Indonesia Harus Belajar, Bukan Menjiplak

Annisa Sucinurani
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas padjadjaran
Konten dari Pengguna
27 Desember 2021 14:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Sucinurani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Jika Anda dihadapkan pada dua pilihan yakni pilihan untuk menonton sinetron di televisi nasional secara gratis atau menonton drama Korea di platform streaming berbayar, saya 100% yakin Anda akan memilih pilihan kedua. Bukan tanpa alasan, saya pun sebenarnya akan memilih hal yang sama, dan saya rasa mayoritas masyarakat khususnya anak muda zaman sekarang pun akan sependapat.
ADVERTISEMENT
Kepopuleran drama Korea atau yang lebih akrab disebut drakor ini memang tidak perlu diragukan lagi. Drakor bisa dinikmati oleh siapa saja, tak terbatas pada perempuan muda penggemar K-Pop saja, kini mulai dari anak muda hingga orang tua, perempuan maupun laki-laki, pekerja kantoran super sibuk atau pun pengangguran, semuanya pasti pernah menonton drakor. Fenomena demam drakor pun semakin menjamur setelah adanya pandemi Covid-19. Ketika segala aktivitas menjadi terbatas, semua kegiatan harus dilakukan dari rumah, dan kejenuhan datang karena kesibukan yang monoton, drakor bisa menjadi jalan keluar.
Layanan streaming seperti Netflix, Viu, Iflix, IQiyi, dan WeTV pun sangat membantu masyarakat untuk mengakses tayangan yang diinginkan. Beberapa layanan streaming bisa diakses secara gratis, tapi untuk bisa mendapat layanan terbaik, tayangan khusus dan terbatas serta berbagai keuntungan lainnya, kita perlu berlangganan dan mengorbankan sejumlah uang. Tapi itu bukan masalah besar, sebagian masyarakat tak merasa keberatan dan menganggap layanan tersebut layak untuk dibeli karena disesuaikan juga dengan kualitas tayangan yang ditawarkan.
ADVERTISEMENT
Drakor menjadi salah satu tayangan yang paling dinantikan dan digemari karena kualitasnya yang sangat menjanjikan. Seperti tidak ingin ketinggalan, televisi Indonesia pun turut menayangkan drakor di stasiun televisi nasional. Tapi tak hanya sampai di situ, Indonesia kerap kali terciduk meniru cerita-cerita dari drakor. Jika ditelusuri, Indonesia sudah cukup sering mencoba mengadaptasi cerita dari drakor untuk dijadikan sinetron. Tapi sayangnya kualitas yang dihasilkan masih jauh dari kata memuaskan.
Sebut saja sinetron “Cinta Cenat Cenut” yang sempat heboh pada tahun 2011 lalu karena dinilai mirip dengan drakor berjudul “Boys Over Flowers”. Keduanya memang memiliki kisah yang serupa, yakni menceritakan tentang sekumpulan laki-laki kaya yang bertemu dengan seorang gadis miskin dan akhirnya saling jatuh cinta.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, sinetron berjudul “Kau yang Berasal dari Bintang” yang tayang pada tahun 2014, disebut-sebut mirip dengan drakor berjudul “My Love from The Star”. Keduanya memiliki jalan cerita yang mirip, yakni mengenai alien yang jatuh ke bumi. Tak hanya jalan ceritanya saja, poster sinetronnya pun mirip, mulai dari baju yang dipakai aktor hingga latar belakang gambarnya.
Jika dikorek lagi, masih banyak sinetron Indonesia yang “menjiplak” tayangan-tayangan asal Korea Selatan. Padahal kenyataannya plagiarisme dan hak cipta merupakan isu yang sangat sensitif, terutama di bidang seni dan di kalangan kaum intelektual. Ironisnya lagi, meski sudah berkali-kali terkena hujatan dari penggemar drakor, nyatanya tidak membuat fenomena ini berhenti. Baru-baru ini banyak hujatan yang harus diterima sinetron “Dari Jendela SMP” yang dituding menjiplak serial Netflix Korea Selatan “Squid Game”.
ADVERTISEMENT
Pasalnya sinetron yang tayang di SCTV ini menayangkan adegan bertajuk Dolanan Game yang dianggap menyerupai Squid Game. Netizen pun dibuat sangat geram karena kualitas produksi adegan tersebut bisa dibilang sangat jauh dibanding tayangan yang dijiplaknya. Hal tersebut terkait dengan buruknya produksi konten di industri maupun pembuat konten tanah air, sehingga ruang kreativitas terisi dengan konten jiplakan asal luar negeri.
Fenomena jiplak-menjiplak ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, negara-negara lain pun kerap kali tersandung isu plagiarisme dan hak cipta. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa drakor dinilai sebagai tayangan yang berkualitas, sehingga banyak yang ingin menirunya.
Sebagai penonton drakor, saya sendiri merasa bahwa drakor diproduksi secara serius dan totalitas, mulai dari pemilihan aktor dan aktrisnya hingga sound track pendukungnya pun dibuat secara khusus. Drakor kerap kali menampilkan aktor dan aktris pendatang baru. Kualitas aktingnya pun bisa dibilang sangat baik, karena terlihat natural dan tidak berlebihan. sementara itu sinetron Indonesia seringkali menampilkan pemain yang itu-itu saja. Tak jarang pemain tersebut memerankan karakter yang sama di sinetron lain yang alur ceritanya pun mirip. Dari segi kualitas aktingnya, pemain sinetron pun sudah cukup baik, namun terkadang masih dilebih-lebihkan.
ADVERTISEMENT
Jumlah episode pun mempengaruhi antusias para penonton. Normalnya drakor memiliki 16 sampai 24 episode saja, sementara sinetron Indonesia bisa mencapai lebih dari 1000 episode. Hal ini membuat sinetron Indonesia akan terasa monoton, membosankan dan ngalor-ngidul. Sementara itu cerita yang dikemas dalam episode yang sedikit akan membuat penonton lebih antusias dan bisa menikmati alur cerita tanpa rasa bosan.
Alur cerita yang disajikan dalam drakor pun lebih menarik. Genre-nya pun beragam mulai dari komedi, keluarga, percintaan, persahabatan, sekolah, hukum, horor, misteri, hingga fantasi. Plot twist yang ditampilkan pun seringkali membuat penonton menganga karena tidak pernah terpikirkan ceritanya akan berakhir seperti itu. Sementara sinetron Indonesia seringkali menampilkan alur yang membingungkan dan tidak jelas. Genre-nya pun tidak akan jauh dari percintaan beda kasta, perselingkuhan, dan perebutan harta.
ADVERTISEMENT
Terakhir drakor memiliki sound track yang dibuat secara khusus. Penyanyi dan lagunya dipilih dengan baik sehingga bisa sesuai dengan adegan dalam drama. Sementara sinetron Indonesia akan menggunakan lagu yang sedang hits, misal untuk adegan tentang terbongkarnya sebuah perselingkuhan, maka lagu berjudul “Hati yang Kau Sakiti” milik Rossa akan diputar secara berulang-ulang.
Bukannya tidak menghargai dan mencintai karya dan produk tanah air, fenomena demam drakor dan penjiplakkan konten seperti ini sudah seharusnya menjadi koreksi bagi Indonesia untuk memperbaiki kualitas sinetronnya. Sebagai penonton pun seharusnya bisa lebih kritis dalam menilai sebuah karya. Penonton harus bisa mengapresiasi bukan hanya mengkritik dan menghujat saja.
Sebenarnya Indonesia bisa belajar dari tayangan-tayangan Korea Selatan. Belajar di sini bukan berarti menjiplak kontennya tapi memahami bahwa industri kreatif saat ini bergerak secara masif, sehingga kita memiliki kesempatan yang sama untuk bisa menyamai atau bahkan melebihi mereka.
ADVERTISEMENT