatkan hak cipta yang dikantongi. Penindakan harus segera dilakukan saat sebuah produk sudah mulai dijiplak oleh pihak lain. Kedua cara ini hanya bisa dilakukan oleh kedua belah pihak dengan tanggung jawab masing-masing. Sebuah kesadaran moral untuk memperbaiki industri game menuju ke arah yang lebih baik.
ADVERTISEMENT