Konten dari Pengguna

Pelecehan Verbal terhadap Pria: Fenomena Mas Batik di Media Sosial

Annisa Indri Munahayati
Aktivis Sosial dan Mahasiswi Psikologi di Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
2 Mei 2025 15:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Indri Munahayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa waktu terakhir, dunia maya, khususnya platform TikTok, dihebohkan oleh kemunculan sosok "Mas Batik", seorang pria yang menjadi host live streaming penjualan batik melalui platform Tiktok. Gaya bicaranya yang tenang dan sopan, serta ketampanannya sukses mencuri perhatian puluhan ribuan penonton, terutama wanita. Namun, di balik popularitasnya, terdapat isu serius yang sering terabaikan: pelecehan verbal terhadap pria. Fenomena ini membuka diskusi penting mengenai bagaimana pelecehan seksual tidak mengenal gender dan bagaimana masyarakat perlu lebih peka terhadap isu ini.
ADVERTISEMENT
Komentar yang Mengganggu
Dalam siaran langsung tersebut, komentar-komentar yang bersifat seksual dan merendahkan sering kali muncul. Komentar seperti, “Mas, pangku,” atau “Mas boleh aku cium?” bahkan " spill yang dibawah mas (mengarah ke alat kelamin host)" bukanlah sekadar candaan, melainkan bentuk pelecehan verbal yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi si penerima. Banyak orang yang menganggap komentar tersebut sebagai pujian atau bentuk ketertarikan, tetapi penting untuk diingat bahwa komentar yang bersifat seksual dan tidak diinginkan tetaplah pelecehan, terlepas dari niat di baliknya.
Dampak Emosional
Pelecehan verbal dapat memiliki dampak emosional yang signifikan pada korban. Laki-laki yang menerima komentar semacam ini mungkin merasa tertekan, malu, atau bahkan merasa terancam. Dalam banyak kasus, mereka mungkin merasa tidak memiliki ruang untuk mengungkapkan ketidaknyamanan mereka karena norma sosial yang mengharuskan laki-laki untuk selalu kuat dan tidak menunjukkan kelemahan. Hal ini dapat menyebabkan mereka menahan perasaan dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pelecehan tersebut.
ADVERTISEMENT
Persepsi Publik yang Bias
Selama ini, narasi tentang pelecehan verbal cenderung terfokus pada perempuan sebagai korban. Ketika laki-laki mengalami hal serupa, sering kali mereka dianggap "beruntung" atau "tidak masalah". Misalnya, komentar yang merendahkan atau bersifat seksual terhadap laki-laki sering kali dianggap sebagai lelucon atau pujian yang tidak berbahaya. Hal ini menciptakan stigma bahwa laki-laki seharusnya kuat dan tidak boleh merasa terganggu oleh komentar semacam itu. Namun, kenyataannya, laki-laki juga bisa merasa tidak nyaman, tertekan, bahkan trauma akibat perlakuan tersebut.
Stigma dan Ketidakberdayaan
Stigma yang melekat pada laki-laki yang mengeluh tentang pelecehan seksual sering kali membuat mereka merasa terisolasi. Mereka mungkin merasa bahwa mengungkapkan ketidaknyamanan mereka akan dianggap sebagai tanda kelemahan. Akibatnya, banyak laki-laki yang memilih untuk diam dan tidak melaporkan pengalaman mereka, yang pada gilirannya memperkuat norma sosial yang merugikan ini. Hal ini menunjukkan perlunya perubahan dalam cara kita memandang dan mendiskusikan isu pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Ruang Publik Digital yang Rentan
Media sosial, terutama platform live seperti TikTok, menciptakan ruang publik yang rentan terhadap pelecehan. Dalam siaran langsung, puluhan ribuan bahkan bisa menembus ratusan ribu penonton dapat memberikan komentar secara langsung, dan sulit bagi host untuk menyaring atau menghindari komentar yang tidak pantas. Ketika penonton lain ikut menertawakan atau membiarkannya, pelecehan tersebut menjadi terlihat "normal" dan diterima oleh masyarakat.
Normalisasi Pelecehan
Normalisasi pelecehan di ruang publik digital dapat menciptakan budaya di mana tindakan tidak pantas dianggap sebagai hal yang wajar. Hal ini dapat mengakibatkan korban merasa bahwa mereka tidak memiliki hak untuk merasa terganggu atau tidak nyaman. Dalam konteks "Mas Batik", ketika komentar-komentar seksual dibiarkan tanpa tanggapan atau kritik, hal ini dapat memperkuat pandangan bahwa pelecehan verbal terhadap laki-laki adalah hal yang dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Kesadaran Kolektif
Sudah saatnya masyarakat mulai menyadari bahwa pelecehan verbal tidak mengenal gender. Edukasi tentang batasan interaksi dan etika berkomentar di media sosial harus diperluas. Setiap individu, terlepas dari gender, berhak untuk merasa aman dan dihargai. Dukungan untuk korban pelecehan juga harus bersifat inklusif dan tidak bias gender.
Edukasi dan Kesadaran
Pendidikan tentang batasan interaksi dan etika berkomentar di media sosial harus dimulai sejak dini. Sekolah dan institusi pendidikan perlu mengintegrasikan materi tentang penghormatan terhadap orang lain, pentingnya persetujuan, dan dampak dari pelecehan seksual. Dengan meningkatkan kesadaran, diharapkan masyarakat dapat lebih peka terhadap isu pelecehan dan berani melawan tindakan yang tidak pantas