Menyoal Kampanye Politik di Sekolah dan Kampus

Anneila Firza Kadriyanti
Pemerhati perilaku digital. Co-founder Obserf.co. Pegiat literasi media digital Mari Melek Media. Feminis.
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2023 14:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perwakilan partai politik peserta Pemilu berparade dengan membawa bendera partainya dalam defile Deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019 di Denpasar, Bali, Minggu (24/3/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
zoom-in-whitePerbesar
Perwakilan partai politik peserta Pemilu berparade dengan membawa bendera partainya dalam defile Deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019 di Denpasar, Bali, Minggu (24/3/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Publik dan para pemerhati politik dihebohkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan kampanye politik di institusi pendidikan. Berkampanye di institusi pendidikan seperti sekolah lanjutan dan universitas disinyalir rawan transaksi politik, seperti bagi-bagi jatah kursi dewan komisaris ke sejumlah petinggi kampus.
ADVERTISEMENT
Ah… Tak peduli di mana pun tempatnya, praktik politik yang terjadi di negeri ini memang transaksional. Demokrasi Indonesia sudah lama menjadi komoditas dalam bentuk jual-beli suara menjelang pemilu (Aspinall & Berenschot, 2019).
Mau jabatannya rektor universitas, pegiat anti-korupsi, dan petugas partai sekalipun tetap saja akan mendapatkan jatah jika ikut ambil bagian menyukseskan kemenangan si politisi. Jika tidak mendukung secara terang-terangan di hadapan publik karena persoalan etika, dukungan masih bisa disokong lewat jalan belakang.
Jadi mengapa tidak sekalian saja langsung diekspos di hadapan para kaum terpelajar?

Sejak Dulu Pelajar Sudah Berpolitik

Mereka yang menyatakan bahwa institusi pendidikan harus netral dari kepentingan politik, kemungkinan merupakan golongan dari dua kaum berikut ini:
Pertama, kaum yang tidak mengenal dan memiliki pengetahuan tentang sejarah pergerakan politik kaum terpelajar Indonesia. Pergerakan politik awal dalam menumbuhkan nasionalisme dan hasrat kemerdekaan dimulai dari para kaum terpelajar yang merupakan siswa sekolah lanjutan maupun yang menempuh pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Apakah Anda familiar dengan Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia, Jong Islamieten Bond, Jong Java, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia? Dan masih banyak lagi organisasi kepemudaan dan pelajar yang didirikan pada masa kolonialisme.
Semua itu merupakan organisasi yang dirintis oleh para pelajar/kaum terpelajar. Pada mulanya fokus organisasi adalah untuk membantu memberikan akses pendidikan kepada rakyat kecil. Lama-kelamaan tujuan pergerakan beralih untuk melawan penjajahan dan menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka. Sungguh tujuan akhir para pelajar yang sangat politis, bukan?
Tanpa adanya rintisan gerakan politis dari para pemuda dan pelajar ini, Indonesia tidak akan pernah mengalami Sumpah Pemuda yang menjadi salah satu momen perekat beragam suku bangsa di negeri ini untuk setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di era Orde Lama pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno, gerakan politik mahasiswa tumbuh subur dengan kemunculan organisasi seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia, serta Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia.
Pada masa ini pula Presiden Sukarno menyerukan Manipol (Manifestasi Politik) yang mengharuskan pengajaran politik yang manipolis kepada guru-guru sekolah dan pelajar. Dengan demikian sistem pendidikan ditujukan untuk melahirkan profesional dan generasi yang patriotik, ahli, demokratis, dan bercita-cita sosialis (Waluyo, 1964; Umasih, 2014).
Kepemimpinan Orde Baru yang dimulai sejak 1966 lambat laun mengikis sikap kritis dan politis para pelajar, terutama mahasiswa. Di bawah kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, diciptakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang tujuannya untuk membungkam aktivitas politik mahasiswa dengan dalih menjadikan sektor pendidikan sebagai “arena netral” dari kepentingan politik (Wibisana et al, 2022).
ADVERTISEMENT
Penjelasan terakhir merupakan golongan kaum kedua yang merupakan kaum nostalgic yang belum bisa move on dari tradisi Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, dan ingin mempertahankan tradisi usang tersebut sebagai status quo.

Pentingnya Pelajar Berpolitik

Tidak ada lini kehidupan manusia hari ini yang tidak bisa dipolitisasi. Bahkan menggunakan baju dengan motif pelangi pun bisa dianggap sebagai sebuah statement dalam mendukung suatu grup tertentu.
Oleh karenanya penting untuk mendapatkan sosialisasi pendidikan politik di usia yang masih muda. Tidak ada tempat paling tempat untuk belajar tentang politik seperti di sekolah atau kampus. Sebab di tengah-tengah institusi pendidikan, segala materi politik dapat diperdebatkan dan dikritik secara ilmiah dengan menjunjung prinsip-prinsip tertinggi akademik.
Ketika para pelajar mengerti tentang politik, mereka lebih peka terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah serta calon pemimpin mereka. Aktivis lingkungan Greta Thunberg serta para aktivis Students Demand Action yang mengorganisir penolakan penggunaan senjata api di Amerika Serikat adalah para pelajar yang terpapar dan bersentuhan dengan politik sehingga bisa menentang dan mengkritik kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya keputusan MK yang mengizinkan politisi berkampanye di lembaga pendidikan tidak sepenuhnya salah. Toh para politisi itu tidak diizinkan menggunakan atribut partai. Sosialisasi politisi ke lembaga pendidikan justru memberikan peluang kedekatan sang politisi dengan konstituennya, sekaligus menyerap aspirasi para pemuda terpelajar yang lebih kritis.
Melarang adanya sosialisasi politik di kalangan pelajar dan mahasiswa tak lebih sebagai ikhtiar penguasa untuk membungkam kaum terpelajar agar semakin apatis dengan politik. Dengan demikian generasi muda hanya dimanfaatkan sebagai kalangan untuk menambahkan pundi-pundi suara saat pencoblosan pemilu, namun minim pengetahuan dan sosialisasi politik tentang kebijakan yang diusung oleh sang politisi.

Kaum Terpelajar Adalah Reformis Politik Sejati

Sejarah Indonesia terbentuk atas tekad kuat para pemuda terpelajar. Indonesia tidak akan merayakan kemerdekaannya di tanggal 17 Agustus 1945 jika bukan atas desakan pemuda yang berani menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Mahasiswa tahun 1966 dan 1998 berhasil menumbangkan pemerintahan diktator yang berencana menjadi presiden seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi pemuda dengan penggunaan media sosial mampu mereformasi pemerintahan secara lebih dramatis lagi. Arab Spring di kawasan Timur Tengah pada tahun 2011, The Umbrella Revolution di Hong Kong pada tahun 2015 adalah reformasi bombastis yang mampu mengubah wajah pemerintahan di suatu negara akibat inisiasi gerakan pemuda lewat jaringan daring.
Potensi pemuda untuk mereformasi kondisi suatu negara begitu besar. Apalagi para kaum terpelajar memiliki pengetahuan, melek informasi, serta memiliki idealisme yang tinggi. Tak heran jika banyak pihak yang ingin mempertahankan status quo akan menolak untuk mendekati pelajar sebab khawatir para pelajar akan kritis mempertanyakan serta berupaya untuk meruntuhkan tatanan yang sudah mapan.

Tata Cara Berkampanye di Ruang Pendidikan

Yang harus menjadi perhatian saat ini adalah menyiapkan regulasi akademik untuk pelaksanaan kampanye politik di lingkungan pendidikan. Jangan sampai kampanye tersebut memberatkan institusi pendidikan yang dituju lewat keharusan sekolah/kampus menanggung biaya kampanye.
ADVERTISEMENT
Aktivitas kampanye harus menjunjung tinggi kebebasan akademik dan bertujuan untuk memberikan edukasi politik. Maka politisi yang berkampanye dilarang keras menyampaikan konten-konten kampanye yang memojokkan seperti menonjolkan politik identitas, menyampaikan materi kampanye yang rasis dan seksis.
Hal terpenting dalam pelaksanaan kampanye di institusi pendidikan adalah dengan memberikan kebebasan akademik bagi para pelajar/mahasiswa untuk mengkritik kebijakan yang disampaikan dalam materi kampanye. Tidak boleh ada sensor dan upaya pembungkaman bicara bagi pelajar dan mahasiswa yang berseberangan pemikiran dengan sang politisi.
Bila regulasi kampanye di institusi pendidikan telah dibuat dengan menjunjung tinggi kebebasan akademik dan tidak memberatkan institusi pendidikan tersebut, tak ada alasan lagi untuk melarang kampanye di lembaga pendidikan.