Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Perbandingan Penegakkan HAM Indonesia dan Amerika Serikat
12 Januari 2021 6:15 WIB
Tulisan dari Annisa Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Oleh: Annisa Maharani Rahayu/Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia/Matakuliah Perbandingan Politik
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah kita ketahui bahwa hak asasi manusia atau HAM merupakan hak dasar yang telah dimiliki manusia semenjak manusia tersebut lahir dan hak tersebut tidak boleh diambil secara paksa oleh orang lain. Oleh sebab itu, demi menjamin manusia mendapatkan hak tersebut dan agar tidak diambil secara paksa, maka negara harus ikut andil dalam penjaminan hak asasi manusia pada tiap individu (Hidayat, 2016). Salah satu bukti dari adanya peran negara dalam penjaminan hak asasi manusia adalah dengan adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diproklamasikan di dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris pada tanggal 10 Desember 1948.
Walaupun hak asasi telah dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, masih terdapat beberapa pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM sendiri merupakan sebuah perbuatan yang dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok, baik yang dilakukan secara disengaja maupun tidak disengaja, yang bertujuan untuk mengurangi, menghalangi, maupun membatasi HAM perorangan maupun kelompok (Hidayat, 2016). Beberapa tindakan pelanggaran HAM tersebut, yaitu genosida, penewasan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, penghilangan nyawa secara paksa, perbudakan, dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat terdapat banyak pelanggaran kasus HAM, namun yang masih segar di dalam ingatan kita yaitu kasus penembakan enam orang anggota Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia dan penembakan Breonna Taylor di Amerika Serikat.
Kasus Penembakan Enam Anggota FPI
Kasus penembakan yang menewaskan enam orang anggota FPI yang merupakan pengawal Habib Rizieq pada tanggal 07 Desember 2020 bermula pada saat aparat penegak hukum (polisi) ditugaskan untuk melakukan pengintaian terhadap Habib Rizieq yang pada saat itu sedang menuju ke tempat pengajian keluarga, namun pengintaian tersebut ketahuan oleh para pengawal Habib Rizieq. Pengintaian yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut gagal disebabkan karena mobil pengintai dengan ceroboh masuk ke rombongan mobil Habib Rizieq, kemudian di sekitar Jalan Internasional Karawang Barat hingga tol Jakarta-Cikampek Km 50 terjadi aksi saling kejar-mengejar, tempel-menempel, dan adanya kontak tembak antara mobil FPI dengan mobil pengintai hingga pada akhirnya di Km 50 tol Jakarta-Cikampek aksi tersebut berakhir dan dua orang anggota FPI tewas. Di Km 50 pula, aparat penegak hukum kemudian mengambil rekaman CCTV di salah satu warung, memerintahkan warga untuk menghapus dan memeriksa telepon genggam warga sekitar yang melihat, serta memberitahukan kepada warga bahwa aksi tersebut merupakan kasus narkoba dan terorisme (Noroyono, 2020; Briantika, 2020).
ADVERTISEMENT
Sedangkan tewasnya empat anggota FPI lainnya terjadi pada saat di Km 50 menuju Polda Metro Jaya (Noroyono, 2020; BBC Indonesia, 2020). Pada saat itu, polisi memberikan pernyataan bahwa empat anggota FPI yang tersisa berusaha melawan polisi dengan cara mencekik dan merebut senjata miliki polisi, di sisi lain perwakilan FPI memberikan pernyataan bahwa para anggota FPI tidak pernah dibekali senjata api dan lebih terbiasa dengan tangan kosong.
Sebulan telah berlalu setelah peristiwa penembakan enam anggota FPI oleh polisi, namun peristiwa tersebut belum menemukan titik terang. Hal ini disebabkan karena baik pihak Polri maupun Komnas HAM masih melakukan rekonstruksi atas peristiwa tersebut, mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup kuat, serta memanggil saksi pada saat kejadian tersebut berlangsung, baik dari pihak polisi maupun FPI.
ADVERTISEMENT
Setelah terjadinya peristiwa penembakan atas enam anggota FPI, Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan atas peristiwa tersebut, yaitu bahwa aparat memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum secara adil dan tegas (BBC Indonesia, 2020). Tidak boleh ada anggota masyarakat yang semena-mena melanggar hukum dan merugikan masyarakat, oleh sebab itu aparat hukum tidak boleh gentar dan mundur sedikitpun dalam melakukan penegakkan hukum. Di dalam menjalankan tugasnya, aparat hukum wajib mengikuti aturan, wajib melindungi hak asasi manusia, dan menggunakan kewenangannya secara wajar dan terukur, sehingga, apabila terdapat perbedaan pendapat perihal proses penegakkan hukum, pihak terkait dapat menggunakan mekanisme hukum yang ada, yaitu melalui proses peradilan. Jika memerlukan keterlibatan lembaga independen, masyarakat dapat melapor kepada Komnas HAM.
ADVERTISEMENT
Kasus Penembakan Breonna Taylor
Breonna Taylor, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, merupakan seorang perempuan Afrika-Amerika yang berasal dari Louisville, Amerika Serikat. Kematian Breonna terjadi pada tengah malam tanggal 13 Maret 2020. Penembakan tersebut terjadi disebabkan karena pada saat itu polisi Louisville memaksa masuk ke dalam apartemen, dengan cara mendobrak engsel pintu apartemen. Kejadian yang terjadi selanjutnya adalah adanya tembak-menembak dan kekerasan, yaitu Kenneth Walker kekasih Breonna yang mengira bahwa yang memaksa masuk adalah mantan Breonna yang seorang bandar narkoba, sebab pada saat Walker dan Breonna menanyakan siapa yang mengetuk, tidak ada jawaban dari siapapun–dengan polisi bernama Jonathan Mattingly, kemudian Breonna mendapatkan pukulan sebanyak lima kali dari polisi, serta adanya rentetan tembakan yang membabi buta ke dalam apartemen yang dilakukan oleh polisi Louisville, dua di antaranya bernama Brett Hankinson dan Cosgrove. Selanjutnya, setelah penembakan tersebut terjadi, pada tanggal 23 Juni 2020 Departemen Kepolisian Metro Louisville mengeluarkan surat penghentian tugas kepada Hankinson, dan kemudian Hankinson menerima dakwaan atas kesalahan yang diperbuat pada bulan September. sedangkan Detektif Cosgrove–salah satu penembak Breonna–dan Detektif Joshua Jaynes, yang mengeluarkan surat perintah penggeledahan–menerima surat pemberhentian pada akhir Desember 2020, dan telah secara resmi dibebas tugaskan pada 5 Januari 2021.
ADVERTISEMENT
Setelah adanya peristiwa penembakan tersebut, kemudian mendorong masyarakat Amerika Serikat untuk berdemonstrasi secara besar-besaran yang berlangsung selama musim semi hingga musim panas di tahun 2020. Demonstrasi yang terjadi bukan hanya disebabkan karena telah terjadi penembakan terhadap orang yang lemah dan tidak bersalah, tetapi juga tidak adanya keadilan kepada Breonna Taylor, sebab ketiga polisi tersebut tidak dinyatakan bersalah dalam penembakan Breonna Taylor dan hanya diadili berdasarkan mengganggu keamanan, kenyamanan, dan membahayakan lingkungan saja. Demonstrasi tersebut kemudian dinamakan dengan gerakan Black Lives Matter.
Di sisi lain, dengan adanya gerakan Black Lives Matter tersebut, pihak Kepolisian Louisville secara resmi melarang penggunaan surat perintah untuk tidak mengetuk, yang memungkinkan polisi masuk secara paksa ke rumah orang untuk menggeledah mereka tanpa peringatan. Walaupun demikian, penanganan kasus Breonna Taylor tergolong lambat jika dibandingkan dengan kasus penewasan George Floyd oleh polisi di Minneapolis di bulan yang sama. Hal ini terbukti dengan keluarga Breonna Taylor yang berbulan-bulan memohon keadilan dan memaksa untuk menuntut pidana terhadap Detektif Cosgrove dan Detektif Jaynes.
ADVERTISEMENT
Setelah terjadinya peristiwa penembakan Breonna Taylor, Presiden Donald Trump hanya memberikan pujian terhadap Jaksa Agung Daniel Cameron atas kasus Breonna Taylor setelah dewan juri mendakwa satu petugas yang menembak Breonna, yaitu Brett Hankinson, dengan dakwaan mengganggu keamanan, kenyamanan, dan membahayakan lingkungan, bukan dengan dakwaan penghilangan nyawa Breonna Taylor. Namun Presiden Donald Trump tidak merespons dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keadilan yang seharusnya diterima lebih oleh Breonna Taylor.
Pelanggaran HAM dan Lemahnya Penegakkan HAM
Dari kedua peristiwa penembakan tersebut dapat dilihat bahwa penembakan yang terjadi merupakan sebuah pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan karena polisi yang terlibat–baik di dalam peristiwa penembakkan enam anggota FPI di Indonesia maupun penembakkan Breonna Taylor di Amerika Serikat–dengan secara sengaja menembakkan senjata api mereka untuk mengambil hak hidup keenam anggota FPI tersebut dan juga hak hidup Breonna Taylor. Di sisi lain, kedua peristiwa tersebut merupakan penyalahgunaan senjata api oleh aparat penegak hukum–dalam hal ini polisi–seperti yang disebutkan di dalam dokumen Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai Aturan Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum yang diadopsi oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar di Havana, Kuba pada tanggal 27 Agustus hingga 7 September 1990.
ADVERTISEMENT
Walaupun telah diatur oleh Persatuan Bangsa-Bangsa dan aturan tersebut telah diadopsi oleh Indonesia dan Amerika Serikat, penembakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum–dalam hal ini polisi–masih tetap saja dilakukan. Dengan kata lain, Indonesia dan Amerika Serikat masih belum dapat menjamin HAM, terutama hak untuk hidup. Di sisi lain, penegakkan HAM Indonesia dan Amerika Serikat masih lambat, hal ini dapat terlihat dengan lambatnya proses pengumpulan bukti dan pengadilan bagi penembak.
Referensi
ADVERTISEMENT
Hidayat, E. (2016). Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Indonesia. Asas, 8(2), 80-87.