Memaknai Lagu 'Untuk Apa/Untuk Apa?' - Hindia

Annisa Puji Hastuti
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
4 Juli 2022 16:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Puji Hastuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengejar harta (Sumber: dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengejar harta (Sumber: dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lagu Hindia yang berjudul 'Untuk Apa/Untuk Apa?' dirilis pada tahun 2019 dan merupakan lagu yang terhimpun dalam album 'Menari dengan Bayangan'.
ADVERTISEMENT
Lagu ini menggambarkan sebuah rumah yang kini menjadi sepi, karena, para penghuninya sibuk dengan urusan pribadi. Lagu ini berhasil menghantarkan pendengarnya menuju sebuah kontemplasi untuk memaknai arti sebuah rumah. Rumah yang bukan sekadar bangunan tembok belaka, melainkan rumah yang memiliki rasa, kasih, sayang, dan cinta.
Pemahaman ini dapat dilihat dari lirik-lirik lagunya. Pada bait pertama, digambarkan bahwa dahulu ada sebuah bangunan rumah yang sederhana. Namun, di dalamnya penuh kehangatan, cinta, kasih sayang, dan keharmonisan. Para penghuni rumah tersebut memiliki cita-cita dan mimpi untuk dicapai. Dan mereka semua berupaya mengejar hal tersebut. “Rumah ini dulu sederhana. Ruang demi ruang dibangun bersama. Angan-angan yang dulu mimpi belaka. Kita gapai segala yang tak disangka”.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dalam mengejar angan dan cita-cita itu, para anggota keluarga mulai lupa akan keluarga mereka sendiri. Tembok-tembok rumah memang semakin tinggi, namun, para penghuni rumah itu satu persatu mulai pergi. Tidak ada lagi keharmonisan dan kebersamaan. Yang tersisa hanyalah ambisi pribadi. Hal ini diungkapkan dalam lirik “mengejar mimpi sampai tak punya rasa, mengejar mimpi sampai lupa keluarga”.
Digambarkan pula dalam lirik “dikejar terus seakan satwa langka” dan “padahal manusia hanya bertangan dua”, bahwa dalam proses mengejar cita-cita itu manusia seringkali lupa akan dirinya sebagai manusia. Manusia menjadi serakah dan selalu ingin memiliki dan menguasai segala sesuatu. Manusia terkadang lupa akan hati nurani sehingga menjadi “lintah” yang menghisap darah orang lain, yaitu tega memakan hak orang lain.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, mengejar cita-cita yang dipenuhi ambisi pribadi hingga lupa diri, hanya akan menyisakan kesedihan semata. Hal ini dikisahkan dalam lirik “kasur yang luas tapi bangun sendiri, mobil baru mengkilap tanpa penumpang di kiri”. Lirik ini menggambarkan sosok yang kesepian di tengah gelimangan harta. Ketika ia mendapatkan harta duniawi, ia justru merasa sepi, karena tidak ada orang-orang sekitar yang menemani.
Lagu ini memberikan pesan kepada kita bahwa dalam mengejar mimpi dan cita-cita haruslah tetap berpijak pada bumi. Artinya, kita tidak boleh diterbangkan oleh ambisi pribadi yang menjadikan kita apatis dan lupa untuk peduli terhadap orang-orang di sekitar. Karena, pada akhirnya harta yang telah kita peroleh tidak dapat menemani kita selamanya. Harta tersebut tidak dapat dibawa mati. Kita harus tetap menjadi manusia yang memiliki rasa kemanusiaan. Memiliki rasa peduli, simpati, dan empati terhadap sesama.
ADVERTISEMENT