news-card-video
7 Ramadhan 1446 HJumat, 07 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

PR Besar Komersialisasi WRC: Bisakah Era Kejayaan Balap Reli Kembali?

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
3 Februari 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ford Fiesta, mobil balap reli di WRC. Sumber: Screenshot replay gameplay EA Sports WRC (akun Steam atas nama penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Ford Fiesta, mobil balap reli di WRC. Sumber: Screenshot replay gameplay EA Sports WRC (akun Steam atas nama penulis)
ADVERTISEMENT
Pada era 1990-an, World Rally Championship (WRC) adalah simbol keberanian, teknologi liar, dan petualangan yang tak tertandingi. Mobil-mobil seperti Subaru Impreza 555, Lancia Delta Integrale, Ford Escort Cosworth, dan Mitsubishi Lancer Evolution menjadi legenda. Sementara pembalap seperti Colin McRae, Carlos Sainz Sr., dan Tommi Mäkinen dielu-elukan layaknya superhero. Namun, memasuki abad ke-21, popularitas WRC mulai memudar. Formula 1 (F1), dengan glamor dan strategi komersialnya yang cerdas, berhasil merebut perhatian global. Pertanyaannya: mengapa WRC kesulitan bersaing? Bisakah mereka bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi olahraga bermotor yang relevan di era digital? Artikel ini akan membedah akar masalah komersialisasi WRC, merunut faktor penurunan animo, serta memproyeksikan langkah strategis untuk mengembalikan kejayaannya.
ADVERTISEMENT
F1 dan WRC adalah dua sisi mata uang yang berbeda. Jika F1 adalah pertunjukan megah dengan panggung kota-kota ikonik seperti Monaco, Singapura, Las Vegas, atau Melbourne, WRC adalah cerita tentang mobil yang berjuang melawan alam di jalanan terpencil Kenya, hujan salju Swedia, lumpur Wales, dan pedesaan Jepang. Perbedaan fundamental inilah yang menjadi akar ketimpangan komersial antara keduanya.
WRC tumbuh dari kesadaran patriarki, yakni balap mobil bukan hanya tentang kecepatan, tetapi memaksa seorang pria menantang kematiannya sendiri. Melewati trek berliku, berbagai medan, serta kelokan-kelokan blind spot adalah daya tarik utama keberadaan WRC. Sebuah mobil reli dikendalikan oleh dua pembalap, yakni driver dan navigator. Keduanya memiliki tanggung jawab yang sama besar. Ketika kecepatan mobil bergantung kehandalan driver, maka keselamatan nyawa akan ditanggung oleh navigator, sang pembaca trek.
ADVERTISEMENT
F1 dirancang untuk menjadi tontonan yang mudah diakses. Sirkuitnya dibangun di pusat kota atau lokasi strategis, dilengkapi infrastruktur kamera canggih yang memastikan setiap sudut balapan terekam. Hasilnya, penonton di rumah bisa merasakan sensasi nyaris lengkap: dari strategi pit-stop hingga duel wheel to wheel. Sebaliknya, WRC berlangsung di lokasi terpencil dengan jarak ratusan kilometer. Meski indah secara visual, reli sulit dipetakan secara real-time. Penonton seringkali hanya melihat cuplikan singkat atau hasil akhir, bukan ketegangan selama berkendara. Bagi sponsor, ini masalah besar: eksposur merek menjadi terbatas, dan nilai investasi berkurang.
F1 telah mengubah diri menjadi mesin pencetak uang melalui hak siar, sponsor global, dan kemitraan dengan merek-merek premium seperti Rolex, Emirates, atau Aramco. Pada 2023, pendapatan F1 mencapai rekor $3,1 miliar, dengan hak siar menyumbang 40% dari total. Sementara itu, WRC masih bergantung pada sponsor tim dan partisipasi pabrikan. Saat pabrikan seperti Subaru, Mitsubishi, atau Citroen hengkang pasca tahun 2000-an, WRC kehilangan daya tarik komersialnya. Selain itu, acara F1 sering dikemas sebagai festival hiburan lengkap dengan konser musik dan ajang sosial, sementara reli lebih fokus pada kompetisi murni—sesuatu yang kurang menarik bagi kalangan non-enthusiast.
ADVERTISEMENT
F1 telah sukses membangun citra sebagai olahraga elite. Para selebritas, CEO, dan politisi berbondong-bondong ke paddock F1 untuk berfoto atau menjalin jaringan. Hal ini menciptakan lingkaran virtuoso: semakin glamor sebuah acara, semakin banyak sponsor yang ingin terlibat. Di sisi lain, WRC dianggap sebagai olahraga "kotor" dan "ekstrem", yang lebih cocok untuk kalangan pekerja atau penggemar motorsport tradisional. Meski memiliki basis fans yang loyal, WRC kini gagal menembus pasar anak muda yang lebih tertarik pada gaya hidup mewah dan konten instan.
Era 90-an vs Kini: Mengapa Generasi Baru Tidak Terpikat?
Jajaran mobil reli WRC 2025. Sumber: Screenshot footage gameplay EA Sports WRC (Akun Steam atas nama penulis).
Tahun 1980 sampai 1990-an adalah masa keemasan WRC. Mobil-mobil Group A dan Group B yang agresif, pembalap berkarisma, dan rivalitas sengit menciptakan drama yang sulit dilupakan. Namun, sejak awal 2000-an, animo mulai turun drastis. Apa yang berubah?
ADVERTISEMENT
Pembalap era 90-an bukan sekadar atlet—mereka adalah ikon pop culture. Colin McRae, misalnya, menjadi wajah game Colin McRae Rally yang legendaris. Karakternya yang blak-blakan dan gaya mengemudi berisiko tinggi menciptakan ikatan emosional dengan fans. Saat ini, pembalap WRC seperti Kalle Rovanperä atau Ott Tänak mungkin sangat buas, tetapi mereka kurang dipromosikan sebagai “selebritas”. Media sosial seharusnya bisa menjadi alat ampuh, tetapi WRC gagal memanfaatkannya untuk membangun narasi personal para pembalap.
Era Group B (1982-1986) sering disebut sebagai masa paling brutal sekaligus menarik dalam sejarah reli. Mobil-mobil seperti Audi Quattro S1 atau Lancia 037 bisa menghasilkan 600 horse power, dengan bobot ringan dan desain yang menantang gravitasi. Namun, berbagai insiden fatal yang terjadi memaksa FIA (Federasi Otomotif Internasional) memberlakukan regulasi ketat. Meski keselamatan penting, aturan yang terlalu membatasi—seperti homologasi khusus, pembatasan aerodinamika, dan spesifikasi mesin yang seragam—membuat mobil WRC modern terlihat seperti “kembaran” yang kurang karakter. Padahal, salah satu daya tarik reli adalah keberagaman desain mobil dan solusi engineering yang unik.
ADVERTISEMENT
Terakhir, yaki perubahan kebiasaan konsumsi konten hiburan. Generasi Z dan milenial tumbuh dengan TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels—platform yang menawarkan konten singkat, dinamis, dan mudah diakses. Sayangnya, format WRC yang mengandalkan durasi panjang (sehari penuh untuk satu sesi) tidak cocok dengan pola konsumsi ini. Anak muda mungkin tidak punya waktu atau kesabaran untuk mengikuti reli selama berjam-jam, apalagi jika tayangannya tidak tersedia di platform digital favorit mereka.
Strategi Kebangkitan: Digitalisasi, Drama, dan Kebebasan Engineering
Sumber: Screenshot gameplay EA Sports WRC (Akun Steam atas nama penulis)
Untuk kembali bersaing, WRC perlu melakukan transformasi radikal—tidak hanya dalam aspek olahraga balapan, tetapi juga pemasaran dan keterlibatan audiens.
Pertama, WRC harus melakukan revolusi digital dalam skala luas, untuk memoderasi konten tayangan balap reli mereka. WRC harus berinvestasi besar-besaran dalam teknologi siaran. Penggunaan drone yang bisa mengikuti mobil secara real-time, kamera onboard 360 derajat, atau augmented reality untuk menampilkan data kecepatan dan jalur lintasan bisa membuat tayangan lebih interaktif. Selain itu, platform seperti YouTube atau TikTok harus menjadi prioritas. Bayangkan highlight pendek berdurasi 15-30 detik yang menampilkan mobil melompat, drift spektakuler, atau momen nyaris celaka—konten seperti ini bisa viral dan menarik penonton baru.
ADVERTISEMENT
Kedua, membangun kembali karakter WRC melalui narasi dan drama rivalitas. F1 berhasil melipatgandakan popularitasnya berkat serial Drive to Survive di Netflix, yang menyoroti drama politik tim, konflik pembalap, dan ketegangan balik layar. WRC perlu meniru formula ini. Dokumenter atau reality show yang mengikuti kehidupan pembalap, kru mekanik, atau bahkan fans yang melakukan perjalanan ke lokasi reli bisa menciptakan ikatan emosional. Selain itu, WRC harus sengaja menciptakan rivalitas—entah melalui duel sengit di trek atau gontok-gontokan antar tim.
Selanjutnya, mengembalikan kebebasan kreativitas teknis. Salah satu yang membuat WRC digandrungi di masa silam adalah customization di ranah engineering mobil. Saat ini, tepatnya sebelum tahun 2025, WRC menggunakan mobil Rally1 yang dilengkapi mesin berteknologi hybrid—langkah yang patut diapresiasi untuk menjawab isu lingkungan. Namun, regulasi yang terlalu mengikat menyulitkan tim pabrikan untuk berinovasi lebih jauh. Solusinya, WRC bisa kembali memperkenalkan kelas baru yang mengizinkan adanya modifikasi ekstrem, dengan syarat keamanan yang ketat. Misalnya, membentuk kelas "Rally Ultimate" dengan mesin 2400 cc bertenaga 550 horse power, bodi eksperimental, atau kebebasan bentuk chamber mesin (Inline, V-Shape, Boxer, Rotary). Dengan regulasi maksimal ini, WRC berpeluang bisa menarik kembali minat pabrikan legendaris, seperti Mitsubishi, Subaru, Citroen, BMW, Porsche, Volvo, dan Skoda. Kembalinya tim-tim kawakan tersebut dapat membuat iklim kompetisi makin seru.
ADVERTISEMENT
Eksperimen ekstrem diatas akan lebih mantap ketika WRC melakukan finishing, berkolaborasi dengan berbagai video game reli, seperti Dirt Rally dan EA Sports WRC, untuk membuat kompetisi e-sports dunia. Meskipun sekarang sudah tersedia, mereka butuh lebih banyak perkembangan dalam serinya, seperti mengadakan "Rally Ultimate" versi pemain pro masing-masing. Selain itu, WRC juga dapat membentuk akademi balap reli berbasis simulasi video game yang jadi partner resmi. Sehingga membuka peluang bagi generasi muda untuk tertarik menonton, atau bahkan menjadi talenta pembalap baru.
Masa Depan WRC: Kembali ke Mesin Bensin, Mungkinkah Jadi Peluang Besar?
Tim yang berkompetisi di WRC 2025. Sumber: Main Menu game EA Sports WRC, dokumen pribadi.
Sejak musim 2022, WRC mengadopsi teknologi hybrid sebagai upaya mereka menjaga relevansi brand di era transisi energi. Tetapi, spekulasi yang ada mengatakan bahwa FIA dan WRC meyakini bahwa kembali menggunakan mesin bensin murni adalah solusi terbaik. Keputusan ini tentu bukan hanya dipengaruhi oleh faktor narasi nostalgia. Tetapi, didorong oleh pertimbangan teknis, ekonomi, dan filosofi balapan yang lebih mendalam. Jika rencana ini dieksekusi dengan cakap, maka tentu membuka peluang baru yang menggabungkan keganasan reli era 90-an dengan kebutuhan konsumen modern.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan utama kembali ke mesin bensin adalah biaya pengembangan yang lebih terjangkau. Teknologi hybrid dalam WRC Rally1 membutuhkan investasi besar. Unit hybrid yang dipasok oleh Compact Dynamics diperkirakan menambah biaya €500.000–€1 juta per tim per musim, belum termasuk integrasi dengan mesin bensin turbo 1.6L. Bagi tim privat atau pabrikan dengan anggaran terbatas, hybrid menjadi beban finansial yang mengurangi minat partisipasi. Dengan kembali ke mesin konvensional, biaya produksi mobil reli bisa dipangkas signifikan. Tanpa komponen listrik yang rumit, tim bisa fokus pada optimisasi mesin bensin yang teknologinya sudah dikuasai, sekaligus menghilangkan risiko kerusakan sistem hybrid di medan ekstrem.
Selain biaya, kebebasan engineering menjadi faktor krusial. Regulasi mesin hybrid di WRC sangat ketat—kapasitas baterai dibatasi, output tenaga listrik diatur, dan modifikasi pada unit hybrid dilarang. Pulang ke mesin bensin membuka peluang eksperimen teknis yang lebih berani, seperti peningkatan displacement mesin (misalnya dari 1600 cc ke 2000 cc turbo), penggunaan material ringan blok mesin, atau inovasi sistem cooling dan intake udara. Kemudahan memungkinkan pabrikan bisa bereksperimen solusi unik yang dapat membedakan antara mobil satu dengan lainnya. Menghidupkan keberagaman desain mesin yang sempat musnah di era hybrid.
ADVERTISEMENT
Di sisi partisipasi, keputusan ini diharapkan mampu menggoda kembali tim pabrikan dan tim kecil yang sebelumnya angkat kaki karena masalah finansial. Tahun 2000-an menjadi masa suram bagi WRC ketika Mitsubishi, Subaru, dan Peugeot meninggalkan ajang reli prestisius ini. Mengembalikan konfigurasi mesin bensin tentu akan jadi daya tarik untuk merek mobil debutan reli, seperti Suzuki, KIA, dan Chevrolet. Bagi tim privat, biaya yang lebih rendah—dari €1 juta (Rally1 hybrid) menjadi sekitar €500.000—memungkinkan lebih banyak peserta bersaing, menciptakan kompetisi yang lebih ketat dan beragam.
Jika menilik dari sudut pandang entertainment, mesin bensin murni identik dengan suara raungan ganas dan respon throttle yang agresif—hal yang terasa hambar pada mobil hybrid. Penonton akan disuguhi medan laga yang dipenuhi aksi mobil melompat, yang diikuti kebulan debu trek sambil meraung kencang. Aksi liar ini akan menonjolkan WRC dari balapan F1 atau WEC yang semakin "tertata". Selain itu, mesin bensin memungkinkan pembalap untuk mengeksploitasi tenaga dan kemampuan mobil secara spontan, tanpa batasan sistem hybrid yang mengatur aliran daya listrik. Mekanisme ini berjalan sesuai dengan idealisme balap reli yang lahir sebagai olahraga ekstrem dan buas, yang mengandalkan insting dan keberanian.
ADVERTISEMENT
Namun, keputusan ini tak lepas dari tantangan, terutama isu lingkungan. Kritik akan muncul dari kelompok yang menganggap langkah ini sebagai kemunduran dalam upaya mengurangi emisi. Untuk mengantisipasinya, WRC bisa mengadopsi bahan bakar sintetis (e-fuel) yang sedang dikembangkan perusahaan seperti Porsche dan ExxonMobil. Bahan bakar netral karbon ini mampu mengurangi emisi hingga 80%, sekaligus menjadi ajang uji coba teknologi berkelanjutan. Program offset karbon, seperti mendanai reboisasi atau energi terbarukan, juga bisa menjadi solusi untuk menetralkan polusi.
Jika WRC bisa memaksimalkan potensi mesin bensin, langkah ini bukan sekadar nostalgia, tetapi strategi untuk melompat ke depan. Dengan kombinasi biaya rendah, kebebasan engineering, dan penggunaan bahan bakar berkelanjutan, WRC bisa menciptakan era baru yang menghidupkan rivalitas klasik sambil menarik generasi muda. Bayangkan mobil-mobil dengan mesin 2 liter turbo berbahan bakar e-fuel, bodi aerodinamis dari material daur ulang, dan sistem transmisi yang bisa diutak-atik tim kecil. Di tangan FIA dan promotor yang berani merevisi regulasi, WRC berpeluang kembali menjadi ajang tempat engineering brilian, insting hewan buas, dan medan ekstrem bertemu.
ADVERTISEMENT
Kombinasi jitu ini harus dieksekusi dengan maksimal, agar WRC menjadi olahraga balapan yang relate dengan generasi baru. Bayangkan anak-anak yang terinspirasi dari video game atau TikTok, berbondong-bondong menyaksikan reli di Finlandia atau Meksiko. Saat itulah WRC akan duduk kembali menjadi "raja" olahraga balap, seperti di era 90-an. Satu hal pasti, selama masih ada jalan berliku, lumpur, dan mobil yang melompat seperti kuda liar, reli akan selalu punya daya pikat magis. Seperti kata legenda Walter Röhrl, "Reli adalah tentang mobil, pembalap, dan medan yang tak kenal ampun." Mungkin inilah saatnya WRC mengingat jati dirinya.