Kesediaan Indonesia untuk Dipimpin Presiden Perempuan Lagi

Anneila Firza Kadriyanti
Pemerhati perilaku digital. Co-founder Obserf.co. Pegiat literasi media digital Mari Melek Media. Feminis.
Konten dari Pengguna
28 September 2022 8:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemungutan suara tentang Indonesia untuk punya presiden perempuan lagi. Foto oleh Anneila Firza Kadriyanti, diedit di Canva.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemungutan suara tentang Indonesia untuk punya presiden perempuan lagi. Foto oleh Anneila Firza Kadriyanti, diedit di Canva.com.
ADVERTISEMENT
Lobi-lobi politik tengah gencar dilakukan mendekati tahun 2023 yang akan menjadi tahun politik. Sejumlah petinggi partai dan politisi sudah melakukan safari politik bertemu dengan pimpinan partai hingga mengunjungi rakyat kecil untuk menyerap aspirasi warga.
ADVERTISEMENT
Koalisi partai yang seirama dan sehaluan mulai saling bergabung meski ada kemungkinan pecah kongsi, tergantung arah diskusi dan keuntungan pragmatis yang akan saling didapat ketika koalisi memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Tak ketinggalan sejumlah lembaga survei pun mulai rutin merilis daftar calon presiden (capres) terpopuler saat ini, semakin mempengaruhi keputusan partai untuk menetapkan siapa figur yang hendak diusung partai mereka agar kelak bisa menjadi partai pemenang pemilu.
Meski belum final, beberapa partai politik terlihat mengikuti arus opini publik dengan ikut menggadang nama capres populer versi hasil survei sebagai calon yang akan diusung partai untuk pemilihan presiden mendatang. Sebagian partai masih ada yang kekeuh untuk mengusung ketua umum mereka sendiri sebagai capres.
ADVERTISEMENT
Dari banyaknya survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga, hanya tiga nama yang kerap muncul sebagai capres populer dengan elektabilitas tertinggi walaupun urutannya kerap berubah seiring waktu. Sayangnya ketiga sosok tersebut semuanya adalah laki-laki. Tak ada kandidat perempuan yang memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas dalam urutan tiga besar, bahkan masuk lima besar.
Jika diurutkan semakin ke bawah tingkatan popularitas dan elektabilitasnya, barulah ditemukan ada beberapa tokoh perempuan yang dianggap cocok menjadi capres. Namun persentase popularitas dan elektabilitas para capres perempuan tersebut masih di bawah angka 3%.
Lantas, mengapa popularitas kandidat presiden perempuan kalah populer dibanding laki-laki? Adakah ketidaksetaraan berpolitik antara laki-laki dan perempuan serta bias gender yang menyebabkan elektabilitas capres perempuan bahkan tak mencapai angka 5%?
ADVERTISEMENT
Susahnya Menjadi Perempuan Presiden
Warga negara manapun semua berpendapat, urusan menjadi presiden bukan sekedar urusan pencitraan, siapa yang lebih populer, atau dari trah politik mana sang kandidat berasal. Lebih dari itu, seorang calon presiden haruslah memiliki kualitas presidensial: tegas dalam memimpin, anti-korupsi, berpihak pada kesejahteraan rakyat, dan memiliki wibawa sebagai pemimpin yang disegani.
Tentu saja capres tersebut adalah seorang politisi yang bisa diterima oleh haluan politik manapun, sebab amanat undang-undang mewajibkan capres hanya bisa diusung oleh partai politik, maka presiden harus pula seorang politisi yang piawai.
Kualitas-kualitas presidensial ini merupakan perpaduan antara kualitas feminim dan maskulin yang dapat dimiliki oleh kandidat gender apapun. Oleh karenanya, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang setara untuk menjadi calon presiden.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ada beberapa faktor yang bisa ditengarai sebagai penyebab kurangnya popularitas dan elektabilitas kandidat presiden perempuan dibandingkan dengan kandidat laki-laki:
Yang pertama, kurangnya figur yang bisa menjadi pilihan bagi para pemilih. Hal itu sebenarnya tidak terbatas pada kandidat perempuan semata, tetapi juga laki-laki. Sejak pemilu langsung diselenggarakan di tahun 2004, nama-nama yang muncul sebagai capres dan wakilnya tidak banyak mengalami perubahan. Padahal di negeri ini tak kekurangan orang-orang hebat yang pantas menjadi capres dan wakilnya, baik laki-laki dan perempuan.
Penyebab kurangnya figur kandidat ini adalah karena partai politik di Indonesia tidak melakukan penyegaran dengan memunculkan calon-calon lain di luar nama yang “lo lagi-lo lagi”. Partai sudah terlanjur nyaman dengan deretan angka survei nama-nama kandidat yang populer, sehingga menutup kemungkinan untuk mengusung nama lain karena takut menjadi partai yang kalah bersaing.
ADVERTISEMENT
Partai tak mau mengambil resiko dengan mengusung figur di luar hasil survei, sebab partai peserta pemilu memiliki ketetapan parliamentary threshold sebagai izin untuk berada di parlemen. Maka partai mengikuti arus opini publik mengenai capres populer agar bisa menjadi bagian dari pemenang pemilu.
Akibat dari pragmatisme tidak akan memunculkan peluang bagi kandidat hebat lainnya, terutama perempuan, untuk mendapatkan dukungan dari partai politik supaya bisa maju sebagai calon presiden. Terlebih apabila kandidat tersebut selama ini terkesan jauh dari hingar-bingar urusan politik. Ini pula yang mengantarkan kita pada faktor berikutnya.
Kedua, media tidak banyak menyorot dan memberikan porsi tampilan kepada figur perempuan politisi sebanyak media memberikan porsi tampilan berlimpah kepada politisi laki-laki. Sebagai salah satu platform penyebaran informasi dan berita, media tak terelakkan adalah salah satu yang memiliki pengaruh kuat untuk mengubah preferensi politik, bahkan membentuk opini publik.
ADVERTISEMENT
Andaikan media lebih banyak menyorot kinerja perempuan yang berpotensi sebagai capres ketimbang laki-laki, tak ayal tingkat kesukaan publik terhadap kandidat perempuan bisa mencapai 20%. Sebab dalam survei yang sempat dirilis oleh KedaiKOPI pada 3 September 2022 silam, tingkat penerimaan publik terhadap capres perempuan mencapai 55%. Artinya perempuan dengan track record mumpuni dan memiliki kualitas presidensial bisa berpotensi memenangi pemilu dan menjadi Presiden Republik Indonesia.
Namun kenyataannya, banyak dari figur-figur perempuan potensial ini tidak mendapatkan ruang pemberitaan media yang proporsional dibanding dengan laki-laki. Dengan demikian, banyak dari masyarakat bahkan tidak terlalu mengetahui kehebatan-kehebatan para perempuan tersebut. Lagi-lagi, hanya nama yang sudah kadung populer yang akan direkrut partai politik, dan kebanyakan mereka adalah laki-laki.
ADVERTISEMENT
Faktor terakhir yang menyebabkan kalah populernya capres perempuan adalah masih adanya anggapan konservatif tentang kelayakan dan kecakapan perempuan dalam memimpin. Anggapan ini kerap dipengaruhi oleh sentimen keagamaan yang kerap menggunakan dalil tentang haramnya pemimpin perempuan, serta pelekatan prasangka gender sebagai turunan dari tradisi patriarki yang tetap ingin mempertahankan dominasi laki-laki dalam ruang publik, terutama sektor politik yang selama ini diidentifikasi sebagai urusan lelaki.
Nilai-nilai konservatif akibat tradisi patriarki dan salah kaprah dalam menafsirkan ajaran agama ini menjadi salah satu penyebab kemunduran dan tantangan terbesar bagi perempuan yang ingin menjadi pemimpin politik, entah itu menjadi kepala daerah hingga presiden sekalipun.
Apalagi ketika nilai-nilai konservatif ini digaungkan di ruang digital yang akan diterjemahkan algoritma aritifical intelligence sebagai jenis percakapan yang meningkatkan engagement dan ketertarikan para pengguna. Potensi penyebaran nilai-nilai konservatif ini begitu masif dan turut mengundang buzzer dan hater dalam meramaikan percakapan yang berujung pada hoax dan disinformasi gender.
ADVERTISEMENT
Presiden Perempuan di 2024?
Dengan asumsi keadaan politik tetap begini-begini saja, tanpa ada kejutan maupun gebrakan dari partai politik ataupun pola pemberitaan media serta obrolan di jagat virtual, kiranya dapat diprediksikan bahwa Indonesia tidak akan memiliki presiden perempuan di tahun 2024. Bahkan dalam pencalonan, tampaknya hanya akan ada satu pasangan yang memiliki kandidat perempuan, itu pun sebagai calon wakil presiden. Tampaknya Pemilu 2024 masih hanya menjadi ajang kompetisi testosterone.
Indonesia belum siap memiliki kandidat presiden perempuan dan memiliki presiden perempuan apabila ekosistem politik, pemberitaan media, dan literasi warga tidak mumpuni dalam mengaplikasikan kesetaraan gender. Semua sistem layaknya harus matang dalam mendukung gender equality dan menghapus prasangka gender, agar kelak perempuan dapat tampil besar di panggung politik.
ADVERTISEMENT
Sebab suatu negara membutuhkan banyak pemimpin perempuan yang terlibat dalam politik agar bisa menghasilkan kebijakan yang pro-perempuan, dan mengakomodasi kepentingan perempuan.