Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dipaksa untuk Merangkak
9 Oktober 2024 12:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Annisa Berliana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Padang - “Ibu, saya mau kemana lagi?”
Begitu celotehan yang keluar dari seorang anak kepada ibunya. Hari itu ia bertanya bukan dengan maksud untuk diajak pergi plesir, namun ia bertanya perihal tujuan yang masih rancu di dalam pikirannya. Anak itu terheran, apa yang salah pada dirinya? Ia rasa ia sudah cukup menerapkan ilmu yang diajarkan oleh gurunya di sekolah. Tapi mengapa sesusah ini?
ADVERTISEMENT
Untuk menghilangkan suntuk ia pergi ke suatu café di Pasar Baru. Ia memesan satu gelas kopi latte dan membayarnya dengan uang bewarna hijau bergambar Sam Ratulangi. Matahari kala itu sudah condong ke ufuk barat. San (panggilannya) duduk di bangku luar menantang bayangan oranye yang lambat laun menggelap. Dalam bermenung ia mendengar lagu yang berlirik “Sudah di kepala dua, harus mulai dari mana?” Ya, café itu tengah memutar lagu Takut – Idgitaf. Lagu yang kini kian digemari generasi Z.
San, kala itu sudah wisuda, sudah bergelar sarjana pula. Tapi otaknya seakan remuk terasa diremas-remas ekpektasi. Umur 25 dia belum lagi bekerja, belum pula berpengalaman. Menelaah masa lalu San, ia bukan orang yang bodoh. Hidupnya dipenuhi ambisi akan impian-impian yang belum tentu terwujud. Hidupnya lurus-lurus saja setelah selesai kuliah ia langsung pulang. Lulus 3,5 tahun dengan predikat cum laude. Sungguh ironi hingga saat ini dia belum diterima bekerja walaupun sudah melamar berkali-kali ke perusahan pencakar langit itu.
ADVERTISEMENT
Ambisinya memang besar, namun tak selaras dengan dukungan finansial, pengaruh, atau yang lebih penting “orang dalam” dari keluarganya tidak ada. “Orang dalam” ialah tindak nepotisme yang sudah menjadi rahasia umum terjadi di Negriku ini. Jika orang tuamu berkuasa, mau setidak berpotensi apapun kamu nanti, kamu akan dapat pekerjaan yang layak. Paling tidak punya warisan dari orang tuamu. Seakan-akan rakyat-rakyat menengah kebawah harus dipaksa menerima takdir bahwa mereka akan terus digerus ombak dan badai yang besar. Mereka akan merangkak untuk bisa mencapai titik kestabilan. Perihnya persaingan di dunia kerja hanya untuk masuk dan bekerja di sana. Membuka lapangan kerja pun mereka tak ada modal.
Negriku yang malang, mereka yang tidak tahu mau mencari makan harus kemana lagi, akan memakan apa saja, bahkan menghalalkan segala cara. Naiknya angka kemiskinan akan berbanding lurus dengan naiknya angka kriminalitas. Mereka bilang generasiku tak akan bisa membeli rumah, itulah pernyataan yang keluar dari salah satu Menteri ku yang agung. Wahai tuan, jangankan rumah untuk check out saja generasiku harus memakai pay later.
ADVERTISEMENT
Mereka dipaksa untuk selalu menjadi yang terbaik. Tak akan ada yang menerimamu jika kau tidak “menjual”, benefit adalah hal utama yang mereka cari. Jika kau sudah payah, tua dan renta posisimu akan tergantikan dengan yang lebih muda dan segar. Begitulah nantinya posisimu diganti seperti permen karet yang sudah habis manisnya.
Perjalanan kami akan berat memang, apalagi jika kami bukan yang terbaik. Berbekal pengalaman seadanya tak akan cukup buat kami. Memanglah kami harus menerima takdir untuk tetap berada dibawah. Tertatih-tatih untuk bisa naik ke atas.