Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Agus Buntung Si Penyandang Disabilitas & Penjahat Seksual: Sebuah Perspektif
10 Desember 2024 17:09 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang menyangka bahwa seseorang dengan keterbatasan fisik (penyandang disabilitas) ternyata mampu melakukan tindak kejahatan pelecehan dan kekerasan seksual. Ketika berita ini viral, tak urung malah ada pihak yang merasa kasihan dan bersimpati pada sang penyandang disabilitas yang notabene adalah penjahat seksual.
ADVERTISEMENT
Adalah Agus Buntung yang menjual keprihatinan dalam ceritanya sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan fisik dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Agus menggambarkan dirinya sebagai seorang dewasa yang tidak mampu berpakaian dan mandi sendiri sehingga masih harus ditolong oleh ibunya dan orang lain.
Penjelasan kondisi Agus yang dipadukan dengan tampang memelas mengguncang persepsi publik untuk membayangkan seseorang seperti Agus telah melakukan kejahatan seksual terhadap 15 orang perempuan. Juga sulit diterima jika dua orang dari korban kejahatan Agus adalah anak di bawah umur.
Status Agus sebagai penyandang stabilitas menguatkan simpati publik termasuk pejabat negara. Tak ayal bahkan Menteri Sosial Saifullah Yusuf merasa perlu untuk menjenguk dan mengingatkan kepolisian untuk memenuhi hak-hak dan kebutuhan si penjahat seksual.
ADVERTISEMENT
Sayang sekali, Pak Menteri lupa bersimpati kepada para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual Agus dan tidak memberikan pesan yang sama pada polisi untuk memenuhi hak-hak korban agar pulih dari rasa takut dan trauma.
Faktor Penyebab Kejahatan Seksual oleh Penyandang Disabilitas
Ada dua faktor terpenting yang melatarbelakangi terjadinya tindak kejahatan seksual dan menjadi alasan bagi para korban untuk takut bercerita dan melapor. Pertama, karena adanya relasi kuasa yang menempatkan posisi pelaku kejahatan seksual berada lebih tinggi dibandingkan korban. Kedua adanya emotional blackmail (pemerasan emosional) yang dilakukan oleh pelaku dengan memberikan rasa takut dan bersalah.
Dalam kasus Agus, relasi kuasa tetap terjadi meskipun Agus memiliki keterbatasan fisik. Modus kejahatan Agus selalu memilih korban perempuan yang memiliki kerentanan emosional dan mental seperti sedang merasakan sedih dan penderitaan, hingga anak-anak yang mungkin pada awalnya masih belum mengerti bahwa sikap Agus merupakan bentuk dari pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Kedok Agus yang memainkan peran dirinya sebagai penyandang disabilitas juga merupakan bentuk pemerasan emosional (emotional blackmailing) yang menempatkan korbannya dalam ketakutan dan perasaan bersalah untuk melaporkan pelecehan dan kekerasan yang mereka alami.
Sebab akan sulit dipercaya bahwa seseorang dengan keterbatasan fisik mampu melakukan kejahatan seksual. Belum lagi justru tampilan fisik Agus sangat mudah untuk mendulang simpati dan keprihatinan banyak orang. Para korban malah merasa takut tidak dipercayai sebab pengalaman pelecehan seksual yang dilakukan penyandang disabilitas tampak tidak masuk akal.
Siapapun Bisa Menjadi Pelaku Kejahatan Seksual
Harus menjadi sorotan, kejahatan seksual yang tertera dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak hanya terbatas pada kekerasan seksual fisik seperti pemerkosaan dan pemaksaan melakukan hubungan seksual, melainkan juga kekerasan seksual non-fisik yang kerap muncul dalam bentuk verbal seperti catcalling atau penyampaian rayuan cabul.
ADVERTISEMENT
Kejahatan seksual non-fisik ini dapat dilakukan oleh penjahat seksual siapapun, termasuk mereka yang menyandang disabilitas. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh Agus adalah pembuktian bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi penghalang bagi para penjahat seksual untuk melakukan pelecehan. Terbukti Agus malah melancarkan modusnya lewat penggunaan rayuan dan bentuk verbal yang mengarah pada pencabulan.
Sebagai penjahat seksual, keterbatasan yang diderita Agus dimanfaatkan untuk menarik simpati korban dengan menjerumuskan korban dalam ketidakberdayaan dan dipenuhi rasa bersalah terhadap kondisi fisik Agus yang tidak sempurna.
Agus memanfaatkan keterbatasan fisiknya dalam bentuk “minta tolong” untuk membuka celananya dengan alasan ingin pipis. Dia juga meminta tolong pada korbannya untuk menghubungi nomor ibunya, dengan demikian Agus bisa mendapatkan nomor selular sang korban dan menghubungi korban di lain waktu.
ADVERTISEMENT
Modus lain yang digunakan Agus adalah dengan rayuan yang menunjukkan kesan seolah-olah Agus adalah pendengar yang baik dan dapat menolong korban melewati kesedihannya dengan mantra ajaib tertentu. Tempat melancarkan modus pelecehan seksual dikonstruksi sedemikian rupa dengan dilakukan di taman yang memberikan kesan syahdu, serta kamar homestay yang intimate seolah-olah mengesankan Agus siap melakukan hal-hal yang menyenangkan hati korban.
Teknik manipulasi perasaan yang justru memanfaatkan keterbatasan fisik adalah bukti bahwa Agus tidak memiliki kecacatan mental dan pikiran seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Agus adalah mastermind kejahatan seksual yang mampu mengesankan dirinya sebagai orang yang tidak berbahaya sehingga dapat memperdaya korban dan melecehkan mereka.
Keberpihakan Negara Terhadap Kejahatan Seksual
ADVERTISEMENT
Sorotan lain mengenai kasus pelecehan Agus Buntung datang dari pejabat publik yang ditampilkan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf. Menteri yang akrab disapa Gus Ipul ini tampak sangat memperhatikan agar kebutuhan Agus Buntung sebagai penyandang disabilitas tetap diperhatikan sebagaimana mestinya.
Walaupun penyandang disabilitas tergolong salah satu kelompok rentan yang dilindungi oleh negara, bukan berarti penyandang disabilitas kebal hukum. Bahkan sebagai subjek hukum yang berkedudukan sama dengan warga negara lainnya, penyandang disabilitas juga bisa dihukum sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukannya dengan mempertimbangkan aspek keterbatasan yang mereka miliki.
Sebagai seorang pejabat publik, selayaknya keberpihakan negara dalam kasus ini tidak ditujukan kepada Agus Buntung yang jelas-jelas merupakan penjahat seksual meskipun merupakan penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, seharusnya Menteri Sosial menujukkan empati yang lebih mendalam kepada para perempuan korban kejahatan seksual Agus. Sebab dalam keterbatasannya, Agus terbukti mampu merendahkan harkat dan martabat 15 orang perempuan. Bayangkan jika Agus bukan penyandang disabilitas, jumlah korban pelecehan Agus bisa jadi lebih banyak dari itu!
Keberpihakan negara terhadap kejahatan seksual yang dialami para perempuan korban memang dari dulu tak pernah serius. Negara telah lama mengabaikan kejahatan seksual lewat pembahasan UU TPKS yang bertele-tele sehingga memakan waktu selama enam tahun sebelum pengesahan. Consent yang merupakan alasan untuk melakukan hubungan seksual malah diterjemahkan oleh banyak politisi di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk penyelenggaraan seks bebas.
Bahkan setelah menjadi korban yang dipenuhi rasa trauma dan ketakutan, negara tampak belum menunjukkan dukungan dan simpati. Seringkali penanganan kasus kejahatan seksual bertele-tele, apalagi jika berkaitan dengan keluarga pejabat publik. Baru setelah viral dan mendapat tekanan dari warganet, kasus kejahatan seksual ditangani dengan serius dan cepat.
ADVERTISEMENT
Stigma terhadap perempuan sebagai pihak yang mengundang terjadinya tindak kejahatan seksual juga masih sangat kuat. Perempuan masih kerap dipandang sebagai objek yang desirable (diinginkan) karena tampilan fisiknya, sehingga masih sering dipersalahkan sebagai penyebab pelecehan seksual.
Dalam hal kasus pelecehan Agus Buntung yang melibatkan dua kelompok rentan (perempuan dan anak serta penyandang disabilitas), selayaknya negara tetap memberikan simpati kepada korban dan bukan pada pelaku kejahatan.
Themis sang Dewi Keadilan membawa pedang dan timbangan dengan mata yang tertutup. Artinya hukum dan keadilan tidak berpihak pada siapapun berdasarkan status sosial dan kondisi fisik. Penjahat tetaplah penjahat. Si pendosa tetaplah harus dihukum sesuai dengan porsi kejahatan yang dilakukannya.
Keadilan seharusnya memberikan kepastian dan keamanan bagi para korban. Bukan sekedar terpenuhinya persyaratan durasi hukuman yang tercantum dalam pasal-pasal kitab hukum pidana. Orientasi keadilan haruslah pada korban, dan bukan pada pelaku meskipun pelaku adalah kelompok rentan!
ADVERTISEMENT