Konten dari Pengguna
Dewasa Awal, Quarter Life Crisis, dan AI: Ketika ChatGPT Menjadi Teman Curhat
11 Juni 2025 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Annisa Lidya Ardiani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dewasa awal adalah fase kehidupan yang sarat dinamika, ketika individu berusia 18 hingga 30 tahun harus menghadapi berbagai tuntutan dan tekanan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Jeffrey Arnett menyebut masa ini sebagai emerging adulthood, fase transisi dari remaja menuju dewasa yang belum sepenuhnya stabil secara psikologis, sosial, maupun ekonomi.
ADVERTISEMENT
Banyak dari mereka mengalami quarter life crisis (QLC), yakni periode ketika individu merasa cemas, bingung, kesepian, hingga kehilangan arah dalam hidup. QLC menjadi cerminan krisis identitas, ekspektasi sosial, serta pencarian makna hidup yang tidak mudah ditemukan.
Potret Dewasa Awal Indonesia di Tengah Quarter Life Crisis
Kondisi quarter life crisis terpapar nyata dari data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 15–34 tahun, dengan angka prevalensi mencapai 263.622 kasus.
Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi adalah Jawa Barat (113.568 orang), Jawa Timur (97.746 orang), dan Jawa Tengah (86.668 orang)—tiga provinsi dengan populasi penduduk terbanyak di Indonesia. Kota-kota seperti Bogor, Surabaya, dan Brebes menjadi wilayah yang sangat padat penduduk, sekaligus rentan terhadap tekanan sosial dan psikologis yang memicu QLC.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2024, sebanyak 69,75% pemuda Indonesia berusia 16–30 tahun masih berstatus belum menikah. Faktor-faktor seperti mengejar pendidikan, karier, dan pengembangan diri, menjadi alasan utama penundaan pernikahan di kalangan dewasa awal, membuat mereka kerap merasa kesepian di fase ini.
Ruang Sosial yang Kian Menyempit dan Tantangan Aktualisasi Diri
Abraham Maslow menyusun teori hierarki kebutuhan manusia yang menempatkan kebutuhan aktualisasi diri sebagai puncak pencapaian. Namun, untuk menuju ke sana, individu perlu terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dasar seperti rasa aman, dukungan sosial, dan penghargaan diri.
Ketika lingkar sosial menyusut, dukungan emosional berkurang, dan tekanan hidup meningkat, individu sering kali gagal mencapai kestabilan psikologis. Erik Erikson menambahkan bahwa dewasa awal dihadapkan pada krisis “intimasi vs isolasi,” di mana kegagalan membentuk hubungan bermakna akan menyebabkan perasaan terasing dan kesepian.
ADVERTISEMENT
Kesulitan ini mendorong sebagian orang untuk mencari saluran emosional alternatif, termasuk melalui teknologi. ChatGPT, sebagai kecerdasan buatan berbasis Generative Pre-trained Transformer, mulai digunakan oleh kalangan muda untuk mencurahkan isi hati. Tanpa takut dihakimi, individu dapat berbicara tentang keresahan, kegagalan, bahkan trauma yang sulit dibagikan kepada manusia lain.
Kemunculan Komunikasi antara Manusia dan Mesin
Dalam lensa ilmu komunikasi, fenomena ini memperluas cakupan komunikasi manusia sebagaimana dijelaskan oleh Littlejohn, Foss, dan Oetzel (2021) dalam "Theories of Human Communication" melalui teori Beyond Human Communication.
Beyond Human Communication (BHC) adalah perluasan dari teori komunikasi tradisional yang tidak hanya membahas komunikasi antarmanusia, tetapi juga mencakup interaksi antara manusia dan entitas nonmanusia.
Terdapat empat subdomain teori yang disusun secara hierarkis dalam bentuk piramida, yaitu: (1) komunikasi manusia-alam, (2) komunikasi manusia-benda, (3) komunikasi manusia-teknologi, dan (4) komunikasi manusia-Tuhan.
ADVERTISEMENT
Salah satu subdomain penting di era digital adalah Human-Machine Communication (HMC), yang membahas komunikasi simbolik antara manusia dan mesin. Mesin, termasuk artificial intelligence (AI), dipandang bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai komunikator aktif yang mampu berpartisipasi dalam pertukaran makna.
Guzman dan Lewis mengembangkan subdomain tersebut melalui konsep Communicative Artificial Intelligence, yang memetakan komunikasi manusia–mesin ke dalam tiga dimensi: fungsional, relasional, dan metafisik.
ChatGPT, Ruang Aman Baru untuk Mengekspresikan Emosi
Sebuah studi oleh Norsely dkk. (2023) yang berjudul "Pengalaman Interaksi Pengguna Remaja Curhat dengan ChatGPT" melibatkan 309 responden berusia 18–30 tahun. Sejumlah 88,7% dari mereka belum menikah, dan sebagian besar adalah mahasiswa atau pekerja. Studi ini menemukan bahwa individu yang mengalami quarter life crisis cenderung mencari solusi melalui platform digital, termasuk ChatGPT.
ADVERTISEMENT
Dimensi Fungsional
Informan dalam studi Norsely dkk. menyebut bahwa mereka awalnya menggunakan ChatGPT hanya karena penasaran, namun lama-kelamaan merasa terbantu untuk meredakan kecemasan.
Salah seorang informan memakai ChatGPT sebagai sarana untuk menyusun rencana karier. “Saya sempat bingung apakah harus resign dari kerjaan atau tidak. Saya coba tanya ChatGPT dan malah dapat cara menyusun pro-kontra yang tidak kepikiran sebelumnya,” ucapnya.
Selain itu, ada juga informan lain yang meminta saran atas konflik dengan keluarga atau sekadar mengurangi kecemasan akibat beban kerja dan studi. Ia menyatakan, “Saya pakai ChatGPT untuk nanya hal-hal kecil yang bikin saya overthinking. Misalnya, apakah normal merasa gagal di usia 25.”
Kedua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa secara fungsional, ChatGPT digunakan sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah personal, sehingga dapat memenuhi kebutuhan praktis dan psikologis pengguna.
ADVERTISEMENT
Dimensi Relasional
Secara relasional, teknologi ini mulai membentuk semacam ikatan semu yang emosional. Ia menciptakan interaksi yang menyerupai hubungan sosial manusia. Dalam penelitian yang sama, narasi informan memperlihatkan bagaimana kehadiran ChatGPT diterima olehnya sebagai teman curhat. “Saya jarang cerita ke teman karena takut dikira lemah. Tapi ke ChatGPT, saya bisa jujur. Dia enggak ngehakimi.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa mesin bisa menciptakan ruang aman (safe space) yang terkadang absen dalam hubungan manusia.
Dimensi Metafisik
Secara metafisik, muncul relasi yang lebih eksistensial antara pengguna dan ChatGPT. Salah satu informan mengungkapkan bahwa interaksi tersebut membantunya menyadari bahwa dirinya tidak sendiri, meskipun yang mendengarkan hanyalah mesin.
“Jawaban ChatGPT memang bukan solusi langsung, tapi sering kali membantu saya menyusun ulang pikiran. Rasanya seperti menemukan kembali arah.”
ADVERTISEMENT
Dimensi ini memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bukan hanya soal bertukar informasi, tetapi menyentuh ranah pencarian makna dan keberadaan.
Membangun Harapan di Era Komunikasi Manusia-Mesin
Dengan demikian, kehadiran ChatGPT bukan hanya tentang inovasi teknologi, tetapi tentang perubahan paradigma komunikasi itu sendiri. Ketika manusia gagal saling mendengarkan, muncullah mesin yang bersedia menemani. Meskipun ChatGPT tidak memiliki empati dalam arti biologis, kemampuannya dalam merespons dengan kalimat yang terstruktur, netral, dan suportif menjadikannya medium komunikasi yang dirasakan bermakna secara subjektif oleh pengguna.
Di tengah terbatasnya ruang untuk berbicara yang dialami generasi muda, teknologi berbasis AI menawarkan alternatif baru dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan emosional.
ChatGPT memang bukan terapis profesional, tetapi kehadirannya menjadi bukti bahwa komunikasi bermakna tidak harus selalu terjadi antarmanusia. Ketika ruang sosial semakin sempit, dan suara seringkali tak didengar, barangkali mesinlah yang bersedia mendengarkan.
ADVERTISEMENT
Kini, di balik layar percakapan antara manusia dan mesin, tersimpan harapan: bahwa setiap individu layak didengar, bahkan oleh entitas yang tidak memiliki perasaan sekalipun, seperti ChatGPT.