news-card-video
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Jepang dan BRI: Persaingan atau Kerja Sama dalam Diplomasi Ekonomi?

Annisa Agustina
Saya adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya
8 Maret 2025 12:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Agustina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/kanenori-4749850/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=7438429">Kanenori</a> dari <a href="https://pixabay.com/id//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=7438429">Pixabay</a>
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/kanenori-4749850/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=7438429">Kanenori</a> dari <a href="https://pixabay.com/id//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=7438429">Pixabay</a>
ADVERTISEMENT
Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan oleh China telah berkembang menjadi rencana yang ambisius untuk memperluas pengaruh ekonominya serta kekuatan geopolitik di seluruh dunia. Melalui investasi besar di bidang infrastruktur, China berupaya menciptakan jaringan perdagangan yang menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa. Jepang, sebagai kekuatan ekonomi utama di Asia, melihat keputusan ini sebagai ancaman terhadap dominasinya di wilayah tersebut. Untuk mengatasinya, Jepang menginisiasi Partnership for Quality Infrastructure (PQI), yang memberikan alternatif dengan fokus pada keberlanjutan, transparansi, dan standar tinggi dalam proyek-proyek infrastruktur. Pertanyaan yang muncul dari persaingan ini adalah: apakah hubungan Jepang dan China dalam diplomasi ekonomi dipenuhi dengan persaingan, atau adakah ruang untuk kolaborasi yang lebih strategis?
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang teori realisme, pertarungan Jepang dan China dalam diplomasi ekonomi mencerminkan kepentingan nasional yang ditandai oleh kekuatan dan pengaruh strategis. China memanfaatkan BRI sebagai sarana untuk memperluas dominasi ekonominya, sedangkan Jepang berusaha mempertahankan posisinya dengan menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan. Pertarungan ini paling terlihat di Asia Tenggara dan Afrika, di mana kedua negara bersaing dalam proyek-proyek penting, seperti pembangunan jalur kereta cepat dan pelabuhan. Sebagai contoh, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung menunjukkan bagaimana China berhasil mengungguli Jepang dengan skema pembiayaan yang lebih cepat dan fleksibel. Walau demikian, proyek ini juga mendapat kritik terkait masalah biaya dan keberlanjutan finansial yang mengindikasikan bahwa model investasi China tidak selalu menguntungkan bagi negara-negara yang menerima.
ADVERTISEMENT
Salah satu kritik utama terhadap BRI adalah jebakan utang (debt trap diplomacy), di mana negara-negara berkembang kesulitan dalam membayar utang yang mereka miliki kepada China, sehingga berisiko kehilangan aset-aset strategis. Contoh nyata adalah Sri Lanka yang terpaksa menyerahkan Pelabuhan Hambantota kepada China akibat tidak mampu membayar utangnya. Jepang memanfaatkan kelemahan ini sebagai kesempatan untuk menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan melalui PQI. Dengan menekankan tata kelola yang lebih baik dan skema pembiayaan yang bertanggung jawab, Jepang berusaha membangun reputasi sebagai mitra yang lebih terpercaya dibandingkan China. Strategi ini sejalan dengan prinsip interdependensi kompleks, yang menunjukkan bahwa hubungan ekonomi global tidak hanya ditentukan oleh kekuatan, tetapi juga oleh aspek kepercayaan dan transparansi.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan bagi Jepang terletak pada kemampuannya untuk bersaing dengan fleksibilitas yang ditawarkan oleh skema BRI. Negara-negara berkembang yang memerlukan investasi cepat seringkali memilih untuk mendanai proyek-proyek dari China karena prosesnya yang lebih mudah dibandingkan dengan skema Jepang yang cenderung lebih ketat dalam hal regulasi. Walaupun Jepang menawarkan proyek berkualitas tinggi, negara-negara penerima sering kali lebih mengutamakan ketersediaan dana alih-alih keberlanjutan jangka panjang. Dalam konteks tersebut, Jepang perlu menyesuaikan strateginya dengan tidak hanya fokus pada kualitas, tetapi juga memperbaiki aksesibilitas pendanaan agar bisa lebih bersaing di tengah dominasi BRI.
Di saat persaingan ini berlangsung, peluang untuk kolaborasi antara Jepang dan China tetap ada. Beberapa proyek di Asia Tenggara dan Afrika telah menunjukkan bahwa kedua negara dapat bekerja sama dalam hal pendanaan serta pengembangan infrastruktur. Konsep kompleksitas ekonomi menegaskan bahwa dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, rivalitas tidak selalu berarti perang total. Jepang dan China dapat menjajaki kemungkinan kolaborasi di bidang teknologi, regulasi lingkungan, atau peningkatan transparansi dalam proyek-proyek infrastruktur. Jepang memiliki pengalaman dalam menciptakan proyek-proyek berkualitas tinggi dengan standar keberlanjutan, sedangkan China memiliki kapasitas investasi yang besar serta kemampuan untuk mengeksekusi dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang negara-negara penerima investasi, baik BRI maupun PQI masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan. Negara-negara yang sedang berkembang harus lebih hati-hati dalam menentukan mitra untuk proyek pembangunan infrastruktur mereka. BRI memberikan dana besar dengan proses yang cepat, tetapi berisiko menyebabkan ketergantungan terhadap utang. Di sisi lain, Jepang menawarkan pendekatan yang lebih hati-hati serta berkelanjutan, namun dengan persyaratan yang lebih ketat. Dalam konteks ekonomi politik internasional, negara-negara berkembang sebaiknya tidak hanya bergantung pada satu sumber, melainkan juga mencari keseimbangan dengan memanfaatkan kompetisi antara Jepang dan China untuk memaksimalkan keuntungan.
Akhirnya, hubungan Jepang dan China dalam diplomasi ekonomi akan terus menghadapi dinamika antara kompetisi dan kolaborasi. Jepang memiliki peluang besar untuk meningkatkan pengaruhnya jika bisa menyesuaikan strategi tanpa mengorbankan prinsip mengenai kualitas dan keberlanjutan. Di sisi lain, China juga perlu meningkatkan transparansi dan pengelolaan dalam proyek-proyek BRI untuk mengurangi kekhawatiran global seputar jebakan utang. Masa depan hubungan kedua negara dalam diplomasi ekonomi sangat bergantung pada kemampuan mereka menyeimbangkan kepentingan nasional dengan tuntutan global yang semakin kompleks. Jika rivalitas ini dapat dikelola dengan baik, bukan hal yang mustahil bagi Jepang dan China untuk menciptakan sinergi yang lebih kuat dalam pembangunan infrastruktur global.
ADVERTISEMENT
Persaingan antara Jepang dan China dalam bidang diplomasi ekonomi menunjukkan usaha kedua negara untuk memperluas pengaruh mereka melalui proyek-proyek infrastuktur di tingkat global. Jepang mengedepankan Partnership for Quality Infrastructure (PQI) yang berfokus pada aspek transparansi dan keberlanjutan, sementara China menekankan kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang lebih mengutamakan pertumbuhan cepat dan dukungan finansial yang fleksibel. Kritik terhadap potensi utang dalam BRI memberikan kesempatan bagi Jepang untuk menawarkan opsi yang lebih etis, walaupun dalam hal akses dana, Jepang masih belum dapat bersaing secara efektif.
Meskipun terdapat persaingan yang kuat, peluang untuk kerjasama masih dapat ditemukan, terutama jika kedua negara dapat mencapai kesepakatan dalam hal regulasi dan standar pembangunan. Namun, terdapat berbagai tantangan seperti hambatan geopolitik dan perbedaan kepentingan strategis yang perlu diatasi. Negara-negara yang menerima investasi harus cermat dalam memanfaatkan persaingan ini agar bisa meraih manfaat yang optimal. Di masa mendatang, interaksi Jepang dan China dalam diplomasi ekonomi akan terus berfluktuasi antara rivalitas dan peluang kolaborasi. Jika dikelola dengan bijaksana, persaingan ini berpotensi mendorong pencapaian standar baru pada pembangunan infrastruktur global yang lebih transparan dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
References
Asmara. (2019). Dampak Belt and Road Initiative terhadap Perekonomian Negara-Negara Berkembang. Kajian Ekonomi dan Kebijakan Publik, 10(1), 45-60.
Hadiwinata. (2021). Jalur Sutra Baru: Hegemoni Ekonomi China di Asia Tenggara dan Respons Jepang. Jurnal Hubungan Internasional Indonesia, 8(2), 120-135.
Bappenas RI. (2020). Analisis Investasi Infrastruktur di Indonesia: Peran China dan Jepang dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI. (2019). Studi Dampak Ekonomi dan Keuangan dari Belt and Road Initiative terhadap Indonesia. Jakarta: BKF Kemenkeu.
Setiawan. (2020). Dinamika Kompetisi Infrastruktur Jepang dan China di Indonesia: Studi Kasus Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Jurnal Ekonomi dan Politik Global, 12(3), 200-215.