Konten dari Pengguna

Refleksi Gaya Hidup Melalui Popularitas Kuteks Berujung Menjadi Budaya Konsumen

ANNISA KUSUMA RAHMAWATI
Mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga
28 Oktober 2024 15:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ANNISA KUSUMA RAHMAWATI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu produk konsumsi yang sampai saat ini masih menjadi produk andalan dalam dunia kecantikan ialah kuteks. Pemakaian dan penyebarluasan kuteks saat ini tidak terbatas bahkan masyarakat semakin mudah untuk menemukan variasi maupun bentuk-bentuk unik dari kuteks. Eksistensi kuteks sudah seakan menjadi lifestyle bahkan dapat menjadi pembeda kelas sosial di masyarakat. Namun, perkembangan kuteks saat ini tidak sekadar menjadi pemenuhan gaya hidup atau bentuk berekspresi terutama dalam hal merias diri karena kecenderungan penggunaan kuteks masih mendapat stigma yang terus berkembang sehingga perlu adanya pemahaman kritis sekaligus sebagai bentuk penyaringan dalam pemakaian produk-produk penghias diri lainnya.
ADVERTISEMENT
Mengenal Dekat Sejarah Perkembangan Kuteks
Pemakaian henna di India. Photo by Vatsal Bhatt from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Pemakaian henna di India. Photo by Vatsal Bhatt from Pexels
Berdasarkan artikel dari Krisnawati et al. pada tahun 2022 mengenai Nail Art bahwa Nail Art atau melukis kuku telah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan, dalam pertumbuhan sejarah dari menicure set (alat untuk merapihkan, memotong, dan membentuk kuku) sudah ditemukan semenjak ribuan tahun yang lalu yakni pertama kali ditemukan pada saat penggalian makam Kerajaan Babel Kuno (3500-1781 SM). Pada tahun tersebut, kaum Babylonia menggunakan pewarna kuku berbahan kohl sebagai pembeda status sosial seperti kuku dengan warna hitam menandakan kalangan atas sedangkan kuku berwana hijau menandakan kalangan bawah. Bahkan kegiatan mewarna kuku di era tersebut juga dilakukan oleh para prajurit ketika akan berperang. Di tahun tersebut pula masyarakat India sudah melakukan kegiatan mewarnai kuku namun memiliki perbedaan pada bahan dasar pembuatannya yakni menggunakan henna.
ADVERTISEMENT
Perkembangan mewarnai kuku berlanjut pada masa Ratu Nefertiti dan Cleopatra, Mesir Kuno (1300 SM), di mana kegiatan menggosok tangan menggunakan minyak dan mewarnai kuku dengan henna sudah diperkenalkan. Masih sama seperti kaum Babylonia bahwa penggunaan warna dalam mewarnai kuku tetap diperhatikan sebagai pembeda status sosial yakni rakyat jelata hanya diijinkan menggunakan warna pucat sedangkan untuk rakyat kelas atas menggunakan warna merah. Beranjak pada tahun 600 SM, emas dan perak sudah mulai digunakan terutama oleh keturunan raja, terkhususnya pada saat Dinasti Chou. Di era ini pun rakyat biasanya dilarang menggunakan cat kuku karena jika didapati memakai akan mendapat hukuman mati. Kemudian tahun setelah masehi, tahun 1920 dan 1930, industri otomotif berkembang pesat di Amerika Serikat. Pada era tersebut, seorang make up artist kebangsaan Perancis, Michelle Menard, menyumbangkan ide kuteks modern yang terinspirasi dari kilauan car mobil sehingga membuat ia berkeinginan memberikan efek serupa. Michelle kemudian berkolaborasi dengan perusahaan tempat ia bekerja untuk memformulasikan produk dan pada tahun 1932 terciptakah kuteks cari dari brand yang terkenla hingga saat ini yakni Revlon. Dan di era industri teknologi abad ke-20 ini, mengutip kembali dari artikel Krisnawati et al. (2022), Kim Jeongme berpendapat bahwa cat kuku dengan warna merah muda, bening sangat digemari hingga pada dekade sekarang banyak muncul berbagai macam tren manicure mulai dari alami hingga 3D, seniman nail art pun mulai bermunculan.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan Identitas dan Penggunaan Kuteks
Ragam variasi nail polish. Photo by unsplash/Annie Spratt
Sejalan dengan sejarah berkembangnya kuteks di masyarakat tentu hal-hal yang menyertai perkembangan kuteks juga perlu diperhatikan, seperti pemilihan bahan kuteks dan fungsi awal penggunaan kuteks. Berorientasi dari sejarah, bahan-bahan yang banyak dipilih pada masa lalu dalam pembuatan kuteks lebih memanfaatkan bahan alami, seperti henna, kunyit, mineral, minyak, bahkan lilin alami. Penggunaan bahan alami tentu menjadi pilihan paling dekat karena ketersediaannya yang melimpah, namun tetap teknologi yang digunakan pada era saat itu belum se instan era sekarang. Kandungan dalam bahan alami itu pun tentu lebih berkualitas sehingga tahan lama.
Penggunaan kuteks juga menjadi bentuk penggambaran identias atau menentukan status sosial yang diduduki pada masa itu, seperti raja, prajurit, bahkan bagi rakyat biasa tetap memiliki aturan dan sanksi tertentu dalam penggunaan kuteks. Penggunaan ini tentu tidak berhenti di era itu dan tidak melulu sebagai bentuk penentu identitas sosial masyarakat. Bahkan seiring kuteks berkembang, pemanfaat kuteks bergerak hingga menjadi bentuk ritual agama dan budaya.
ADVERTISEMENT
Dengan perkembangan teknologi dan munculnya berbagai media massa, penggunaan kuteks dapat menyentuh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari perkembangan bahan yang digunakan, perluasan penyebaran, hingga variasi pemakaian pada individu tersebut. Bahan yang dipakai pada era sebelumnya tentu menjadi inspirasi karena ketahanan bahan sudah tidak perlu diragukan, namun “keinginan” manusia yang beragam tentu tidak menunda evolusi pemilihan warna kuteks, salah satunya pencampuran dengan bahan-bahan tertentu seperti alkohol yang menjadi salah satu alternatif perkembangan untuk tetap memperhatikan eksistensi bahan alami yang digunakan. Penambahan bahan khusus seperti alkohol tentu memiliki maksud dan tujuan berbeda seperti ingin menambah unsur estetika yang beragam, formula pembuatannya lebih mudah, atau meminimalisir pemborosan dalam menggunakan bahan alami. Tentu dengan menambah bahan seperti alkohol dalam kuteks tetap memberikan daya untuk berevolusi seperti mulai dikembangkan kuteks dengan gaya mudah terkelupas (peel-off) atau bahkan dengan jenis kuteks halal. Menurut riset dari Sholichah pada tahun 2023, terdapat beberapa karakteristik yang menjadi indikasi bahwa kuteks tersebut halal dan sah dalam wudhu, yakni memperhatikan bahan dasar seperti polimer atau waterbase, tidak berbau tajam dan tidak mudah menggumpal, mudah kering dan juga mudah dikelupas, serta memiliki logo halal MUI.
ADVERTISEMENT
Sadarkah bahwa Kuteks telah menjadi Budaya Konsumen?
Henna sebagai tambahan aksesoris pada pengantin wanita. Photo by Marina Abrosimova from Pexels
Dengan adanya beberapa keterlibatan dalam perkembangan kuteks, terdapat suatu kebiasaan yang semakin merambat mulai dari penggunaan secara luas di masyarakat, menjadi sebuah tren dari beberapa kalangan karena sebagai bentuk memperindah diri dan berekspresi, hingga pada penyebarluasan kreativitas yang semakin mudah dijangkau. Kuteks yang pada mulanya menjadi bentuk identitas sosial, suatu identitas yang menentukan kelas sosial mulai berkembang menjadi barang untuk mempercantik diri ditambah dengan pemanfaatan bahan-bahan tertentu yang juga semakin berevolusi, menjadi tren (bentuk kebiasaan yang mudah ditiru oleh kalangan lain), hingga menimbulkan adanya bentuk atau variasi kuteks yang semakin beragam pula. Tidak jarang saat ini ditemukan penggunaan kuteks untuk kegiatan sehari-hari sebagai bentuk ekspresi diri atau ingin terlihat lebih menarik. Bahkan, terdapat generasi muda sekarang memilih memakai kuteks untuk menambah estetika penampilan saat menonton konser/acara hang out lainnya. Selain itu, kuteks saat ini bagi beberapa lapisan masyarakat legal sebagai riasan tambahan atau menambah kesan indah pada pengantin wanita yang ingin menikah. Desain-desain yang dapat dilukis di atas kuteks pun tidak sedikit jenisnya, seperti penambahan lukisan hewan, mutiara sebagai bentuk variasi 3D, atau bahkan gambar karakter-karakter kesukaan dari setiap individu. Keunikan variasi dan ragam kuteks akan semakin menunjukkan kepopuleran kuteks pada setiap generasi khususnya generasi muda seperti Gen Z dan Gen Alpha.
ADVERTISEMENT
Dengan itu, semakin bervariasi penggunaan kuteks dan semakin kreatif para seniman nail art dalam mengembangkan keberadaan kuteks maka semakin masif pula produksi kuteks di masyarakat dengan bentuk promosi yang heterogen. Hal ini yang menimbulkan adanya budaya konsumen pada masyarakat, akan ada muncul anggapan bahwa tren kuteks harus beredar di masyarakat sebagai bentuk mengikuti perkembangan zaman, atau bahasa sekarang ‘gaul’, dan sebagai bentuk kebebasan mutlak yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak akan ada salahnya jika setiap generasi ingin merasakan estetika kuteks di atas kuku mereka namun perlu diperhatikan kembali atas dasar apa ingin menggunakan kuteks tersebut. Bebas berekspresi tidak perlu sampai memaksakan gengsi demi sensasi. Jadi saat ini tidak dapat disangkal bahwa eksistensi kuteks memang sudah menjadi budaya konsumen di kalangan masyarakat urban terutama para anak-anak muda yang sedang aktif mengikuti perkembangan dunia kecantikan dan fashion.
Ragam motiv nail arts. Image by pixabay.com/Alehandra13