Budaya Korupsi: Penyakit Mental dan Moral

Annisa Awwalina Fitri
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
10 Januari 2021 5:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Awwalina Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi bukan hal yang tabu lagi di Indonesia. Transparency Internatioal merilis laporan bertajuk “Global Corruption Barometer-Asia” dan Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara korup di Asia. Korupsi sudah muncul di Indonesia sejak era sebelum kemerdekaan dan berkembang pesat selama era Orde Baru hingga saat ini. Sekarang korupsi sudah dianggap sebagai suatu kebiasaan. Banyak sekali kasus-kasus korupsi di Indonesia yang terjadi tiap tahunnya. Korupsi ini terjadi disebabkan lemahnya hukum di Indonesia.
Awal mula terjadinya korupsi pada era Orde Baru dikarenakan adanya perubahan kebijakan ekspor menjadi sistem sentralistik. Kebijakan yang tidak lagi dipegang daerah, melainkan pemerintah pusat. Perubahan gaya hidup akibat sentralisasi yang berlebihan membuat para pejabat dan PNS terjangkit korupsi. Dari era Orde Baru hingga era Reformasi seperti sekarang mentalitas korupsi sudah mengakar kuat sehingga sangat sulit diberantas. Bisa dibilang korupsi merupakan penyakit mental dan moral manusia.
ADVERTISEMENT
Korupsi sendiri merupakan tindak pidana yang dilakukan sesorang maupun kelompok untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun kelompok tersebut. Korupsi ini merupakan tindakan yang dapat merugikan banyak pihak, sehingga korupsi bisa disebut sebagai tindak kejahatan. Tentunya permasalahan korupsi ini tidak bisa dianggap remeh. Semakin lama dibiarkan, permasalahan ini akan menjadi polemik yang berkepanjangan. Tercatat selama tahun 2020, dewan pengawas menerima 247 laporan pengaduan dari masyarakat dan dewan pengawas KPK telah mengeluarkan 571 izin untuk melaksanakan tugas penindakan KPK, izin tersebut berupa 132 izin penyadapan, 62 izin penggeledahan, dan 377 izin penyitaan.
Seperti yang kita ketahui, kebanyakan korupsi dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi negara yang memiliki kuasa. Bahkan para pejabat tersebut memiliki antek-antek dan berkongkalikong dengan para koruptor lain. Mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan korupsi dan memperkaya diri. Fenomena-fenomena yang berkenaan dengan korupsi sudah sering kita jumpai. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap kasus yang berkenaan dengan suap dan korupsi melalui para pengawas dan penegak hukum, seperti BPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK.
ADVERTISEMENT
Komitmen pemberantasan korupsi merupakan hal penting dalam suatu sistem pemerintahan negara. Di Indonesia, setiap kepala negara yang memerintah harus memberikan komitmennya untuk memberantas suap dan korupsi hingga ke akar-akarnya.. Hal ini terjadi karena korupsi kian merajalela, mengambil hak rakyat dengan semena-mena hingga hampir tidak tersisa untuk kesejahteraan rakyat. Akibatnya, kalangan atas semakin berkuasa, kalangan bawah semakin sengsara.
Peraturan pemerintah mengenai pemberantasan korupsi ialah Undang-undang No. 20 Tahun 2001, sering disebut sebagai UU Tipikor. Tujuan dibentuknya UU ini adalah untuk menjamin, melindungi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan dengan menggunakan berbagai cara, baik preventif (pencegahan), detektif (mendeteksi), dan represif (penindakan). Bahkan dengan adanya undang-undang mengenai korupsi ini tidak dapat mencegah oknum tak bertanggung jawab tersebut untuk melakukan korupsi karena sejatinya korupsi sudah membudaya dan sangat rumit penyelesaiannya.
ADVERTISEMENT
Ada banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, seperti perilaku konsumtif, ingin mempertahankan kekuasaan, gaji yang tidak mencukupi, lemahnya keimanan dan kejujuran, dan lain-lain. Bahkan dengan lemahnya perundang-undangan yang berlaku juga dapat memicu seseorang untuk melakukan korupsi. Mungkin saja mereka berpikir keuntungan yang mereka dapat dari korupsi itu lebih besar dari pada konsekuensi yang akan mereka terima di masa mendatang. Mereka mengambil kesempatan dibalik lemahnya perundang-undangan yang berlaku untuk menjalankan aksi liciknya. Itulah yang menyebabkan mereka dengan beraninya melakukan korupsi.
Kita ambil contoh korupsi yang baru-baru ini terjadi, yaitu korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang dilakukan oleh Menteri Sosial RI, Juliari Peter Batubara. Oknum Kemensos memanfaatkan situasi krisis masa pandemi seperti sekarang untuk melakukan korupsi. Dana yang seharusnya digunakan untuk bantuan sosial ternyata masuk kantong pribadi untuk memperkaya diri. Dari data yang penulis temukan oknum Kemensos melakukan korupsi sebesar Rp 7,10 triliun pada Bansos Sembako Jabodetabek.
ADVERTISEMENT
Korupsi yang terjadi terus menerus seakan tak berujung ini akan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat Indonesia. Korupsi dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi, bisnis, meningkatkan kemiskinan, pelayanan publik tidak akan membaik, dan lain-lain. Bahkan dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan hal yang sudah dipaparkan di atas, saran penulis terhadap kasus-kasus korupsi di Indonesia, yaitu pemerintah harus bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang berkaitan dengan korupsi. Meningkatkan upaya-upaya dalam hal pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Menyelenggarakan kampanye sebagai bentuk upaya meminimalisir faktor-faktor terjadinya korupsi dan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya korupsi. Meningkatkan kemampuan pemerintah dalam usaha mendeteksi dan mengidentifikasi kasus-kasus korupsi dengan cepat dan objektif, khususnya para pengawas dan penegak hukum seperti BPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK. Diharapkan masyarakat juga berperan aktif dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi ini, agar terjalin kerjasama yang solid antara pemerintah dan masyarakat dalam memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT