Yellow Flag Lewis Hamilton, dan Babak Baru Carlos Sainz Jr.

Annajm Islamay Wisyesa
Mantan wartawan lepas yang sering underpaid, dan kini, perintis Media Video Game terbesar (amin) di Indonesia
Konten dari Pengguna
9 Februari 2024 16:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Carlos Sainz Jr. (kiri) melalui musim terakhir pembuktian, Lewis Hamilton (kanan) menuju masa depan yang berbahaya. Sumber: pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Carlos Sainz Jr. (kiri) melalui musim terakhir pembuktian, Lewis Hamilton (kanan) menuju masa depan yang berbahaya. Sumber: pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kompetisi jet darat Formula 1 musim 2025 nampaknya akan menghadirkan drama baru yang cukup eksplosif. Lewis Hamilton, sang juara dunia tujuh kali, dipastikan angkat kaki dari Mercedes untuk bergabung dengan tim ikon kultur balap mobil Italia, Scuderia Ferrari. Hal ini tentunya mengejutkan banyak pihak, karena ia memutuskan menanggalkan first seat driver yang dulu didapatnya dari pensiunnya Michael Schumacher pada 2013. Entah bakal jadi mitos baru atau tidak, tradisi ini menandai betapa legendarisnya kursi pembalap utama Mercedes selama beberapa musim ke depan. Keputusan besar ini jelas menunjukkan keberanian dan kontroversi, karena Hamilton mengambil resiko besar untuk membuktikan dirinya belum habis bersama tim baru.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, ia juga mengambil langkah besar dengan menolak perpanjangan kontrak McLaren pada 2012, untuk berbalas budi pada tim akademinya, Mercedes. Kisahnya berbuah enam gelar juara dunia bersama tim asal Jerman tersebut, sambil tidak lupa memecahkan berbagai rekor di Formula 1. Mulai dari kemenangan terbanyak, podium terbanyak, pole position terbanyak, dan poin terbanyak yang berhasil dikumpulkan sepanjang sejarah. Bisa dikatakan ia telah mengukir namanya sebagai salah satu legenda balap single seat paling prestise tersebut, bersanding dengan nama besar lain yang sudah meninggalkan warisan di Formula 1.
Namun, Hamilton bukan hanya dikenal sebagai seorang yang berbakat mengendalikan jet daratnya. Ambisi besar untuk selalu ingin berada di bawah mahkota juara dunia akhirnya mendorongnya untuk mencoba hal-hal baru, termasuk bergabung dengan Scuderia Ferrari. Tim legendaris kelahiran Maranello ini adalah tim tertua dan mempunyai tradisi panjang di balapan Formula 1. Sejarah demi sejarah sudah ditorehkan si "Kuda Jingkrak" sejak awal kompetisi dibentuk, dan mengukuhkan diri sebagai tim paling sukses yang sudah melahirkan para pembalap legendaris. Raungan mesin mereka telah mengantarkan para dewa balap ini ke panggung juara dunia, seperti: Alberto Ascari, Juan Manuel Fangio, Niki Lauda, Michael Schumacher, dan Kimi Raikkonen.
ADVERTISEMENT
Tradisi kental ini juga berimbang dengan gairah dan emosi yang selalu melekat pada Scuderia Ferrari. Upaya panjang untuk terus bersaing di setiap race week, adalah contoh menarik sebuah tim yang sudah tidak bisa berbohong atas citra yang dimilikinya. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan fans die hard mereka, Tifosi, yang sudah menjadi saksi hidup kisah keajaiban Scuderia Ferrari selama berdekade-dekade. Bukan pemandangan yang aneh, ketika penonton bisa begitu mudahnya menemukan para manusia yang berseragam merah darah, sambil mengibarkan bendera Ferrari sepanjang balapan. Loyalitas basis pendukung yang kuat ini semakin terlihat, ketika sekarang Scuderia Ferrari belum berhasil menemukan performa terbaiknya. Gairah ini terus terlihat dan menjadi identitas utama sebuah rahim tim yang sudah melahirkan para dewa balap jet darat tersebut.
ADVERTISEMENT
Di bawah Bayang-Bayang Kutukan “Kuda Jingkrak”.
Hamilton mengatakan bahwa bergabung menjadi pembalap Scuderia Ferrari merupakan impian kecil bagi setiap orang, termasuk dirinya sendiri. Dilatarbelakangi kekagumannya pada sang legenda Jerman, Michael Schumacher (selanjutnya disebut Schumi), ia ingin meraih gelar juara dunianya yang kedelapan sekaligus mengalahkan pencapaian idolanya. Ambisi ini menurutnya, sebagai bentuk balas budinya kepada dunia balap jet darat yang telah membesarkan namanya hingga saat ini.
Namun, keputusan untuk menggeber mesin Ferrari bukanlah sesuatu yang mudah. Tim "Kuda Jingkrak" tersebut kini paceklik gelar sejak musim 2007, dimana Kimi Raikkonen berhasil mengisi lemari trofi Ferrari untuk terakhir kalinya sampai saat ini. Sempat digawangi oleh Mattia Binotto sebagai team principal sejak 2019, rupanya tidak membawa tim ini ke arah yang lebih baik. Justru sebaliknya, berbagai inovasi yang disuntikkan untuk memperkuat jet darat mereka malah semakin memperlebar gap persaingan dengan tim rival, seperti Mercedes dan Red Bull. Selain itu, terdapat kutukan kuat yang kini sedang menghantui Scuderia Ferrari, yakni horornya paddock tim bagi para juara dunia yang baru atau kembali membalap untuk mereka. Sudah banyak sejarah buruk yang membuktikan kutukan ini, di antaranya Fernando Alonso, Kimi Raikkonen, dan Sebastian Vettel.
ADVERTISEMENT
Alonso adalah pembalap Spanyol yang pernah menjadi juara dunia dua kali bersama Renault. Ia bergabung dengan Scuderia Ferrari pada tahun 2010, dengan harapan bisa menambah koleksi gelarnya. Namun, Alonso hanya mampu finis sebagai runner-up tiga kali, dan tidak pernah menang balapan lagi setelah musim 2013. Alonso akhirnya minggat pada akhir musim 2014, dan menyebut pengalaman pahitnya sebagai “lima tahun yang hilang”.
Nasib apes juga menimpa Kimi Raikkonen. Setelah meraih juara dunia pada 2007 bersama Scuderia Ferrari, ia memutuskan comeback ke si "Kuda Jingkrak" pada 2014 untuk menggantikan secondary seat milik Felipe Massa. Meskipun kemampuannya sempat diragukan berkat sempat cabut dari Formula 1 menuju balap reli, ternyata musim pertamanya berlangsung memuaskan. Tetapi, performanya semakin merosot tajam hingga puncaknya pada 2018, ia hanya meraih satu kemenangan sepanjang musim. Pembalap berjuluk Iceman tersebut akhirnya harus terdepak di akhir musim, dan bergabung dengan tim kecil Alfa Romeo hingga masa pensiunnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kutukan menghampiri Sebastian Vettel, pembalap gaek peraih empat gelar juara dunia Formula 1 beruntun bersama tim Red Bull. Ia secara mengejutkan bergabung dengan Scuderia Ferrari untuk menjadi pembalap utama, berduet dengan Kimi Raikkonen di musim 2015. Membawa ambisi mengalahkan torehan gelar juara dunia Schumi, nyatanya ia harus berhadapan dengan kondisi yang sangat sulit. Di samping konflik dinginnya dengan Kimi Raikkonen, Vettel hanya mampu mengakhiri tahun sebagai runner up dua kali, dan sering melakukan kesalahan fatal yang merugikan tim. Terkhusus, pengabaiannya terhadap strategi team order yang sudah menjadi tradisi Scuderia Ferrari sejak lama. Enam tahun mengecewakannya ini akhirnya harus dibayar dengan pemutusan kontraknya pada tahun 2020, dan bergabung dengan tim Aston Martin Cognizant.
ADVERTISEMENT
Ketiga kisah diatas sudah barang tentu jadi pembelajaran penting untuk Lewis Hamilton, bahwa bergabung dengan tim “Kuda Jingkrak’ bukan jaminan untuk meraih gelar juara dunia. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti kualitas mobil, strategi tim, persaingan rekan satu tim, dan tekanan dari Tifosi dan media. Pembalap asal Inggris tersebut harus siap menghadapi kesulitan-kesulitan bersama Scuderia Ferrari yang kini sedang pincang.
Apakah Hamilton bisa melakukannya? Apakah ia bisa membuktikan bahwa dirinya belum habis di penghujung karirnya? Apakah Hamilton bisa mengakhiri paceklik gelar tim Maranello sejak 2007? Atau skenario terburuk, ia menyesali keputusannya membalap di depan para Tifosi?
Mimpi Buruk, Inkonsisten, dan Musim Terakhir.
Kedatangan Hamilton juga sebenarnya patut dipertanyakan. Sebab, proyeksi Ferrari menjadikan Charles Leclerc pembalap utama belum menunjukkan sinyal positif. Memang, ia tampil meyakinkan dengan meraih beberapa kali podium di musim 2023. Namun, pembalap asal Monako tersebut tidak pernah sekalipun memuncaki podium juara. Sebaliknya, Carlos Sainz Jr, sang pembalap kedua justru pecah telur dengan memutus dominasi Max Verstappen di race week ke-15 yang berlangsung di sirkuit Marina Bay, Singapura. Ia meraih pole position dan dominan memimpin sejak awal green light menyala. Banyak pihak menduga bahwa Scuderia Ferrari akan mempertahankan duet Carlos Sainz Jr dan Charles Leclerc, dengan mencoba menunjuk Sainz Jr sebagai ujung tombak baru. Sayangnya, hoki belum berpihak kepadanya, dan membuat suasana internal tim semakin runyam.
ADVERTISEMENT
Memang perlu diakui, bahwa penyakit utama Sainz Jr selama bertahun-tahun di Formula 1 adalah kesulitan mengatasi tekanan di tengah balapan. Menurut Mattia Binotto, dalam series Netflix berjudul “Drive to Survive”, pembalap asal Spanyol tersebut memiliki kualitas yang bagus. Tetapi, ia kurang konsisten dibanding rekan setimnya. Sehingga, kerap kali terlibat dalam banyak blunder, khususnya berkaitan dengan skill manuver ofensif untuk merebut posisi terdepan. Hal ini terlihat jelas beberapa kali di musim ini.
Pada GP Austria 2023, Sainz Jr tidak mampu memanfaatkan kemampuan maksimal mesin SF-23 setelah ia mengalami masalah teknis. Bencana ini membuatnya kehilangan posisi ketiga dan melorot ke posisi keenam. Blunder krusial lainnya bisa dilihat di GP Bahrain 2023, ketika berusaha melakukan overtake pada Sergio Perez di lap pertama, justru ia terlibat insiden kecelakaan dengannya sehingga front wing mobilnya rusak. Ia harus masuk pit untuk mengganti sayapnya, dan kembali ke lintasan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa musim 2023 Carlos Sainz Jr sudah mengupayakan segenap kemampuannya, meskipun belum bisa bersaing konsisten dengan pembalap elit lainnya, seperti: Max Verstappen, Lewis Hamilton, dan Charles Leclerc.
ADVERTISEMENT
Dengan kepastian bergabungnya Hamilton ke tim “Kuda Jingkrak” berkat penampilan impresifnya di musim 2023 bersama tim “Panah Perak”, memaksa Sainz Jr terjebak lagi di situasi yang sama persis di masa lalu. ia mengulang masa ketidakpastian seperti saat menjalani tahun terakhir kontrak di Toro Rosso dan Renault. Pembalap asal Spanyol itu kini menjalani musim terakhirnya di Ferrari tanpa tahu di tim mana ia akan berlabuh pada musim 2025. Namun, ada skema menarik yang sedang menunggunya.
Ekspektasi tinggi sudah jelas membebani punggung Sainz Jr di musim 2024. Sebab, ia dituntut tampil impresif agar menarik tim-tim lain yang juga kehilangan para joki utamanya di musim 2025. Mercedes dan Red Bull tentunya jadi target yang cukup masuk akal, sebab kedua monster tersebut masing-masing akan kehilangan kekuatan secondary seat yang cukup memukul. George Russell yang sudah diproyeksikan menduduki status pembalap utama Mercedes membutuhkan rekan setim yang berpengalaman, karena sangat mustahil meraih juara dunia di usia belia tanpa partner yang baik. Selain itu, kontrak Sergio Perez di Red Bull juga akan segera berakhir di penghujung musim 2024. Konflik yang semakin memanas dengan Max Verstappen pada musim ini, disinyalir menjadi penyebab keputusannya untuk belum memperpanjang kontrak dan berencana mencari tim baru yang berminat meminangnya.
ADVERTISEMENT
Situasi ini sejatinya masih cukup dinamis, dan berpeluang berubah sesuai kebijakan duo monster tersebut. Mercedes masih bisa menjatuhkan pilihan dengan mengambil Esteban Ocon yang kehabisan kontrak di Alpine pada akhir musim 2024. Alasan paling kuat bagi mereka adalah pembalap asal Prancis ini merupakan binaan asli akademi Mercedes, yang tentunya lebih memahami filosofi balapan Mercedes ketimbang Carlos Sainz Jr. Selain itu, Red Bull punya pilihan yang jauh lebih masuk akal andaikata negosiasi kontrak Sergio Perez menemui deadlock. Mereka masih memiliki Daniel Ricciardo yang siap dipromosikan kapan saja dari kursi third driver. Pengalamannya sebagai secondary seat di dunia balap jet darat ini tidak perlu diragukan lagi, sebab ia menjadi tandem Max Verstappen dari musim 2015 hingga musim 2018.
ADVERTISEMENT
Carlos Sainz Jr tentu tidak bisa berpangku tangan dengan dua skenario yang belum memberinya jaminan apapun untuk meneruskan kiprah balapnya. Hanya ada satu pilihan pasti baginya, yakni membuat musim terakhirnya di Scuderia Ferrari sebagai penebusan dosa dengan tampil solid sepanjang tahun. Bila ia mampu menarik perhatian kedua tim tersebut, maka dengan mudah ia dapat membubuhkan tanda tangan di kontrak manapun yang ia rasa pantas. Perjalanan mungkin terlihat berakhir, tetapi sejatinya ia mempunyai tujuan baru dengan rute yang jauh lebih mengejutkan.
Kita belum tahu jawaban pasti atas semua spekulasi ini. Jelasnya, Formula 1 musim 2025 akan menyajikan pertarungan seru antara pembalap gaek dengan para pendatang baru. Skema dimana Hamilton akan berusaha keras beradaptasi dengan mobil dan tim barunya, atau “kelahiran kembali” Carlos Sainz Jr sebagai bintang baru, bakal jadi tontonan yang sangat menarik di akhir pekan. Selain beradaptasi, baik Hamilton maupun Sainz Jr juga akan dituntut untuk membuktikan diri sebagai siapa yang mampu keluar dari kabut tebal yang menutupi takdir masing-masing. Selamat balapan!
ADVERTISEMENT