Kelakar Rongsokan sebagai Jawaban Tuhan

Annisa Dyah Novia Arianto
Annisa Dyah Novia Arianto, mahasiswi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara. Perempuan Jawa yang lahir di tanah Sunda ini sering lapar pada dini hari ketika menulis.
Konten dari Pengguna
7 Juni 2022 13:35 WIB
·
waktu baca 16 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Dyah Novia Arianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Armini dan Pak Kumis sedang istirahat makan siang di lapak rongsokan. (FOTO: Annisa Dyah Novia Arianto)
zoom-in-whitePerbesar
Armini dan Pak Kumis sedang istirahat makan siang di lapak rongsokan. (FOTO: Annisa Dyah Novia Arianto)
ADVERTISEMENT
Di depan orang tuamu …
“Jeng jet!” seru Abdul, anak buah lapak rongsokan, yang sedang menghitung timbangan kardus.
ADVERTISEMENT
Kau malukan diriku …
“Jeng jet!” timpal Abbas, anak buah lapak rongsokan lain, yang sedang mengikat gunungan barang rongsokan di atas mobil bak tua. Tumpukan barang tersebut siap dikirimkan ke pengepul besar sekitar Gunungsindur.
Kau bandingkan aku dengan dirinya …
Sinar matahari terik menembus kulit. Alunan dangdut berjudul “Berbeza Kasta” yang dikentrungkan oleh Kalia Siska ft SKA 86 menggema di seluruh penjuru lapak rongsokan lewat sebuah radio tua. Untuk beberapa saat, suaranya tersamarkan oleh bunyi ting-ting dari besi yang dipukul oleh pemilik lapak. Sundarianto atau akrab disapa Pak Kumis sedang menyortir besi bekas. Dengan punggung tangan, dia mengelap keringat yang mengucur di dahi hingga menimbulkan garis hitam bekas oli dan kotoran lain yang mengendap pada besi bekas. Tidak peduli cuaca panas atau dingin, musim kemarau atau hujan, ditipu atau dibohongi, Pak Kumis tetap bekerja dengan dibantu Armini, istri, dan anak buahnya.
ADVERTISEMENT
“Sudah tengah hari, makan dulu, Pak!” Armini tengah menyiapkan bekal makanan berisi sayur lodeh dan ikan tongkol di atas meja usang.
Pria yang telah meneguk asam garam dunia sejak hidup di Malang, Jawa Timur, itu beranjak menuju meja. Sembari makan siang, Pak Kumis memandang lapak rongsokan sebagai bumi tempatnya berpijak. Berlokasi di Jalan Raya Gunungsindur No. 01 RT03 RW02, Desa Curug, Kecamatan Gunungsindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, lapak rongsokan Pak Kumis tidak pernah sepi. Selalu saja ada anak buah yang datang dari berbagai tempat dengan barang-barang rongsokannya. Sejumlah kendaraan hasil kawin silang antara motor bebek dan gerobak motor memenuhi parkiran lapak rongsokan. Para anak buah bebas mengkreasikan gerobak motornya, seperti menuliskan “Rongsok Jaya” atau “Anak Rantau” untuk mempercantik kendaraan kerja sekaligus menyemangati si pengemudi. Sama halnya seperti bagian belakang truk pasir yang dihias dengan tulisan “Doa Ibu”.
ADVERTISEMENT
Tumpukan barang bekas berjenis kertas, besi, alumunium, tembaga, kuningan, botol plastik, kaleng, dan kardus menghiasi pandangan. Sebelum dikirimkan ke pengepul yang lebih besar, barang-barang bekas tersebut perlu disortir sesuai jenisnya terlebih dahulu.
Pak Kumis menganggap bahwa usaha lapak rongsokan memiliki keuntungan unik. Setiap jenis barang rongsokan memiliki bosnya masing-masing, misalnya Serly, bos kardus, atau Batu Tarigan, bos logam. Dalam genggaman tangan bos lapak, sampah jenis apapun dapat diolah menjadi uang, juga menjaga lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut bahwa total sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 17 persen, atau sekitar 11,6 juta ton, disumbang oleh sampah plastik. Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan bahwa sumbangan sampah plastik itu mengalami peningkatan sejak 2010. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa semakin banyak sampah, semakin tinggi nominal uang yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Namun, kurangnya kesadaran masyarakat untuk lebih aware dengan sampah-sampah tetap saja membuat lingkungan rusak. Padahal, lapak rongsokan, bank sampah, Reuse, Reduce, and Recycle (3R) atau sesederhana pembagian antara tong sampah organik dan nonorganik dapat mereduksi sampah Indonesia. Sama seperti Soesilo Toer, adik dari Pramoedya Ananta Toer, yang mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan memulung. Bagi Soes yang bergelar doktor politik dan ekonomi di Rusia, memulung sampah bukanlah pekerjaan hina. Soes malah bangga karena selain halal, dia secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
Di sisi lain, barang rongsokan yang tidak akan “kedaluwarsa” menjadi sumber kelicikan para pelaku pengolah barang rongsokan lain. Selalu saja terdapat anak buah Pak Kumis yang jahil terhadap barang-barangnya. Ada yang sengaja memasukkan air ke dalam botol atau membiarkan air merembesi kardus supaya angka timbangannya besar. Ada juga yang sengaja memasukkan berbagai macam logam supaya tambah berat. Untuk trik jahil kedua biasanya telah diatasi dengan pemeriksaan satu per satu di lapak rongsokan. Ketika dites dengan gerinda, jika percikan logamnya besar, berarti abal-abal atau kualitasnya buruk. Sementara itu, jika percikan logamnya kecil, berarti kualitasnya baik.
ADVERTISEMENT
Ah, entah apa yang membuat Pak Kumis sadar tak sadar memperbaiki salah satu permasalahan pokok Nusantara dengan mengelola sampah. Takdir Tuhan memang penuh kelakar.
Baridin, seorang pekerja lepas, menemui Pak Kumis dengan malu-malu. Amboi, dia bertutur kata yang amat lembut. Dia bukan hendak menunjukkan bahasa cinta sebagai anak buah, melainkan meminjam uang kepada Pak Kumis–untuk kesekian kalinya, untuk bermain judi.
“Kalau di perantauan cuma buat foya-foya, pulang ae, Tong!” Pak Kumis menjawab dengan sindiran halus, kemudian menyuap sesendok nasi lagi.
Baridin hanya mesam-mesem sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Dia meninggalkan meja Pak Kumis dengan langkah kikuk. Mungkin, Baridin akan kembali lagi besok kalau suasana hati Pak Kumis sudah membaik dan Armini belum tiba di lapak. Istri Pak Kumis memang tampak garang ketika di lapak. Lihat saja, tatapannya agak sinis ketika sedang memisahkan antara kertas putih dan warna. Meskipun demikian, Armini adalah seorang istri yang setia dan tinggi harga dirinya serta amat mengedepankan dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Walaupun dipandang sebelah mata karena kotor, lusuh, bahkan kaum marjinal, Pak Kumis dan Armini dengan senang hati menanggalkan gelar sebagai sarjana pendidikan untuk mengelola lapak rongsokan walaupun awalnya sempat terjadi sejumlah pergolakan. Digenggam oleh tangan-tangan cerdas dibalut kerja keras, berjibaku dengan sampah bukanlah perkara sulit untuk mengais rezeki. Hei, asal tidak jijik saja!
Abbas (atas) dan Abdul (bawah) sedang mengikat karung-karung berisi hasil sortiran barang rongsokan yang siap dikirim ke pengepul besar. (FOTO: Annisa Dyah Novia Arianto)
Pak Kumis si pemilik lapak rongsokan lahir di Malang pada 23 September 1968. Pria yang menjadi salah satu siswa di angkatan pertama SMAN 1 Pagak itu kemudian melanjutkan pendidikan diploma di IKIP Malang (yang sekarang sudah menjadi Universitas Negeri Malang) jurusan Geografi. Lepas kuliah, Pak Kumis memutuskan untuk keluar dari rumah. Asam-garam kehidupan telah Pak Kumis telan seorang diri. Dari mulai singgah sementara di Kalimantan, lanjut ke Surabaya, dan tinggal di Bogor hingga kini. Dari mulai membuka usaha bakso malang, bengkel dinamo, dan lapak rongsokan. Tidak ada sangkut pautnya dengan Geografi. Plot twist tersebut memang seringkali menimpa sejumlah sarjana lain. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa hanya ada maksimal 20% lulusan mahasiswa yang bekerja sesuai dengan program studinya. Sementara itu, 80% dari lulusan mahasiswa bekerja di luar prodi.
ADVERTISEMENT
Tak serta merta terjun langsung ke dunia rongsokan, Pak Kumis sebelumnya mengecap pembelajaran bengkel dinamo di Bratang Gede, Surabaya. Di kota pahlawan tersebut, semesta mempertemukan Pak Kumis dan Armini kembali setelah berpisah beberapa tahun sejak SMA. Dua tahun berada di kelas yang sama merupakan waktu yang singkat untuk saling memendam rasa. Hubungan mereka sempat putus-nyambung akibat jarak. Namun, karena renjana dan usia, mak bedunduk mereka memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Entah pemandangan kehidupan apa yang dilihat nanti, baik rangkaian badai topan maupun lumba-lumba yang saling mengejar, mereka mengikrarkan janji setia pada 1996. Setahun berikutnya, Anugerahaning Meidy Arianto, si sulung menyapa dunia.
Pada 2000, Pak Kumis dan Armini merantau ke Bogor karena ajakan Pur, kakak Armini. Mereka singgah di sebuah kontrakan terpencil yang dikelilingi oleh rawa-rawa. Mereka yang memulai segalanya dari nol tanpa mengandalkan bantuan orang tua lambat menyadari bahwa menabung di usia muda adalah bekal untuk masa tua. Baik Pak Kumis maupun Armini, keduanya senang mencari hal baru semasa muda sehingga tidak memikirkan pernikahan atau tabungan. Maka dari itu, kalau bahtera rumah tangga lain sudah memiliki tujuannya sendiri, berbeda dengan pasangan Pak Kumis dan Armini. Mereka limbung, tidak tahu arah, membiarkan angin menggerakkan layar. Meskipun batu karang menghadang, bukannya menghindar, mereka justru menabrakkan diri.
ADVERTISEMENT
Usaha pertama yang dijalani oleh Pak Kumis adalah bakso malang. Ilmu tersebut didapatkan dari Pur. Awalnya sempat merasa dibohongi karena ternyata usaha bakso malang Pur sedang mengalami kemerosotan. Pantang kembali, Pak Kumis menyikat usaha kuliner dengan ketidaktahuan. Dia belajar dari pengalaman.
Jerih payah Pak Kumis berbuah manis. Bakso malang buatannya mendapatkan respon menyenangkan dari para pembeli. Namun, kendali uang berantakan dan kelicikan anak buah tidak terhindarkan. Seluruh gerobak bakso malang dibawa lari tak tersisa. Di sisi lain, Armini yang memiliki gelar sarjana Pendidikan Kewarganegaraan dari Universitas Muhammadyah Malang merasa bahwa dia harus memiliki pekerjaan, terutama menjadi seorang pegawai negeri. Pada saat itu, Aning kecil terpaksa dititipkan di rumah nenek terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
“Kalau kamu mengajar, saya yang diam di rumah. Saya gak mau kalau anak harus dipegang sama orang lain.” Cukup dua kalimat mendalam yang dilontarkan oleh Pak Kumis ketika menolak permintaan Armini.
Namun, Armini tidak peduli. Sudah beberapa kali Pak Kumis Armini bersikeras untuk mengikuti ujian masuk PNS, tetapi hanya kegagalan yang didapatkan. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, Aning kembali ke tangan orang tua dan mulai memasuki jenjang pendidikan dasar. Sebagai ibu rumah tangga, Armini biasa antar jemput Aning. Pada 2003, Annisa Dyah Novia Arianto, si bungsu turut meramaikan keluarga kecil Pak Kumis.
Suatu hari ketika Annisa masih berusia dua tahun, depot bakso malang Pak Kumis sedang laku keras hingga plastik-plastik untuk membungkus pesanan habis. Mau tidak mau, Armini harus membelinya. Kala itu Pak Kumis belum memiliki kendaraan pribadi sehingga Armini berjalan kurang lebih sekitar dua kilometer bersama Annisa dalam gendongan. Sengat matahari dan klakson mobil yang terjebak macet mempengaruhi lubuk hati Armini yang telah mengendapkan kesedihan, terlebih hari itu bertepatan dengan perayaan hari kemenangan. Sepanjang jalan, Armini hanya bisa merintih, “Ya Allah … Ya Allah … Ya Allah …” sambil sesekali mengelap peluh di dahinya dan dahi putrinya.
ADVERTISEMENT
Karena dilarang bekerja, seluruh asuhan anak dipegang penuh oleh Armini. Rasanya, emosi menyeruak dalam diri. Sepaket ritual syariat dirapalkan oleh Armini. Setiap hari Armini mengaji, melakukan salat duha, melakukan puasa, melafazkan bismillahirrahmanirrahim sebanyak tujuh ratus kali, dan mengkhatamkan Al-Qur’an. Armini tidak terima dengan keputusan larangan kerja oleh Pak Kumis, juga tidak terima dengan kemelaratan akibat memulai semuanya dari nol ketika usia semakin beranjak tua.
“Ya Allah, Ya Gusti. Kalau memang jodoh dunia akhirat saya adalah bapak (Sundarianto), berikanlah petunjuk sehingga saya bisa menerima dan menjalani hidup sebaik-baiknya, Ya Gusti,” ucap Armini dalam doa di sela-sela malam.
Dua puluh empat jam Armini curahkan pada keluarga. Armini sempat mengatakan bahwa dia tidak hanya mencintai, tetapi juga mengabdi pada keluarga. Aning tumbuh menjadi anak yang nakal dan suka memukul, sementara Annisa tumbuh menjadi anak yang suka jajan. Meskipun demikian, keduanya diberikan kelimpahan Tuhan agar mampu menangkap pelajaran dengan cepat dan memiliki kepekaan terhadap lingkungan. Melihat kecerdasan kedua buah hati, Armini perlahan menyadari bahwa peran ibu rumah tangga sangat penting bagi kelangsungan generasi selanjutnya. Walaupun hidup sebagai perantauan di kontrakan sempit, Armini telah menemukan kotak berliannya.
ADVERTISEMENT
Tak berselang lama, usaha bakso malang mengalami kemerosotan. Pak Kumis pindah haluan menjadi tukang gulung dinamo. Ilmu-ilmu di Bratang Gede diaplikasikan kembali. Tahun demi tahun pun berlalu, Sun Jaya Teknik atau bengkel dinamo Pak Kumis telah dikenal oleh banyak orang sekitar, beberapa di antaranya adalah para anak buah lapak rongsokan. Personalitas Pak Kumis yang easy going membuat para anak buah betah di Sun Jaya Teknik. Sebagian dari mereka kerap memakai tandon air milik Pak Kumis. Mereka biasa menggunakannya untuk membasahi kardus.
“Biar berat (timbangannya), Bos!” seru salah satu anak buah–entah dari lapak rongsokan mana.
“Jangan curang lo. Ntar masuk neraka!” balas Pak Kumis dengan nada bercanda. Dia yakin bahwa ada yang tidak beres dengan tindakan anak buah lapak rongsokan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, siapa sangka jika kejadian tersebut menjadi cikal bakal berdirinya lapak rongsokan Pak Kumis, terlebih ketika Karim datang. Kala itu, menurut Pak Kumis, Karim adalah salah satu anak buah lapak rongsokan yang jujur. Dia enggan merembesi kardus dengan air supaya angka timbangannya besar. Dia cukup bersyukur dengan barang bekas yang didapatkan untuk disortir dan ditimbang kemudian menerima uang. Sejak saat itu, Pak Kumis pun belajar lapak rongsokan dari Karim. Pak Kumis turut memodali Karim hingga nominal jutaan.
Walau telah merantau ke berbagai tempat, kebodohan tidak pernah lepas dari kehidupan. Kesalahan tidak hanya menjadi batu loncatan manusia, tetapi juga membangun satu demi satu anak tangga menuju pengalaman hidup yang membekas hingga akhir hayat. Ya, pengalaman klise yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Dikhianati.
Semula tampak baik-baik saja. Pak Kumis mengirimkan banyak modal untuk mengembangkan usaha barang rongsokan Karim. Saking royalnya, Pak Kumis tidak mengontrol pemberian modal. Hasilnya pun tidak jelas. Tidak ada laporan pemasukan, tetapi penanaman modal lanjut terus untuk Karim. Masalah ini tercium oleh Armini. Pertengkaran tak terelakkan. Terlebih kala itu Aning sudah memasuki jenjang putih abu-abu dan membutuhkan laptop. Usut punya usut, jutaan uang yang diberikan oleh Pak Kumis justru dipakai Karim untuk foya-foya dan bermain wanita. Istri Karim memiliki motor, ponsel, dan perhiasan baru dari uang Pak Kumis. Amat terpuruk, rasanya. Bagaikan petir di siang bolong, Pak Kumis dihadapkan oleh takdir Tuhan. Tak dapat disangkal, tak dapat dihalau, lubuk hati lebur sebab kepercayaan telah hancur.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, mungkin karena Tuhan menunjukkan kuasanya, usaha lapak rongsokan Karim gulung tikar. Kebangkrutan dan kesalahan mendalam kepada Pak Kumis menyenggol sisi psikologisnya hingga mengalami depresi. Di malam senyap dengan helaan napas berat kesekian kalinya, Karim menangis sampai bersujud-sujud di hadapan Pak Kumis dan Armini. Karim bahkan mengembalikan semua perhiasan yang telah dibeli kepada Pak Kumis. Pasangan yang nekat merantau dan mempercayai semua orang itu hanya bergeming–membiarkan omongan Tuhan yang menjawab.
“Mobil lapak mau dipegang saya atau kamu?” tanya Pak Kumis memecah kesunyian malam.
Karim mendongakkan kepala. ”Bos aja.” Lalu, dia menundukkan kepala kembali.
Sejak saat itu, Karim tidak terlihat lagi di wilayah sekitar. Dia membawa sejumlah perhiasan, tetapi meninggalkan utang sebesar Rp100 juta dan mobil bak reyot kepada Pak Kumis. Dengan (terpaksa) berbesar hati, Pak Kumis menerimanya. Dia mulai merangkak maju menghadapi keniscayaan dunia.
ADVERTISEMENT
Pada 2008, lapak rongsokan Pak Kumis dibuka. Anak buah dari berbagai daerah mulai berdatangan, terutama wilayah Cirebon, Tegal, dan Indramayu. Logat ngapak terdengar nyaring di telinga. Biasanya, ketika jam makan siang tiba, para anak buah akan berkumpul dengan nasi padang atau nasi warteg di lantai. Tanpa cuci tangan–atau setidaknya cuci tangan lewat sedikit air mineral–mereka makan bersama. Kuku-kuku hitam mendarat langsung di atas campuran nasi dan telur dadar. Kalau ada yang belum makan, mereka akan menawarkan dengan “Madhang, madhang!” atau “Kepriben iki, inyong wis tuku nasi neng warung. Nyoh, kanggo rika.”
Nanang, anak buah rongsokan. FOTO: Annisa Dyah Novia Arianto
Tiap-tiap anak buah memiliki cerita unik tersendiri. Abdul, anak buah yang tidak bisa baca sama sekali. Namun, buku-buku atau koran-koran bekas di lapak rongsokan menuntunnya untuk menyelami dunia literasi. Secara otodidak, Abdul belajar membaca meskipun berada di tempat kumuh, bukan di pendidikan formal. Alhasil, Pak Kumis mempercayakannya untuk menjadi tukang timbang barang rongsokan. Secara tidak langsung, Abdul menjadi kasir di sana. Literasi memang menjadi faktor penting dalam menunjang kehidupan manusia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi atau berada dalam sepuluh negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Abbas, sopir mobil bak kawakan. Walaupun mobil lapak sudah reyot, Abbas tetap mengemudi dengan kecepatan tinggi dan gunungan barang rongsokan menjulang tinggi. Persetan dengan angin kuat yang menerpa mobil, Abbas meneruskan perjalanan menuju pengepul besar. Suatu ketika, di jalanan yang sempit, mobil bak berhadapan dengan mobil luxury. Mobil Abbas tidak bisa lewat, sementara mobil luxury tersebut memiliki space di sampingnya. Abbas yang gemas dengan keegoisan pengendara mobil mewah tersebut melampiaskan kekesalannya dengan membuka pintu mobil lalu berjalan meninggalkannya.
Bagen bae dah tuh jalanan macet. Udah tau rongsokan gue segede gaban, masih aje egois, kagak mau minggir,” ucap Abbas ketika menceritakan pengalamannya ketika jam makan siang.
“Wiihh! Bagus, Pak Abbas!” Para anak buah di sekitar Abbas malah bersorak ria mendukung keputusannya untuk meninggalkan mobil.
ADVERTISEMENT
Kenyamanan bekerja di lapak rongsokan tidak hanya didasari pada personalitas Pak Kumis, tetapi juga upah dan pelayanan yang diberikan Pak Kumis terasa lebih dari cukup. Sebagai bos, Pak Kumis berusaha sebaik mungkin untuk mengasah kecakapan anak buah. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia masih tertinggal dan berada di urutan ke 50 dari 141 negara, masih di bawah Malaysia dan Thailand.
Setiap pagi, para anak buah telah disediakan kopi dan gorengan lalu uang makan siang, uang harian, uang mingguan, uang bulanan, uang lembur, uang mengirim barang, dan uang-uang lain. Sebisa mungkin, Pak Kumis menyejahterakan para anak buahnya. Hidup susah menjadi salah satu faktor keroyalan Pak Kumis. Di sisi lain, para anak buah yang notabenenya kaum marjinal, lusuh-lusuh, terkadang belum memiliki kesadaran untuk membalas budi. Mereka justru merasa kesenangan dan berpotensi memanfaatkan keuangan Pak Kumis. Sebagai makhluk sosial, sudah menjadi hukum tersirat bahwa balas budi adalah tindakan mempererat silaturahmi. Walaupun Armini sering marah besar karena hal itu, Pak Kumis tetap kukuh pada prinsipnya untuk tetap berbagi. Barangkali Tuhan tidak membalas materi, tetapi karunia tak terperi.
ADVERTISEMENT
Bukan hari demi hari, melainkan tahun demi tahun yang berat dilewati. Genangan air mata dibiarkan mengering sepanjang perjalanan. Sedikit demi sedikit, Tuhan menjawab doa Armini dalam kesunyian. Pak Kumis dan Armini perlahan menerima keadaan. Derajat mereka ditinggikan berkat kepercayaan sebagai bekal kehidupan. Fondasi rumah dan keluarga dibangun sebaik-baiknya.
Kini, si sulung bekerja sebagai guru di Student One Islamic School, Gunungsindur. Dia juga tengah melanjutkan pendidikan magister Teknologi Pendidikan di Universitas Ibn Kaldun, Bogor. Sementara itu, si bungsu masih berstatus mahasiswa strata satu Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara. Bak keberuntungan China, Pak Kumis menganggap bahwa angka tujuh adalah hoki. Dalam bahasa Jawa, pitu (tujuh) atau cocokloginya adalah pitulungan yang berarti pertolongan Tuhan. Pitulungan tidak hanya sekadar uang, tetapi juga orang-orang baik di sekitar yang membawa keberkahan. Mak bedunduk rezeki Tuhan datang dari mana saja dan lewat apa saja. Dengan segala suka dukanya, kehidupan adalah wadah tak terhingga untuk mensyukuri rahmat Tuhan.
ADVERTISEMENT
“Sekali pun jatuh bangun, dibohongi sana-sini, dan berjalan dengan kaki limbung, tetapi yang penting ‘kan ilmu dan pengalamannya. Tiba-tiba ketemu sama si A, tiba-tiba ketemu sama si B. Kalau melihat pencapaian orang lain dengan mobil-mobil atau pangkat-pangkatnya. Kita punya apa? Kita punya cerita. Ternyata, sebodoh apa pun kita, hidup harus tetap dinikmati. Kalau bahasa Jawa-nya, wis sing enak lakono no. Apa pun yang enak untuk hidup, lakukan saja,” pungkas Pak Kumis ketika diwawancarai di lapak rongsokan.
“Weee! Lancar jaya, Pak Bos! Keren bener!” seru para anak buah.
Di antara mereka, terselip Baridin yang sedang mengangkat tinggi-tinggi kertas bonnya. Dia ingin barang rongsokannya dibayar oleh Pak Kumis secepatnya karena sebentar lagi akan pulang kampung ke Cirebon.
ADVERTISEMENT
“Bos, mau minta duit, Bos!” pekik Baridin mengakhiri sorak ria para anak buah.
“Sabar,” balas Armini dengan tatapan sinis.
Kemudian, para anak buah malah tertawa bersama.
“Hadeh, Baridin, Baridin.”
PUISI
Tak Mengerti
Karya: Dra. Armini
Bukan suatu kesalahan bila kudatang
Menjejaki tanpa harus permisi
Tiada pula yang melarang
Tempat kaki berpijak untuk mengais rezeki
Selaras dengan rasa yang kumiliki
Tak perlu tahu ijazah apa yang kupunya
Bisa berbagi juga menebar cinta kasih
Itulah tujuan utamanya
Tanpa mengerti pun tak apa
Asal hadirnya diri bisa bermakna
Biarlah aturan hidup sesuai alur-Nya
Sebagai untaian dalam sebuah cerita
Dalam keheningan, ada tanyaku pada-Mu
Dalam simpuhku, ada doa yang kurangkai
Betapa aku merasa tersipu
ADVERTISEMENT
Dengan cara-Mu yang luar biasa
Engkau memberiku perjalanan yang indah
Bahagia tercipta di balik tumpukan sampah
Karena selalu saja ada canda tawa anak buah
Ah… Biarlah tangan ini menjadi saksi yang berkah