Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Resesi 2025: Badai Global Hantam UMKM Indonesia Tanpa Ampun!
1 Februari 2025 14:25 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Berlangsungnya gejolak krisis Rusia-Ukraina yang makin panas, kenaikan suku bunga The Fed, dan fenomena alam El Nino di iklim global, Indonesia harus kembali adu tinju dengan musuh terbesarnya, resesi ekonomi 2025. Mengapa? Bank Indonesia menyatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi makin lambat ke 4,2%—angka terendah dalam satu dekade terakhir. Namun, krisis kali ini rupanya lebih kejam dari sebelumnya, yang lebih menantang bagi UMKM. Resesi 2025 diprediksi bakal menantang UMKM, tulang punggung ekonomi nasional yang menyumbang 61% PDB.
ADVERTISEMENT
Perang Balkan antara Rusia-Ukraina terbukti bikin harga komoditas global melonjak drastis. Pertama, harga gandum naik 25%, sementara kedelai impor—bahan baku utama industri tempe dan tahu—terlempar hingga 30%. Kondisi kacau ini makin suram ketika The Fed, menelurkan kebijakan suku bunga 6,5%, melumpuhkan rupiah hingga Rp 16.500/USD. Tentu hal ini membuat biaya impor bahan baku produksi UMKM kian jauh dari pelukan. Ditambah, alam makin tak bersahabat dengan El Nino yang memengaruhi gagal panen cabai dan bawang di Jawa. Memaksa UMKM harus impor dengan harga dua kali lipat.
Dampaknya terasa: inflasi inti Indonesia diprediksi bisa menyentuh angka 6,8% pada 2025, sebuah angka fantastis! Masyarakat sudah seharusnya bersiap menghadapi krisis, mengencangkan ikat pinggang, dan belanja non-primer jadi prioritas paling akhir. Survei dari IPSOS menyatakan, 45% konsumen berencana menyunat budget kebutuhan sekunder tahun ini. Bagi UMKM yang sebagian besar bergantung pada bahan baku impor sebesar 60% (Kemenkop UKM), ini bukan hanya tantangan adu tinju. Tetapi, lonceng kekalahan yang nyata sebelum bertarung.
ADVERTISEMENT
Penulis berkesempatan berbicara dengan William Putra (29), pemilik salah satu coffee shop di daerah Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Ia menyatakan, kenaikan harga susu impor sebesar 40%, memaksanya menaikkan harga berbagai jenis minuman kopi susu, dari Rp 26.000 menjadi Rp 33.ooo. Harga naik ini membuat pelanggannya menyusut sampai 50%, sedangkan beban operasional ikutan membengkak secara keseluruhan. "Dulu saya mas, bisa untung itu rata-rata Rp 10 jutaan/ bulan. Sekarang, ya dikit banget mas. Paling ya cukup buat gaji karyawan kami dan operasional. Kan, mereka harus jadi prioritas untuk kami sejahterakan," ungkapnya.
Di balik situasi ini, pernyataan kritis mengemuka: Apakah pemerintah cukup sigap melindungi UMKM? Subsidi bahan pangan yang error, minimya insentif digitalisasi, dan ketergantungan pada impor, menggambarkan bahwa kebijakan selama ini hanya sekadar isapan jempol. Para menteri yang terlihat elegan dengan pidato-pidatonya untuk menekan stress issue masyarakat. Jika tidak ada perubahan radikal, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyampaikan 30% UMKM akan gulung tikar dalam dua tahun.
ADVERTISEMENT
Di sisi koin yang lain, UMKM Indonesia justru peluang bagus untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Kuncinya adalah beradaptasi dengan perubahan dan membangun hubungan erat dengan pelanggan. Resesi yang mengubur banyak jalan, sejatinya akan memunculkan jalan baru yang harus ditempuh. Meskipun sulit dan terlihat asing, minimal pengusaha mikro dan menengah memperoleh harapan cerah.
Bagian 1: Bagaimana UMKM Bisa Survive dan Berkembang?
Langkah pertama, adalah digitalisasi dan membuka pasar tanpa batas. Kisah Jenama Hadinata Batik asal Surakarta, membuktikan bahwa langkah ini adalah solusi nyata mendatangkan hasil. Mulai beralih ke TikTok Shop dan Shop Tokopedia, omzet mereka meroket 1000%. Jenama batik itu menyediakan beragam kain batik hingga pakaian batik siap pakai untuk berbagai konsumen, yakni perempuan, laki-laki, dan anak-anak. Batik yang dipasarkan meliputi batik printing, cap, dan batik tulis. UMKM tak perlu modal besar untuk memulai—cukup gunakan smartphone dan kuota. Live selling di Facebook atau WhatsApp Business bisa menjadi gerbang pertama. Kolaborasi dengan influencer mikro dengan sistem bagi hasil (10-15% per penjualan) juga efektif menjangkau Gen Z.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, diversifikasi dan menciptakan ekosistem bisnis. Creative Digital Printing asal Sleman, Yogyakarta adalah contoh inspiratif. Usaha percetakan digital yang hampir kolaps saat pandemi 2020, kini sukses menjual alat tulis kantor online dan jasa desain grafis. Kuncinya adalah mendengarkan keluhan pelanggan, dan aktif di sosial media. Survei sederhana via Google Form yang diberikan ke setiap pelanggan yang membeli, bisa mengungkap tingkat kepuasan pelanggan, dan juga kebutuhan ide produk baru. Misalnya, UMKM kopi yang menjual paket "Ngopi + Camilan" dengan diskon 20% (jumlah pembelian minimal tertentu) atau kolaborasi dengan UMKM lain untuk menciptakan paket unik "Batik + Kerajinan Kayu". Diversifikasi bukan sekadar menambah produk, tapi menjawab masalah pelanggan dengan cara kreatif.
Ketiga, bangun pelanggan loyal, karena mereka adalah investasi. Kedai Kopi "Recovery Kopi" asal Banyumas membuktikan bahwa loyalitas pelanggan bisa jadi penyelamat di masa sulit. Dengan market pelanggan yang pas, mereka memberikan kartu catatan poin setiap pembelian kopi. Poin-poin ini bisa ditukar diskon atau merchandise eksklusif, seperti kaos dan tas cantik. Hasilnya, hampir 60% pelanggan kembali setiap minggu dan ikut mempromosikan kedai kepada kenalannya. Tips utama mereka adalah dengan mengirim ucapan ulang tahun ke pelanggan + voucher diskon via Whatsapp.
ADVERTISEMENT
Bagian 2: Peran Pemerintah–Bantu UMKM atau Cuma Kebutuhan Politis?
Setelah UMKM mempunyai jalan baru, maka pemerintah sebagai regulator juga harus menelurkan kebijakan baru yang berpihak kepada UMKM. Pada resesi tahun sebelumnya, pemerintah kerap mengklaim telah berpihak kepada UMKM lewat program bantuan sosial dan subsidi. Namun, realitas di lapangan berkebalikan dari klaim mereka. Contohnya seperti: bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran, sekadar tempelan politik, dan gagal menyentuh akar masalah. Alih-alih penyelamat, kebijakan pemerintah justru terasa seperti plester di luka bernanah—tampak menolong, tapi tidak menyembuhkan.
Ambil contoh program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sepanjang 2024, dana KUR sebesar Rp 140 triliun hanya terserap 60%. Penyebabnya? Syarat administrasi rumit, jaminan aset yang tidak terjangkau pelaku UMKM, dan bunga yang cukup memberatkan untuk standar usaha kecil (6% per tahun). Jika dibandingkan dengan Vietnam, kredit mikro untuk UMKM berbunga 3% saja, dengan proses pencairan selama 3 hari—tanpa agunan. Hasilnya UMKM Vietnam kini menyumbang 45% ekspor nasional, sementara Indonesia masih bergantung besar dengan impor.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, anggaran besar justru dialokasikan untuk program yang tidak masuk akal, anggap saja idiot! Pada 2024, Kemenkop UKM menggelontorkan Rp 1,2 triliun untuk pelatihan pembuatan konten sosial media bagi pelaku UMKM. Tapi, pelatihan tersebut tidak diimbangi dengan akses internet murah, subsidi peralatan digital, atau pendampingan teknis. Akhirnya ribuan UMKM hanya jadi penonton tren TikTok, tanpa bisa menjual produk satu pun.
Kolaborasi pemerintah dengan swasta, yang seharusnya jadi sasaran prioritas, justru kelihatan masih setengah hati. Program "biaya admin 1%" untuk UMKM di platform Tokopedia di kuartal IV 2024 patut diapresiasi. Namun, ini baru berlaku selama 3 bulan, padahal resesi diperkirakan masih akan berlangsung sampai 2026 mendatang. Bandingkan dengan Malaysia, di mana pemerintah dan swasta menjalankan program "Digitalisasi UMKM 5 Tahun" dengan subsidi 50% di biaya logistik, pelatihan berkelanjutan, dan akses pasar global. Program ini berbuah manis, dengan 65% UMKM Malaysia sudah go digital pada 2024 (Shopee Malaysia). Sedangkan Indonesia, masih di angka 35%.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah?
Pertama, potong pajak dan bukan potong subsidi. Turunkan PPN untuk UMKM dari 11% menjadi 10%, khususnya sektor pangan dan tekstil. Thailand sukses menjaga pertumbuhan UMKM di resesi 2023 dengan kebijakan penurunan PPN secara bertahap.
Kedua, membongkar monopoli logistik. Harga pengiriman barang antarpulau di Indonesia tiga kali lipat lebih mahal daripada semua negara ASEAN. Ini terjadi karena dominasi perusahaan pelayaran tertentu di jalur pengiriman tertentu. Pemerintah harus buka keran kompetisi untuk menekan biaya distribusi.
Ketiga, prioritaskan infrastruktur digital. Alihkan anggaran "pelatihan konten" ke pembangunan jaringan internet di desa-desa UMKM sentra, seperti Batik Lasem atau Tenun Flores. Kebijakan ini sangat berpengaruh bagi UMKM apapun yang ingin mendapat akses internet terjangkau, cepat, serta aman, untuk memasarkan produknya secara digital.
ADVERTISEMENT
Terakhir, stop program seremonial. Gantilah agenda bagi-bagi bansos dengan insentif nyata bagi masyarakat, khususnya pelaku UMKM. Hal ini bisa dimulai dengan voucher pembelian bahan baku atau subsidi listrik khusus home industry yang memiliki mesin produksi, sebesar 25%.
Jika pemerintah tetap bagi-bagi janji, bukan solusi struktural, maka hanya seperti memberikan parasut bolong kepada pengusaha UMKM. Dan tentunya, prediksi Kadin tentang 30% UMKM gulung tikar pada 2026 bukan isapan jempol semata. Resesi 2025 adalah ujian nyata: apakah pemerintah hadir untuk UMKM, atau hanya jadi pahlawan kesiangan yang sibuk bagi-bagi sembako sambil tutup mata?
Kesimpulan: Kemenangan Sesungguhnya Adu Tinju Melawan Resesi
Resesi 2025 akan menjadi ujian nyata bagi UMKM: bertahan bukan hanya soal mencari untung, tapi mengubah mindset. Digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan—pemerintah tak bisa sepenuhnya diandalkan, sementara program bantuan seperti KUR dan pelatihan konten kerap tak menyentuh akar masalah. UMKM harus lincah berinovasi, diversifikasi produk, dan membangun loyalitas pelanggan lewat interaksi personal. Di sisi lain, pemerintah perlu stop bagi-bagi sembako simbolis dan beralih ke insentif nyata: potong pajak UMKM, hancurkan monopoli bahan baku, dan subsidi infrastruktur digital. Jika kedua pihak tidak bergerak cepat, 30% UMKM diprediksi tumbang dalam 2 tahun. Krisis ini adalah momentum untuk bertransformasi: UMKM harus berani keluar zona nyaman, pemerintah harus dengar suara riil pelaku usaha. Jangan jadi penonton di negeri sendiri—aksi sekarang, atau jadi korban resesi!
ADVERTISEMENT