Konten dari Pengguna

Silent Treatment, Ketika 'Diam Adalah Emas' Membawa Kesengsaraan

Annastasya Zulfa
Mahasiswi Psikologi.
13 Desember 2022 17:31 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annastasya Zulfa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pinterest
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pinterest
ADVERTISEMENT
Seringkali kita mendengar pepatah ‘diam adalah emas’ digunakan untuk menanggapi suatu situasi di mana sebaiknya kita membungkam suara dibandingkan vokal terhadap apa yang dipikirkan. Pepatah tersebut pun akan bersifat positif jika diaplikasikan ke dalam kondisi yang tepat. Namun, sayangnya, dalam beberapa kondisi, seseorang memilih untuk menggunakan ungkapan tersebut sebagai bentuk dari sikap menghindari konflik dengan tujuan tidak ingin memperkeruh suasana. Akan tetapi, ada kalanya saat seseorang memilih untuk diam seribu bahasa daripada mengkomunikasikan pikirannya, situasi malah semakin runyam, dan terjadilah bom waktu di masa akan mendatang. Sehingga, muncullah pertanyaan; apakah lebih memilih untuk diam daripada berbicara saat sedang berkonflik dengan seseorang adalah hal yang tepat dilakukan?
ADVERTISEMENT

Kenali silent treatment lebih jauh

Konflik ialah sebuah hal lumrah yang acapkali dijumpa dalam sebuah hubungan, baik dalam hubungan keluarga, pertemanan, percintaan, maupun antarrekan kerja. Sejatinya, merupakan kemustahilan untuk tidak bertemu dengan konflik dalam keseharian. Dalam merespons sebuah konflik, secara garis besar, orang-orang terbagi ke dalam dua jenis kelompok; ada yang memilih untuk vokal mengenai apa yang dirasa, dan sebaliknya, ada yang memilih untuk bungkam.
Bagi sebagian orang yang asing dengan perasaan-perasaan negatif seperti kemarahan, kepedihan, dan kekesalan―terlebih saat perasaan itu muncul sebab seseorang yang memicunya―akan lebih memilih untuk diam karena bagi orang-orang tersebut, bersuara akan memperkeruh suasana. Namun, di sisi lain, sebagian orang lainnya menganggap bungkam berarti menunjukkan kemarahan secara tidak langsung. Maksudnya, mereka melakukannya dengan sengaja sebagai respons dari amarah yang dirasakan.
ADVERTISEMENT
Dilansir dalam jurnal ‘Relational Commitment and the Silent Treatment’ bentuk ekspresi kemarahan yang ditandai dengan adanya kesengajaan mengabaikan seseorang dapat disebut dengan silent treatment, lho. Jika dilihat dari gambaran umum, perilaku silent treatment ini dapat dikenali dalam berbagai macam bentuk. Akan tetapi, tanda-tanda yang paling sering terlihat yakni adanya pengurangan kontak mata dan tidak responsif terhadap orang lain. Selain itu, tidak adanya interaksi sama sekali dengan maksud untuk mengabaikan seseorang juga termasuk ke dalam silent treatment.

Silent treatment is abuse and relationship killer

Bukan hal yang berlebihan jika terdapat pernyataan bahwa silent treatment merupakan salah satu hal yang dapat menghancurkan sebuah hubungan. Sebab dengan adanya perilaku mendiamkan seseorang dengan maksud untuk menghindari konflik atau menujukkan kemarahan, berarti konflik yang sedang berada di hadapan akan tetap tertutup rapat dan tidak selesai. Secara sederhana, perasaan-perasaan dan konflik akan terbengkalai begitu saja. Mungkin pada mulanya perasaan dan konflik tersebut hanya sekadar hal-hal kecil yang dianggap sepele, namun secara berangsur-angsur mereka akan menumpuk. Jika divisualisasikan, dapat dibayangkan seperti selayaknya wadah yang sesak disii oleh cairan. Semakin lama wadah tersebut akan penuh oleh cairan dan menyebabkan cairan tersebut tumpah dan berceceran ke mana-mana. Hal tersebutlah yang akan terjadi pada konflik dan perasaan yang dibiarkan menumpuk. Suatu saat mereka akan meledak dan terdapat kemungkinan ledakan ini membuat hubungan menjadi hancur.
ADVERTISEMENT
Dampak dari silent treatment bukan hanya sekadar berputar di hubungannya saja, lho, melainkan ‘korban’-nya juga akan merasakan kesengsaraan yang begitu berat. Silent treatment dapat dikatakan sebagai bagian dari ostaricsm; suatu bentuk penolakan akan eksistensi seseorang dengan mengabaikan seseorang tersebut secara sengaja. Berkaca pada pendefinisian tersebut, menimbulkan tanda tanya besar tentang bagaimana sebuah silent treatment dapat memengaruhi seseorang sehingga merupakan bentuk abuse?
Dilansir dalam salah satu jurnal berjudul ‘Psychological Costs and Benefit of Using Silent Treatment’, ternyata silent treatment memiliki beberapa dampak samping yang berbahaya pada orang yang menjadi target. Bahkan, ditemukan bahwa rasa sakit yang dirasakan pada target akan mengaktifkan bagian otak yang biasanya merespons sakit fisik. Hal ini pun bukan hanya terjadi dalam jangka panjang, bahkan dalam jangka pendek korban pun akan tetap merasakan hal yang sama. Bukan hanya itu saja, silent treatment dapat dikatakan sebagai bentuk manipulasi, sehingga target yang merasakan akan bertanya-tanya dan menerka mengenai kesalahan yang baru saja dibuatnya. Selain itu, mereka juga akan mulai berpikir tentang dirinya sebagai pribadi yang buruk. Hal ini pun akan berpengaruh pada self-esteem mereka. Pada akhirnya, jika terus menerima silent treatment, lama-kelamaan mereka akan mengalami depresi, kesepian, hingga mengganggu kesehatan fisik.
ADVERTISEMENT

Lalu, bagaimana seharusnya menghadapi konflik?

Menghadapi kemarahan saat sedang berkonflik memang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Ada kalanya orang berpikir bahwa diam merupakan hal yang baik dilakukan agar situasi tidak memanas. Sebaliknya, ada yang berpikir bahwa mengungkapkan apa yang dirasa penting dilakukan agar emosi tidak bertumpuk dan menjadi bom waktu di kemudian hari. Sudah menjadi hal yang umum untuk diketahui bahwa cara merespons dan mengungkapkan kemarahan bagi tiap individu berbeda-beda. Akan tetapi, ada, lho, cara untuk mengkomunikasikan perasaan dan konflik dengan sehat.
1. Aktif mendengarkan
Aktif mendengarkan di sini melibatkan terlibat dalam percakapan. Maksudnya, kedua pihak saling mendengarkan mengenai apa yang berusaha disampaikan oleh masing-masing dari mereka secara saksama dan sepenuh hati. Selain itu, meminta klarifikasi juga diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara kedua belah pihak serta meminimalisir terjadinya salah penafsiran.
ADVERTISEMENT
2. Tidak membawa konflik ke dalam ranah personal
Ketika sedang berkomunikasi dalam hubungan, orang-orang cenderung akan fokus pada tindakan yang dilakukan pasangannya. Namun, sebaiknya hal ini dihindari sebab pasangan akan merasa ‘dihakimi’. Sehingga, hal yang seharusnya dilakukan ialah berusaha menaruh perhatian pada situasi dan bagaimana konflik dapat diselesaikan.
3. Using ‘I’ statement.
Cara ini dapat diaplikasikan ketika konflik yang dikomunikasikan bersifat personal. Alih-alih berfokus pada kesalahan yang dilakukan pasangan, disarankan berusaha untuk fokus pada apa yang dirasakan. Seperti, “Aku merasa kurang nyaman ketika …”
4. Memahami dan tunjukkanlah kebaikan.
Maksudnya, saat sedang berkomunikasi, cobalah untuk menunjukkan bahwa kita sepenuhnya peduli apa yang pasangan rasakan dan pikirkan. Jauhilah tindakan dan perkataan yang bersifat judgmental. Perlu menjadi catatan yang perlu selalu diingat bahwa penting bagi seseorang untuk merasa didengarkan dan dipahami ketika sedang mengutarakan apa yang dirasakan dan dipikirkan.
ADVERTISEMENT
5. Showing acceptance.
Kunci komunikasi yang sehat adalah kedua belah pihak mau dan mampu untuk menerima apa yang dirasakan oleh pasangan, meski terkadang hal tersebut tidak sejalan dengan dirinya. Cobalah untuk memvalidasi segala hal yang diucapkan pasangan, dan ingat bahwa semua orang memiliki hak untuk merasakan gejolak emosi, meskipun terkadang cara mereka vokal akan hal tersebut jauh berbeda dengan cara kita.
Akhir kata, perlu diingat bahwa silent treatment bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan. Selain karena hal tersebut menunjukkan ketidakdewasaan dalam menghadapi konflik, di samping itu juga, silent treatment akan membawa banyak sekali dampak negatif pada orang yang menjadi target. Sehingga, perlu untuk paham dan belajar bahwa segala emosi yang dirasakan tiap individu merupakan hal yang wajar dan normal. Jadi, cobalah untuk memvalidasi perasaan, membuka diri terhadap konflik, dan mengkomunikasikannya secara sehat. Everybody deserves to feel safe and secure around their loved ones.
ADVERTISEMENT

REFERENCES

Agarwal, M. S., & Prakash, N. (2022). Psychological Costs and Benefits of Using Silent Treatment. Quest Journals Journal of Research in Humanities and Social Science, 10(4), 49-54. Retrieved from www.questjournals.org
Meeks, B. S., Hendrick, S. S., & Hendrick, C. (1998). Communication, love and relationship satisfaction. Journal of Social and Personal Relationships, 15(6), 755–773. https://doi.org/10.1177/0265407598156003
Williams, K. D. (2007). Ostracism. Annual Review of Psychology, 58, 425–452. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.58.110405.085641
Williams, K. D., Shore, W. J., & Grahe, J. E. (1998). The Silent Treatment: Perceptions of Its Behaviors and Associated Feelings. Group Proceses & Intergroup Relations, 1(2), 117–141.
ADVERTISEMENT
Wright, C. N., & Roloff, M. E. (2009). Relational commitment and the silent treatment. Communication Research Reports, 26(1), 12–21. https://doi.org/10.1080/08824090802636967