Konten dari Pengguna

Ratu Elizabeth II dan Gaya Kepemimpinan Feminin

Anneila Firza Kadriyanti
Pengamat politik gender. Pegiat literasi media digital Mari Melek Media.
11 September 2022 16:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kepemimpinan feminin dan perempuan. Sumber: Anneila Firza Kadriyanti di Canva.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kepemimpinan feminin dan perempuan. Sumber: Anneila Firza Kadriyanti di Canva.com.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari jenis kelamin sebagai perempuan atau laki-laki yang telah menjadi ketetapan alami sejak manusia dilahirkan, pada dasarnya setiap orang memiliki kualitas sifat maskulin dan feminin dalam dirinya. Sifat maskulin didefinisikan dalam bentuk agresivitas, kepercayaan diri, rasionalitas, dan kompetitif. Sedangkan kualitas feminin diasosiasikan dalam bentuk yang lebih emosional seperti empati, penyayang/pengayom, toleran, rendah hati, dan lembut (Leigh Buchanan, Between Venus and Mars: 7 Traits of True Leaders, Inc. Magazine).
ADVERTISEMENT
Hampir di segala bidang kempemimpinan saat ini masih didominasi oleh laki-laki. Pada akhirnya ini mengharuskan setiap orang yang mengincar posisi pemimpin, baik laki-laki dan perempuan, untuk memiliki kualitas maskulin yang selama ini identik sebagai sifat laki-laki. Walau kini perempuan telah mulai mantap menapaki posisi kepemimpinan di beragam hal, memiliki lebih banyak kualitas maskulin tampaknya mutlak pula bagi perempuan untuk menapaki puncak kepemimpinan (Chamorro-Premuzic & Gallop, 7 Leadership Lessons Men Can Learn from Women, Harvard Business Review: 1 April 2020).
Keharusan perempuan memiliki kualitas maskulin dalam dirinya sejalan dengan anggapan bahwa perempuan harus menggunakan ‘bahasa lelaki’ agar bisa didengar dan tidak teralienasi dari tampuk kepemimpinan (Cheris Kramarae, Women and Men Speaking, 1981). Itu sebabnya kebanyakan style para pemimpin perempuan yang sering kita lihat mengadopsi ‘bahasa lelaki’: menggunakan setelan blazer dipadu celana panjang, potongan rambut pendek, mimik wajah serius, dan intonasi suara yang tegas.
ADVERTISEMENT
Ratu Elizabeth II dan Kepemimpinan Feminin
Di antara banyaknya figur pemimpin perempuan, mendiang Ratu Elizabeth II adalah figur politik terkenal yang menggunakan ‘bahasa perempuan’ feminin selama 70 tahun pemerintahannya sebagai Ratu Britania dan 52 negara commonwealth.
Salah satu bentuk penggunaan ‘bahasa perempuan’ dari sang ratu adalah personifikasi dirinya yang bukan hanya memegang posisi sebagai seorang kepala negara, melainkan juga pelekatan atribut sebagai seorang ibu (mother), nenek (grandmother), dan uyut (great-grandmother). Setelah Elizabeth II menjadi ratu, dia pula yang mengubah sebutan untuk anggota kerajaan dari “the monarch” yang lekat dengan gambaran sebagai penguasa, menjadi sebutan “the royal family” yang terasa lebih personal dan dekat dengan kalangan masyarakat.
Mungkin tampak mudah dan terasa wajar bagi seorang Elizabeth untuk menggunakan bahasa feminin. Takdir yang tak diduga tiba-tiba menggariskan hidupnya sebagai pewaris tahta Kerajaan Inggris yang memimpin 2,5 miliar orang di seluruh dunia. Tak peduli bagaimanapun sikap, penggunaan bahasa politik, dan pilihan outfit-nya, tidak akan ada persaingan dengan kandidat politisi laki-laki agar dia dapat menduduki pucuk kepemimpinan pemerintahan. She’s already the sovereign by right!
ADVERTISEMENT
Namun kepemimpinan Elizabeth sebagai ratu telah mengubah cara pandang dunia dalam melihat kedudukan perempuan terhadap laki-laki di segala bidang. Melansir dari The New York Times (Queen Elizabeth, and the Power and Limitations of Inspiring Women), Elizabeth menjelma menjadi simbol atas superioritas perempuan terhadap laki-laki. Dalam memandang hubungan pernikahan pun, banyak perempuan yang menjadikan Elizabeth sebagai kiblat bagi perempuan untuk memiliki otoritas seperti laki-laki.
Hal “radikal” lain yang dilakukan Elizabeth di antara 70 tahun masa pemerintahannya, dia telah mengubah peraturan kerajaan yang memungkinkan anggota keluarga kerajaan perempuan kelak menjadi ratu apabila terlahir lebih dulu dari garis pewaris tahta.
Elizabeth II memang tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai seorang feminis ataupun terlihat memberi dukungan pada isu dan gerakan feminis lainnya. Di satu sisi mungkin itu menjadi salah satu tugas dan kewajiban sebagai anggota keluarga kerajaan yang harus bersikap netral terhadap pandangan maupun aktivitas politik apapun.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, Elizabeth menjelma sebagai salah satu figur feminis ikonik yang berani mendobrak anggapan patriarki tentang kepemimpinan perempuan. Sembari menjalankan kewajiban dan tugas sebagai seorang kepala negara, Elizabeth tetap tak sungkan mempertahankan serta menunjukkan peran ‘tradisional’ perempuan sebagai istri dan ibu. Fashion yang dikenakan sang ratu tidak bergaya androgini. Tak jarang sang ratu kedapatan oleh jepretan fotografer ketika sedang memulas bibir dengan lipstick ketika riasannya sudah mulai pudar.
Kepemimpinan Elizabeth II menujukkan pada dunia bahwa kualitas feminin dapat memberikan kestabilan dan sekuritas terhadap kepentingan nasional sebuah negara dalam jangka waktu yang sangat panjang: 70 tahun! Selama masa itu pula, kepemimpinan feminin yang dibahasakan oleh sang ratu telah mampu membawa Britania Raya melewati masa-masa penuh gejolak, seperti pada masa saat keluarnya Inggris dari Uni Eropa, hingga ketidakpastian melawan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Kualitas Feminin Mutlak Diperlukan Dalam Kepemimpinan
Legasi terbesar yang telah diberikan Ratu Elizabeth II terhadap pandangan tentang kepemimpinan perempuan adalah bahwa kualitas feminin mutlak diperlukan dan dimiliki oleh setiap pemimpin di segala bidang, terlepas dari apapun jenis kelaminnya sebagai perempuan atau laki-laki.
Carol Gilligan dalam bukunya In A Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development mengungkapkan, penggunaan bahasa feminin dalam memimpin organisasi berdampak lebih baik pada hasil akhir saat pengambilan keputusan. Bahasa feminin tidak hanya memikirkan aturan, keadilan, dan hierarki. Bahasa feminin berorientasi pada manusia sebagai pihak yang menjalankan dan terkena imbas dari segala keputusan yang dibuat.
Apalagi di tengah masa kritis dan ketidakpastian, kepemimpinan feminin lagi-lagi terbukti telah berimplikasi lebih baik kepada semua orang dalam membawa organisasi dan bahkan negara ke dalam kondisi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi Covid-19, negara dengan kepala pemerintahan perempuan lebih baik menangani kondisi di negaranya ketimbang negara yang dipimpin oleh laki-laki. Sebab perempuan memiliki empati untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain sehingga menyebabkan mereka berani mengambil resiko lebih besar dan membuka diri untuk segala peluang yang mampu membuat kondisi menjadi lebih baik (Aldrich & Lotito, Pandemic Performance: Women Leaders in the Covid-19 Crisis, December 2020).
Telah banyak penelitian psikologi dan ilmu sosial lainnya yang menunjukkan kemajuan dan kebesaran suatu organisasi bahkan pemerintahan di suatu negara ketika dipimpin oleh seorang perempuan atau pemimpin yang menggunakan bahasa dengan kualitas feminin.
Maka sudah sepatutnya kualitas feminin dan kepemimpinan perempuan tidak lagi diremehkan. Bahkan selayaknya dirayakan dengan semakin banyaknya pemimpin yang mengadopsi nilai-nilai feminin dalam menjalankan kepemimpinannya. Dan Ratu Elizabeth II adalah salah satu pemimpin feminin yang terbukti berhasil.
ADVERTISEMENT