Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perempuan dalam Pusara Organisasi: Pemimpin atau Pelengkap?
20 Maret 2025 21:04 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Annisa Jahro Pandiangan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam berbagai organisasi, peran perempuan terus menjadi perdebatan yang menarik. Sejarah mencatat bahwa perempuan sering kali dianggap sebagai pelengkap dalam struktur organisasi, bukan sebagai pemimpin utama. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender semakin meningkat, menuntut perubahan dalam pola pikir dan kebijakan organisasi. Lantas, apakah perempuan benar-benar telah mendapatkan tempat yang setara dalam kepemimpinan, atau masih terjebak dalam bayang-bayang dominasi laki-laki?
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor utama yang menyebabkan perempuan sulit mencapai posisi puncak dalam organisasi adalah budaya patriarki yang telah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak lama, ada anggapan bahwa kepemimpinan adalah ranah laki-laki, sementara perempuan lebih cocok untuk peran pendukung. Meskipun banyak perempuan yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang sama, bahkan lebih unggul, mereka tetap menghadapi hambatan struktural yang membatasi ruang gerak mereka.
Di dunia bisnis, politik, maupun organisasi sosial, perempuan sering kali menghadapi tantangan berlapis, mulai dari stereotip gender, kurangnya akses ke jaringan profesional, hingga kebijakan yang kurang mendukung partisipasi mereka. Beberapa organisasi bahkan masih menerapkan kebijakan yang tidak ramah bagi perempuan, seperti kurangnya fleksibilitas kerja bagi ibu yang bekerja atau adanya bias dalam proses promosi jabatan.
ADVERTISEMENT
Namun, tren global menunjukkan adanya perubahan positif. Banyak perusahaan dan lembaga yang mulai menyadari bahwa keberagaman gender dalam kepemimpinan membawa manfaat besar. Studi menunjukkan bahwa organisasi dengan kepemimpinan yang lebih inklusif cenderung memiliki kinerja yang lebih baik, inovasi yang lebih tinggi, serta lingkungan kerja yang lebih harmonis. Hal ini membuktikan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap, tetapi juga aset berharga dalam kepemimpinan.
Di Indonesia sendiri, semakin banyak perempuan yang berhasil menduduki posisi strategis di berbagai sektor. Mulai dari menteri, CEO perusahaan besar, hingga pemimpin organisasi sosial, perempuan Indonesia telah membuktikan kapasitasnya. Namun, jumlah mereka masih belum sebanding dengan laki-laki, yang menunjukkan bahwa perjuangan untuk kesetaraan masih panjang.
Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan menjadi kunci utama dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam organisasi. Dengan memberikan akses yang setara terhadap pendidikan, pelatihan, serta peluang karier, perempuan dapat lebih percaya diri dan kompetitif dalam meraih posisi kepemimpinan. Selain itu, organisasi juga perlu mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif, seperti mentorship bagi perempuan muda dan kebijakan fleksibilitas kerja yang mendukung keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan pentingnya perempuan dalam kepemimpinan juga harus didukung oleh perubahan pola pikir di masyarakat. Perempuan harus didorong untuk berani mengambil peran strategis dan tidak lagi merasa terbatas oleh norma sosial yang membatasi potensi mereka. Dengan begitu, ekosistem organisasi akan menjadi lebih seimbang dan progresif.
Bukan hanya perempuan yang harus berjuang, tetapi juga laki-laki yang mendukung kesetaraan harus terlibat dalam perubahan ini. Kepemimpinan yang inklusif bukan berarti menggantikan laki-laki dengan perempuan, tetapi menciptakan lingkungan yang adil di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi.
Dalam sejarah, ada banyak perempuan yang membuktikan bahwa mereka mampu menjadi pemimpin yang hebat. Misalnya, Margaret Thatcher dalam politik, Indra Nooyi dalam bisnis, dan Malala Yousafzai dalam advokasi pendidikan. Kisah mereka menjadi bukti nyata bahwa perempuan tidak hanya bisa memimpin, tetapi juga membawa perubahan besar bagi dunia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, teknologi dan era digital juga memberikan peluang baru bagi perempuan dalam kepemimpinan. Dengan akses informasi yang lebih luas, perempuan kini lebih mudah untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan, membangun jaringan profesional, serta menciptakan peluang sendiri melalui kewirausahaan digital. Era ini membuka kesempatan bagi perempuan untuk menunjukkan kapasitas mereka tanpa harus terhalang oleh hambatan fisik atau struktural.
Organisasi yang ingin berkembang di masa depan harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini. Jika sebuah organisasi tetap mempertahankan sistem yang menghambat perempuan untuk naik ke posisi kepemimpinan, maka mereka akan kehilangan potensi besar yang bisa mendukung pertumbuhan dan inovasi. Oleh karena itu, perubahan harus dilakukan secara menyeluruh, dari kebijakan internal hingga budaya kerja yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, perempuan dalam organisasi tidak boleh hanya menjadi pelengkap, tetapi harus diberikan kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin. Dengan menyingkirkan hambatan sistemik dan membangun ekosistem yang lebih inklusif, kita dapat menciptakan organisasi yang lebih kuat, inovatif, dan berdaya saing tinggi.
Kesetaraan dalam kepemimpinan bukan hanya isu gender, tetapi juga tentang keadilan dan efektivitas organisasi. Saat perempuan diberikan kesempatan yang setara, seluruh organisasi dan masyarakat akan merasakan manfaatnya. Oleh karena itu, saatnya kita tidak lagi mempertanyakan apakah perempuan layak menjadi pemimpin, tetapi bagaimana kita dapat memastikan bahwa mereka memiliki akses yang setara untuk mencapai posisi tersebut.
Penulis: Annisa Jahro Pandiangan (Ketua PW IPM Sumatera Utara Bidang Ipmawati)