Konten dari Pengguna

Bushido: Jiwa Seorang Samurai

Annisa Felicia
Mahasiswa S1 Studi Kejepangan Universitas Airlangga
14 Oktober 2022 18:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Felicia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/cool-japanese-themed-graphic-art-design-2110580219
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.shutterstock.com/id/image-illustration/cool-japanese-themed-graphic-art-design-2110580219
ADVERTISEMENT
Kelompok yang memiliki pengaruh politik paling besar mulai dari akhir abad ke-12 sampai akhir abad ke-19 adalah kelompok prajurit yang disebut dengan bushi atau samurai. Keberadaan para samurai memiliki hubungan erat dengan melemahnya pusat pemerintahan Jepang pada periode Heian. Akibatnya, banyak dari keluarga aristokrat yang kemudian berpindah ke daerah-daerah kemudian membentuk kelompok-kelompok yang sifatnya mandiri untuk menguasai daerah-daerah.
ADVERTISEMENT
Kelompok-kelompok ini bersaing untuk memperluas wilayah kekuasaan sehingga kemudian dibentuklah pasukan bersenjata yang beranggotakan para penduduk lokal. Pasukan ini dikenal sebagai samurai. Kata samurai berasal dari bahasa Jepang kuno yaitu “samorau” yang kemudian berubah menjadi “saburai” dan selanjutnya menjadi “samurai” yang memiliki arti pelayan yang mengabdi kepada majikannya.
Ketika samurai awal terbentuk yaitu pada periode Kamakura, samurai menjadi kelompok yang menempati strata sosial atas sehingga mereka sangat dihormati. Selain bertugas dalam bidang pengamanan dan pertahanan di daerah, para samurai juga memiliki tugas di bidang administrasi dan kemasyarakatan seperti melakukan pemungutan pajak serta mengatur tata kemasyarakatan.
Ketika awal dibentuk, samurai menggunakan senjata berupa busur dan panah (yumi). Senjata ini kemudian berganti menjadi pedang (katana) karena dianggap menjadi senjata yang paling efisien untuk digunakan. Pedang (katana) ini kemudian menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari samurai dan bahkan menjadi hal yang harus diperlakukan dan dijaga sebagai kehormatan.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan adanya peningkatan status yang dimiliki samurai, sebagai seseorang yang dihormati sekaligus penyandang peran yang penting di tengah kehidupan masyarakat, samurai sebagai bushi kemudian mengembangkan etika bushido yang sarat dengan nilai-nilai serta moral yang tinggi. Istilah bushido ini berasal dari kata “bu” yang memiliki arti beladiri, “shi” yang memiliki arti samurai dan “do” yang artinya jalan.
Secara sederhana, bushido memiliki arti jalan terhormat yang harus ditempuh oleh samurai dalam pengabdiannya. Etika bushido mengandung ajaran-ajaran moral yang tinggi dan terkait dengan tanggung jawab, kesetiaan, sopan santun, tata krama, kerelaan berkorban, disiplin, hemat, kerja keras, pengabdian, ketajaman berpikir, kesederhanaan, kesehatan jasmani dan rohani, kejujuran, dan pengendalian diri.
Pada zaman Edo (tahun 1603-1867), samurai menduduki peringkat teratas dari empat kelas kelompok masyarakat dalam sistem stratifikasi sosial Jepang saat itu. Kelas-kelas yang menjadi bagian dari stratifikasi tersebut adalah: bushi yaitu kaum samurai atau prajurit, nomin atau petani, kosakunin atau pengrajin, dan shomin atau pedagang.
ADVERTISEMENT
Adanya sistem stratifikasi sosial ini menjadi pembeda antara tindakan bushi dan tindakan tiga kelas lainnya dilihat dari segi moral feodal. Walaupun kemudian sistem kelas ini dihapus ketika terjadinya Restorasi Meiji pada akhir abad ke-19, para mantan samurai saat itu aktif berkontribusi dalam modernisasi masyarakat Jepang sehingga mereka memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Hasilnya, semangat samurai atau bushido kemudian menjadi salah satu faktor penting yang membentuk pemikiran orang Jepang.
Salah satu sumber utama dari terbentuknya bushido adalah agama Buddha yang pada awalnya diperkenalkan dari India melalui China dan Korea. Agama Buddha mengajarkan rasa tenang dan mempercayakan semuanya pada takdir, tunduk pada hal yang tidak terelakkan, ketenangan ketika dihadapkan dengan bahaya, malapetaka, dan penghinaan dalam hidup, serta bersahabat dengan kematian.
ADVERTISEMENT
Selain agama Buddha, Bushido juga mendapat pengaruh ajaran Buddha Zen. Zen kemudian menjadi dasar moral dan filosofis samurai yang menekankan bahwa tidak ada batas antara hidup dan mati. Meditasi yang telah menjadi tradisi Zen ternyata dianggap sangat cocok bagi samurai yang di dalam keseharian hidupnya sebagian besar dihabiskan dalam perenungan dan kesunyian.
Etika konfusianisme dan ajaran Shinto pun ikut berperan dalam bushido. Etika konfusianisme kala itu masuk ke Jepang pada periode Yamato (masa pemerintahan kaisar Shotoku). Dalam ajarannya, konfusianisme ini mengatur mengenai harmonisasi di dalam hubungan antar sesama manusia, hubungan manusia dengan makhluk lainnya, dan hubungan manusia dengan alam. Adapun dalam perkembangannya, ajaran bushido sering diekspresikan melalui seppuku yang dilakukan oleh samurai.
ADVERTISEMENT
Tindakan Seppuku dilakukan oleh samurai dengan menusuk atau merobek perut mereka menggunakan pedang demi mempertahankan kehormatan atau harga diri mereka. Bagi samurai, seppuku merupakan sebuah tindakan yang sifatnya mulia. Maksudnya, ketika seorang samurai tidak dapat menegakkan kehormatannya semasa hidupnya ia kemudian lebih memilih kematian. Seorang samurai lebih memilih untuk hidup singkat tetapi bermakna daripada memiliki hidup yang panjang namun tanpa kharisma.
Etika bushido kemudian mengalami masa pengendapan dan pematangan ketika terjadinya isolasi dalam kepemimpinan Shogun Tokugawa. Pada akhirnya, bushido menjadi identitas dan karakter nasional bangsa Jepang. Secara nasional, etika bushido kemudian dipahami sebagai etika yang dapat menjamin stabilitas serta kemandirian bangsa yang kemudian diimplementasikan secara menyeluruh oleh masyarakat Jepang. Hingga saat ini, ajaran bushido masih dilaksanakan dan diwariskan kepada generasi muda Jepang melalui berbagai pendidikan dasar di rumah maupun di sekolah.
ADVERTISEMENT
Etika bushido yang ada ternyata terbagi ke dalam delapan bentuk yang terdiri dari Gi (integritas), Yu (keberanian), Jin (murah hati), Rei (hormat dan santun kepada orang lain), Makoto-Shin (kejujuran dan ketulusan), Meiyo (menjaga nama baik dan kehormatan), Chugo (kesetiaan pada pemimpin), dan Tei (peduli).
Integritas atau yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Gi yang berkaitan dengan kemampuan untuk memecahkan sebuah masalah sekaligus mengambil keputusan yang dirasa paling tepat dengan dasar alasan yang rasional. Selanjutnya, seorang samurai juga harus menerapkan etika bushido Yu yang melambangkan ekspresi kejujuran dan keteguhan jiwa. Dengan memegang etika bushido Yu, samurai diharapkan akan senantiasa menegakkan dan mempertahankan kebenaran meskipun dipenuhi tekanan dan hambatan.
Untuk menjaga hubungan dengan sesama manusia, etika bushido Jin tidak kalah penting. Jin menyimbolkan perasaan saling mencintai sesama yang berdasarkan kasih sayang dan simpati. Adapun etika bushido yang diterapkan secara mendalam oleh para samurai yaitu Rei yang memiliki makna sikap hormat dan sopan santun yang tulus kepada semua orang. Penanaman Rei dilakukan sejak usia dini di rumah dan sekolah sehingga Rei sangat diutamakan dalam semua aspek kehidupan masyarakat Jepang.
ADVERTISEMENT
Selain empat etika bushido yang sudah disebutkan di atas, ada tiga etika bushido yang identik dengan penggambaran samurai bahkan di mata orang awam. Tiga etika bushido yang dimaksud yaitu makoto-shin, meiyo, dan chugo.
Makoto-shin merujuk pada etika samurai yang menjunjung tinggi kejujuran dan sebuah kebenaran. Meiyo merujuk pada etika samurai untuk menjaga nama baik dan kehormatan. Lalu chugo yang merujuk pada etika samurai yang berkaitan dengan kesetiaan kepada pemimpin mereka.
Dengan banyaknya etika bushido yang ada, ada satu etika bushido yang ternyata menjadi dasar dari semua prinsip moral bushido yaitu Tei. Tei merupakan etika bushido yang berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan bangsa dan negara, serta lingkungan alam yang harus diekspresikan secara nyata.
ADVERTISEMENT
Dari paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa prinsip bushido mempengaruhi pemikiran orang Jepang dan sampai saat ini masih diajarkan kepada generasi muda Jepang. Secara singkat, prinsip bushido mengajarkan tentang bagaimana seorang manusia menjalani kehidupan dengan penuh hormat dan kharisma yang kemudian diimplementasikan pada sikap-sikap seperti rasa berani, murah hati, saling menghormati, kesetiaan, sopan santun, kejujuran dan ketulusan, serta rasa peduli.
Referensi:
Benedict, Ruth. (1982). Perang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
Sonda Yamaguchi, N., Scholar, I., & Sonda, N. (2007). Bushido (chivalry) and the traditional Japanese moral education. Online Journal of Baha’i Studies, 1(1), 469–477. http://www.ojbs.org
Suliyati, T. (2013). Bushido Pada Masyarakat Jepang: Masa Lalu dan Masa Kini Oleh : Titiek Suliyati. Jurnal Bahasa, Sastra Dan Budaya Jepang, 1.
ADVERTISEMENT