Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Masyarakat Mengemukakan Pendapat, Kok Malah Dikriminalisasi?
15 Juni 2023 18:13 WIB
Tulisan dari Annisa Nurnabilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui baru-baru ini, Bima Yudho Saputro seorang pegiat media sosial TikTok menjadi sorotan karena mengkritik Provinsi Lampung yang tidak maju-maju pada salah satu video yang diunggah diakun TikTok miliknya. Bima dilaporkan karena kasus pelanggaran Undang-Undang No. 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Laporan tersebut mengacu pada penggunaan kata-kata yang diyakini mengandung ujaran kebencian dan menyinggung unsur suku, agama, ras, dan trans-grup (SARA).
ADVERTISEMENT
Setelah konten kreator Lampung Timur, Bima Yudho Saptro mengkritik pemerintah daerah Lampung di media sosial, laporan tersebut mengangkat isu bahwa ruang kebebasan berbicara diranah digital masih dibatasi oleh partai politik tertentu. Memang, karena keterbukaannya, media sosial dapat menjadi sarana alternatif bagi warga negara yang mungkin tidak selalu memiliki akses untuk menyampaikan kritiknya terhadap lembaga negara. Kabar buruk bagi demokrasi Indonesia.
Namun kini praktik represif yang membatasi ekspresi publik di dunia digital jelas dapat merusak demokrasi Indonesia. Lagi pula, kasus Bima bukan satu-satunya masalah. Dunia maya pun sempat diramaikan dengan kabar guru honorer di Cirebon, Jawa Barat, Muhammad Sabil Fadhilah yang dipecat setelah mengkritik Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil diakun Instagram resminya.
ADVERTISEMENT
Menurut Amnesty International Indonesia 2023, kriminalisasi ekspresi di dunia digital masih berlanjut. Antara Januari hingga Maret 2023, tercatat 30 kasus kriminalisasi, 49 diantaranya dilaporkan sebagai korban. Warganet yang dilaporkan dengan pasal karet UU ITE sebagian besar berasal dari konsumen, aktivis, mahasiswa dan narasumber. Sedangkan pelapor dikendalikan oleh pihak-pihak yang mewakili lembaga atau organisasi, pejabat dan perusahaan.
Berdasarkan kasus tersebut, menurut saya itu dapat merusak nilai demokrasi bangsa. Sebagaimana yang kita ketahui dalam indikator demokrasi terdapat indikator yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia bebas mengemukakan pendapatnya didepan publik.
Negara Indonesia sendiri diketahui sangat menghargai Hak Asasi Manusia termasuk kebebasan berpendapat yang juga dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Tapi di era sekarang ini banyak masyarakat yang dikriminalisasi karena mengemukakan pendapatnya yang berupa kritik terhadap pemerintah didepan publik dengan dalih mencemarkan nama baik. Padahal kritik tersebut bertujuan untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Beginilah keadaan pemerintah kita sekarang. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana warga negara memiliki hak yang sama untuk membuat keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi dalam perumusan, pengembangan dan pemberlakuan hukum, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Tapi apakah Anda melihat? Lihatlah fakta dilapangan. Alih-alih berpartisipasi dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan undang-undang, kami mengeluh dan mengkritik saja dibungkam. Kritik adalah bentuk cinta dan perhatian. Tetapi pemerintah malah menganggapnya sebagai kebencian.
Mengutamakan dialog publik dalam menjelaskan tantangan dan keterbatasan pelaksanaan program pemerintah merupakan langkah yang lebih positif dan konstruktif. Selain itu, cara ini juga sesuai dengan semangat Hak Asasi Manusia (HAM). Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra mengatakan "Kebebasan berekspresi adalah syarat yang diperlukan untuk penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas, yang sangat penting untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia."
ADVERTISEMENT