Konten dari Pengguna

Klasterisasi Industri sebagai Strategi Peningkatan Partisipasi UMKM Indonesia di dalam GVC

27 Oktober 2017 9:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari annisa apriliyanie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Latar Belakang
Sampai dengan tahun 2013, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai 57,89 juta unit usaha atau 99,99% dari total unit usaha yang ada di Indonesia. Dalam kata lain, jumlah usaha yang dikategorikan sebagai Usaha Besar (UB) hanya berjumlah 0,01% atau 5.066 unit dari total unit usaha di Indonesia saat itu. Karena secara kuantitas UMKM mendominasi perekonomian nasional, maka peran UMKM terhadap perekonomian Indonesia terbukti sangat besar. Pada tahun 2013, UMKM mempunyai pangsa investasi mencapai 63,42% dan mampu menyerap tenaga kerja sampai dengan 96,99%. Pada tahun 2013 UMKM pun mampu menyumbang 57,56% terhadap PDB (atas dasar harga konstan 2000).
ADVERTISEMENT
Meski kontribusi pada PDB dan lapangan kerja sangat besar, pangsa total ekspor non migas UMKM relatif kecil, yaitu hanya sekitar 15,68% (Kementerian KUKM, 2013). Ditambah lagi, menurut studi Wignaraja (2014), UKM Indonesia menunjukkan partisipasi yang sangat rendah dalam Global Value Chain (GVC), bahkan relatif sangat rendah jika dibandingkan dengan negara tetangganya di kawasan ASEAN. Pada grafik 1 ditunjukkan bahwa kontribusi UMKM Indonesia terhadap rantai produksi global atau GVC hanya 6,3% dari 22% total kontribusi UKM ASEAN terhadap rantai produksi global (Wignaraja, 2012). Padahal kini dunia tengah bergerak menuju integrasi ekonomi yang semakin erat, terutama dengan pola perdagangan GVC, yaitu pola perdagangan di mana barang dan jasa diproduksi dan nilainya bertambah di beberapa negara melalui spesialisasi dalam suatu rantai nilai produksi sehingga terbentuk jaringan rantai produksi secara regional (Athukorala, 2011). Selain itu, UMKM yang melakukan aktivitas ekspor memiliki kinerja lebih tinggi dibandingkan dengan UMKM yang hanya berfokus pada pasar domestik (USITC, 2010).
ADVERTISEMENT
Mengingat semakin pentingnya GVC guna mengakses pasar yang baru dan lebih besar, UMKM perlu meningkatkan partisipasinya dalam GVC melalui strategi yang tepat. Salah satu strategi dalam mewujudkan upaya tersebut adalah melalui pengembangan klaster industri. Terdapat dua alasan utama yang menjadikan strategi ini patut menjadi alternatif pilihan oleh pengambil kebijakan, yakni peningkatan keterkaitan usaha dan akses logistik dan komunikasi, serta telah dipakai di beberapa negara seperti di Tiongkok berupa sistem zona “Plug and Play”.
Alasan Strategi Klasterisasi Industri
Klaster industri merupakan kumpulan perusahaan dalam industri yang berkaitan atau saling mendukung di dalam suatu lokasi tertentu (Kuncoro, 2005). Maka, keterkaitan (linkages) merupakan kata kunci keberlangsungan klaster industri. Keterkaitan tersebut dapat tercipta karena klaster industri dikembangkan dengan pola kemitraan antar perusahaan dengan skala usaha yang beragam, yang mana di dalam klaster tersebut beberapa usaha besar dikelilingi oleh banyak UMKM, dengan didasarkan pada prinsip saling melengkapi dan saling menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Di dalam suatu klaster industri terdiri dari perusahaan inti yaitu produsen produk utama klaster yang seringkali bertindak sebagai eksportir, industri terkait yaitu usaha penunjang produksi seperti pemasok bahan baku, industri dan jasa pendukung lainnya. Wignaraja (2013) mengemukakan bahwa perusahaan besar multinasional (UB) yang memproduksi produk akhir masih menjadi pemain terdepan dalam GVC. Maka dari itu, peran perusahaan inti di dalam klaster industri masih dipegang oleh perusahaan besar multinasional yang mempunyai cukup sumber daya untuk memproduksi produk akhir dan mengekspor. Meskipun demikian, perusahaan besar dalam menjalankan perannya tersebut tak bisa berdiri sendiri. Mereka didukung oleh sejumlah pemasok lapis pertama, lapis kedua, dan seterusnya, membentuk struktur berjenjang seperti yang digambarkan oleh Abonyi (2015) di gambar 1.
ADVERTISEMENT
Dengan skala UMKM yang kecil, mereka lebih mudah masuk ke dalam GVC sebagai pemasok (supplier) tingkat paling rendah, yaitu pemasok bagi pemasok eksportir atau sub-subkontraktor (pemasok tingkat 4) dan menjadi pemasok eksportir atau subkontraktor (pemasok tingkat 3 dan 2), disesuaikan dengan kemampuan dan produktivitasnya. Hal ini bisa terjadi karena adanya transformasi dari pola perdagangan produk akhir ke pola perdagangan barang setengah jadi, di mana perusahaan UMKM yang umumnya memiliki keterbatasan sumber daya tidak lagi perlu memiliki seluruh keahlian untuk melakukan seluruh aktivitas penciptaan produk sendiri dan mengekspor langsung ke pasar global. Sebagai gantinya, UMKM dapat mendukung GVC sebagai pemasok input, seperti suku cadang dan komponen, serta bertindak sebagai subkontraktor perusahaan-perusahaan besar multinasisonal eksportir (Lim dan Kimura, 2010). Secara singkat, UMKM meningkatkan partisipasinya dalam GVC melalui kontribusi tidak langsung kepada ekspor (indirect contribution to exports) dengan cara menjalin keterkaitan usaha bersama perusahaan-perusahaan yang lebih besar dalam suatu klaster industri.
ADVERTISEMENT
Terkonsentrasinya industri dalam suatu lokasi klaster industri akan mendorong spesialisasi, sehingga dapat meningkatkan produktivitas serta menciptakan skala ekonomi (economies of scale) dan efisiensi pada semua lini tahapan produksi, mulai dari penyediaan input produksi, proses produksi, pemasaran dan distribusi hingga ke konsumen akhir (ekspor). Spesialisasi, yakni pemusatan kegiatan pada usaha produktif, secara langsung akan menciptakan hubungan saling melengkapi di mana UMKM berperan sebagai pemasok input atau subkontraktor perusahaan besar multinasional (UB) yang memproduksi barang akhir untuk diekspor. Meskipun peran UMKM terhadap ekspor di dalam GVC tidak secara langsung, analisis studi dari World Bank dan OECD membuktikan bahwa indirect contribution to export yang dilakukan UMKM cukup besar di seluruh negara OECD dan nilainya signifikan lebih besar daripada nilai yang mungkin dihasilkan dari direct exports. Dengan kata lain, manfaat terlibat dalam GVC tidak hanya berhubungan dengan posisi yang dipegang dalam GVC, melainkan kemampuan memperoleh nilai tambah dan keuntungan yang lebih tinggi dari “kue” perdagangan yang lebih besar dengan berpartisipasi dalam GVC. Maka, baik UMKM maupun UB diuntungkan dengan adanya keterkaitan dalam klaster industri berupa penciptaan dan peningkatan rantai nilai produksi, terutama bagi UMKM.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, menurut studi Bank Indonesia (2016), rendahnya partisipasi UMKM Indonesia dalam GVC disebabkan oleh faktor pendukung GVC yang belum optimal. Faktor pendukung yang dimaksud yaitu infrastruktur logistik dan teknologi informasi dan komunikasi. Keterbatasan dan mahalnya layanan logistik terutama transportasi selama ini menjadi kendala pertumbuhan bisnis di Indonesia, terlebih bagi UMKM. Dengan skala bisnis UMKM yang relatif kecil, dampak keterbatasan infrastruktur logistik terhadap biaya produksi UMKM menjadi lebih besar daripada usaha besar. Alhasil, biaya logistik yang tinggi membuat UMKM semakin kesulitan mengakses pasar, apalagi pasar GVC yang menyangkut lintas negara, sehingga lingkup pemasaran produk-produk UMKM umumnya hanya terbatas di wilayah UMKM tersebut berada dan mengakibatkan partisipasinya dalam GVC sangat rendah. Selain masalah logistik, keterlibatan UMKM dalam GVC umumnya juga terhambat oleh informasi mengenai faktor-faktor yang spesifik di dalam sektornya, seperti kesulitan memenuhi standar produk internasional dan kesulitan memperoleh bahan baku lokal yang sesuai dengan permintaan konsumen global. Hal itu disebabkan karena informasi pasar yang sangat terbatas dan diperparah dengan keterbatasan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi.
ADVERTISEMENT
Klaster industri pada dasarnya merupakan perwujudan dari teori aglomerasi, yaitu teori konsentrasi spasial aktivitas ekonomi yang disebabkan salah satunya karena mampu meminimalisasi biaya transportasi (logistik) akibat jarak antar perusahaan terkait yang saling berdekatan (Krugman, 1998). Produsen cenderung menentukan lokasi industri yang memberikan keuntungan berupa penghematan biaya transportasi serta dapat mendorong efisiensi dan efektivitas produksi (Weber, 1909). Klaster industri memungkinkan adanya pembangunan infrastruktur logistik dan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dalam suatu lokasi, mulai dari proses manufaktur, investasi, sampai dengan perdagangan. Infrastruktur logistik yang terintegrasi akan memudahkan perusahaan-perusahaan untuk mengaksesnya dan meminimumkan biaya secara keseluruhan. Integrasi infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi dalam klaster industri juga dapat mendorong UMKM untuk memperbaiki kualitas produk dan produktivitasnya sesuai dengan permintaan pasar. Hal ini dikarenakan informasi pasar semakin relatif lebih mudah diakses, selain karena lokasi perusahaan yang saling berdekatan dan adanya keterkaitan dalam satu klaster industri, tapi juga lebih efektif dan efisien untuk membangun teknologi informasi dan komunikasi yang terkonsentrasi di suatu lokasi tertentu. Dengan demikian, klaster industri menjembatani UMKM untuk dapat lebih mudah mengakses pasar termasuk berperan dalam GVC, baik dari segi akses transportasi maupun akses informasi dan komunikasi.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus Klaster Industri
Salah satu contoh sukses dari aglomerasi industri adalah sistem zona “Plug and Play” yang diterapkan oleh Tiongkok yaitu di darah Zhejiang. Pada tahun 1970 zona ekonomi khusus disediakan hampir seluruhnya untuk perusahaan yang dimiliki oleh asing dengan menyediakan akses terhadap lahan industri, fasilitas pelabuhan, bangunan pabrik yang terstandarisasi, perumahan tenaga kerja, air dan energi, serta kebebasan dari bea impor. Pemindahan lokasi manufaktur ke dalam zona industri dapat memberikan ruang yang lebih bagi pelaku usaha dalam melakukan ekspansi. Zona tersebut dibiayai oleh pemerintah dan secara tidak langsung juga dibiayai oleh pihak swasta. Pemerintah melakukan pembiayaan melalui peminjaman dari bank dan melakukan pembayaran melalui penambahan pajak dari peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan sistem zona industri awal tersebut kemudian menginisasi adanya perluasan zona dengan mengikutsertakan perusahaan domestik yang memproduksi barang baik untuk pasar domestik maupun pasar luar negeri. Zona industri tersebut memiliki peranan penting dalam memfasilitasi pertumbuhan UMKM di Tiongkok (World Bank, 2010). Sistem ini mampu mengubah pangsa pasar UMKM di Tiongkok yang sebelumnya hanya berorientasi pada lokal menjadi berorientasi pada pasar global. Sistem zona ini diperhitungkan sebagai strategi yang mampu menurunkan biaya investasi awal dan risiko yang ditanggung oleh UMKM pada tahap pengembangan. Singkatnya, pemerintah Tiongkok memfasilitasi pengembangan UMKM melalui penyediaan barang publik dan informasi pasar secara efisien tetapi tidak dalam bentuk subsudi.
Kesuksesan zona industri di Tiongkok juga dipengaruhi oleh persaingan yang kompetitif baik dengan produsen domestik maupun dengan pasar ekspor serta kerjasama yang baik di antara seluruh pihak yang terlibat. Pada tahun 2012 total pendapatan yang berhasil dihasilkan oleh UMKM di Zhejiang bernilai RMB 180 juta atau senilai US$ 28 juta (Internation Finance Cooperation). Hal tersebut diprediksi akan terus mengalami peningkatan seiring dengan terus meningkatnya utilitasi FDI yang terjadi di Zhejiang seperti yang digambarkan oleh grafik 2 (lampiran). Tidak hanya itu, nilai tambah yang dihasilkan oleh output industri di Kota Zhejiang pada tahun 2015 mencapai RMB 1.319,3 milyar atau senilai US$ 204,1 milyar. Nilai tersebut mengalami peningkatan sebesar 4,4% dari tahun 2014 (china-trade-research.hktdc.com).
ADVERTISEMENT
Tiongkok secara khusus melakukan reformasi dan mendukung industri input kunci sehingga mereka dapat menjadi kompetitif. Secara nasional, Tiongkok mendorong bentuk penanaman modal asing di sektor kunci tersebut. Selain itu, Tiongkok juga mencoba mengurangi biaya logistik seoptimal mungkin dengan menciptakan zona industri yang dekat dengan pelabuhan dan memberikan berbagai keringanan peraturan, tarif, dan restriksi impor. Hal yang demikian akan memungkinkan Tiongkok untuk dapat mengimpor secara efisien barang input yang tidak dapat diproduksi oleh produsen domestik secara kompetitif.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, UMKM di Indonesia masih menjadi konsentrasi karena besarnya kontribusi yang dihasilkan dalam perekonomian Indonesia tetapi rendah dalam kontribusi di GVC, sehingga dibutuhkan strategi yang efektif untuk mengoptimalkan peran UMKM dalam GVC. Klasterisasi industri dapat diperhitungkan menjadi salah satu alternatif strategi dalam rangka meningkatkan nilai tambah output dalam GVC yang dihasilkan oleh UMKM Indonesia. Di dalam klaster industri nantinya perusahaan-perusahaan besar pengekspor dikelilingi oleh banyak UMKM yang berperan sebagai pemasok dan subkontraktor mereka, sehingga tercipta keterkaitan usaha dari adanya peningkatan spesialisasi, efisiensi, dan produktivitas. Dengan dikembangkannya klaster industri yang mengikutsertakan UMKM di dalamnya, secara tidak langsung akan menciptakan dan meningkatkan partisipasi UMKM Indonesia di dalam GVC. Klaster industri juga memungkinkan adanya pembangunan infrastruktur logistik dan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi, sehingga akan mengurangi biaya pembangunan atau investasi infrasutuktur yang sangat berguna untuk meningkatkan akses transportasi dan informasi ke pasar GVC. Namun, klaster industri seperti yang telah dijabarkan sebelumnya tidak banyak dimiliki oleh Indonesia, padahal telah berhasil dikembangkan di negara lain seperti di Tiongkok. Maka dengan adanya klaster industri, UMKM di Indonesia diharapkan akan mampu berpartisipasi aktif di dalam GVC dengan nilai yang terus mengalami pertumbuhan secara positif dari satu periode ke periode lainnya.
ADVERTISEMENT
Lampiran
Grafik 1. Kontribusi Usaha Besar dan UMKM ASEAN dalam Jaringan Produksi Global (Production Network)
Sumber: Wignaraja (2012)
ADVERTISEMENT
Gambar 1. Ilustrasi Akses UKM dalam GVC
Sumber: Abonyi (2005)
ADVERTISEMENT
Grafik 2. Utilisasi FDI di Zhejiang (US$ milyar)
Sumber: Zhejiang Statistical Yearbook 2016
Daftar Pustaka
Abonyi, G. (2005). Integrating SMEs Into Global and Regional Value Chains: Implication of Subregional Cooperation in the Greater Mekong Subregion, 23 Mei 2017. https://www.researchgate.net/publication/228714236.
ADVERTISEMENT
Athukorala, P. (2011). Production Networks and Trade Patterns in East Asia: Regionalization or Globalization?, Asian Economic Papers, 10(1):65-95.
Bank Indonesia, (2016). Pemetaan dan Strategi Peningkatan Daya Saing UMKM dalam Menghadapi MEA 2015 dan Pasca MEA 2025, Bank Indonesia Working Paper.
Dinh, H.T., Palmade, V., Chandra, V., Cossar, F. (2012). Light Manufacturing in Africa: Targeted Policies to Enhance Private Investment and Create Jobs, Main Report World Bank: Africa Development Forum.
ESD China Limited. (2012). Study on The Potential of Sustainable Enery Financing for Small and Medium Enterprises in China. International Finance Corporation, Shanghai, China.
HKTD Research (n.d.) 8 September 2017. http://china-trade-research.hktdc.com/business-news/article/Facts-and-Figures/Zhejiang-Market-Profile/ff/en/1/1X000000/1X06BVYH.htm
Kuncoro, M. (2005). Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif, Erlangga, Jakarta.
ADVERTISEMENT
LPPI dan BI, (2015), Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Kajian Bank Indonesia.
OECD. (2005). Encouraging Linkage between Small and Medium Sized Companies and Multinational Enterprises, OECD Policy Overview.
Palmade, V., Chandra V., Dinh, H.T. (2010). China’s Secret Weapon in Light Manufacturing: Small and Medium Enterprise-Oriented “Plug and Play” industrial zones, World Bank.
USITC. (2010). Small and medium-sized enterprises: characteristics and performance Investigation Paper. Washington DC: U.S International Trade Commission.
Wignaraja, G. (2012) Engaging Small and Medium Enterprises in Production Networks: Firm–level Analysis of Five ASEAN Economies, ADBI Working Paper Series No. 361.