Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Rentannya Interseksionalitas pada Perempuan Penyandang Disabilitas
21 Juni 2023 11:10 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Annisa 'Ulya 'Alimah Qurrota A'yun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebut berdasarkan data sistem informasi online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas yang dialami oleh 264 laki-laki dan 764 perempuan.
ADVERTISEMENT
Data yang sama mengungkapkan, jenis kekerasan yang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yaitu 591 korban. Kasus kekerasan seksual dipandang seperti fenomena gunung es yang diketahui dan dilaporkan terlihat sedikit, namun realitas sosial di lapangan banyak kasus yang tidak dilaporkan dan menguap begitu saja.
Beragam bentuk kekerasan menimpa penyandang disabilitas yang merupakan kelompok rentan seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas, “Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”
Keterbatasan tersebut menjadikan kerentanan yang berlapis jika bersinggungan dengan gender dalam hal ini mengacu pada perempuan yang diberi stigma gender nomor dua dalam masyarakat.
Perempuan memiliki nasib yang tidak sama dalam batas-batas sejarah, sosial, politik maupun geografis. Perempuan kulit hitam, misalnya memiliki nasib yang tidak sama dengan perempuan kulit putih.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan perempuan penyandang disabilitas memiliki tantangan yang lebih berat karena keterbatasan yang dimilikinya. Carastathis (2014) menguatkan pandangan tersebut dengan mengatakan bahwa interseksionalitas menjadi cara untuk mengonseptualisasikan hubungan antara sistem-sistem opresi yang membangun identitas kita yang bersifat multipel dan juga lokasi sosial kita yang berada di dalam hierarki kekuasaan dan privilege.
Dalam hal ini interseksionalitas penyandang disabilitas dan peran gender perempuan yang sama sama rentan mengalami diskriminasi dalam masyarakat. Isu disabilitas dan gender menjadi wacana yang terus diperdebatkan untuk jalan keluarnya.
Membuat payung hukum saja tidak akan seratus persen menyelesaikan masalah, diperlukannya awareness semua kalangan terhadap lingkungan yang inklusif.
Lingkungan yang inklusif merupakan lingkungan sosial masyarakat yang terbuka, ramah, meniadakan hambatan sosial dan menghargai serta merangkul setiap perbedaan.
ADVERTISEMENT
Unit sosialisasi pertama yaitu keluarga memiliki peranan penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, namun banyak harapan hidup yang dipatahkan oleh keluarga sendiri.

Seperti kisah Evo (17 tahun, bukan nama sebenarnya) yang dilansir dari kompas.id harus kehilangan cahaya kehidupan setelah diperkosa ayah angkatnya.
Perempuan penyandang disabilitas intelektual yang hidup di pelosok Kabupaten Lampung Selatan hanya dapat pasrah setelah mendapat perlakukan tercela dari ayah angkatnya, sanak saudara yang lain pun tidak dapat berbuat banyak karena keterbatasan jarak ke akses layanan kesehatan dan himpitan ekonomi.
Seringkali Evo mengalami trauma yang begitu berat dan membuat kondisi kejiwaan tidak terkendali saat ingatan terhadap kejadian itu muncul. Menurut ibunya, terkadang dia lari keluar rumah tanpa pakai baju dan seringkali tertawa-tawa sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan disabilitas intelektual yang dideritanya, sulit bagi penyidik melanjutkan proses advokasi secara hukum karena Evo tak mampu menerangkannya.
Namun ibunya bersikeras mengumpulkan bukti visum kekerasan seksual yang masih lekat ditubuh Evo dan berharap pelaku bisa dihukum berat.
Kekerasan seksual didominasi oleh pemerkosaan dan sebagian besar pelakunya tidak teridentifikasi oleh korban. Perempuan dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok rentan sehingga diskriminasi berlapis acap kali muncul akibat stigma masyarakat.
Kasus perempuan penyandang disabilitas lainnya yang mendapatkan kekerasan seksual yaitu Siti Suaedah (42 tahun) yang merupakan penyandang disabilitas mental dihamili delapan kali oleh pria berbeda.
Memiliki keterbatasan mental akibat depresi sejak tahun 2005 membuat Siti yang tinggal di Jakarta dipulangkan ke Semarang lantaran mengamuk tidak jelas.
Keadaan yang semakin parah sampai pernah membacok ayahnya menjadikan Siti harus dibawa ke rumah sakit jiwa dan sempat kabur akibat tidak terkontrol. Akibatnya Siti sering pergi pagi pulang sore dan didapati hamil berulang kali oleh lelaki yang tidak jelas siapa identitasnya.
ADVERTISEMENT
Dinas sosial sulit menelusuri siapa yang menghamili Siti sebab selalu pergi dan bergaul dengan orang baru. Namun, kehamilannya selalu diurus olehnya dan keluarga dari pemeriksaan ke puskesmas hingga mengurus persalinan.
Menjadi seorang penyandang disabilitas ditambah identitasnya seorang perempuan yang seringkali dijadikan objek pelampiasan nafsu menjadikan Siti mengalami diskriminasi dan kekerasan seksual. Hal ini secara tidak langsung berakibat kepada anak-anak Siti yang tidak berdosa dan tidak memiliki silsilah keluarga yang jelas.
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Dengan demikian, kasus yang dijabarkan di atas melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Perempuan penyandang disabilitas sebagai warga negara memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan statusnya baik sebagai perempuan atau penyandang disabilitas, ataupun dasar perbedaan lainnya.
Perlindungan hukum saja tidak cukup untuk menjadi solusi dalam masalah yang kompleks ini, diperlukan solusi yang menyasar semua pihak seperti peningkatan kesadaran terhadap lingkungan yang inklusif dengan rehabilitasi berbasis masyarakat.
Solusi ini dapat meminimalisir permasalahan yang terjadi di jalanan, seperti yang dilakukan oleh “Yayasan Mentari Hati” diinisiasi oleh kesadaran pak Dadang seorang warga biasa melihat fenomena ODGJ di jalanan yang tidak diurus oleh dinas sosial.
Tindakan terpujinya itu dimulai dengan kepeduliannya terhadap penyandang disabilitas mental, Dadang menurutkan bahwa dirinya pernah bertemu dengan perempuan yang memakai baju compang-camping sedang mencari makan di tempat sampah.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang membulatkan tekad Dadang mendirikan Yayasan Mentari Hati pada tahun 2017 pusat rehabilitasi untuk penyandang disabilitas mental jalanan yang tidak memiliki keluarga.
Walaupun tidak seratus persen mengentaskan permasalahan kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan penyandang disabilitas, namun setidaknya aksi nyata yang dilakukan pak Dadang dapat memberi contoh untuk saling memanusiakan manusia.
Perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual adalah contoh nyata diskriminasi berlapis yang terbukti memberikan dampak yang besar bagi psikis dan fisik korban.
Negara harus hadir dalam mengimplementasikan secara efektif dan menindak tegas pelaku serta memperhatikan khusus kondisi perempuan penyandang disabilitas melalui dinas sosial sebagai upaya meminimalisir korban kekerasan.
Karena banyaknya kasus terhadap perempuan penyandang disabilitas bukan lagi permasalahan dalam lingkup privat tetapi menjadi permasalahan publik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, diperlukan pelatihan dan pemahaman bagi aparat dinas terkait yang menangani penyandang disabilitas telantar terutama perempuan penyandang disabilitas karena tingkat kerentanan yang tinggi.
Peningkatan kesadaran masyarakat terkait isu disabilitas minimal dengan sosialisasi peningkatan rasa empati kepada kelompok rentan sangat diperlukan demi terwujudnya negara ramah penyandang disabilitas.