Konten dari Pengguna

Masih Terdapat Batasan Berpendapat di Media Elektronik

Annisa Claudia Janiary
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Jurusan Pendidikan Biologi
13 Desember 2022 14:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Claudia Janiary tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penggunaan Media Elektronik. Foto : Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penggunaan Media Elektronik. Foto : Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bebas adalah kata yang dapat menggambarkan arti dari demokrasi. Free electronic media atau media elektronik bebas merupakan salah satu indikator demokrasi dari aspek kebebasan sipil (civil liberties). Di era digital yang semakin canggih, dalam hitungan detik informasi dapat tersebar luas dan dapat diakses oleh seluruh pengguna media elektronik. Sehingga banyak masyarakat yang memanfaatkan media elektronik sebagai media untuk menyuarakan pendapatnya.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi seluruh warga negaranya. Pada dasarnya kebebasan berpendapat merupakan hak bagi setiap individu yang dijamin oleh konstitusi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) yang secara jelas menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."
Meski kebebasan berpendapat telah dijamin, tidak sedikit masyarakat yang masih merasakan adanya pembatasan dalam berpendapat di media elektronik. Hal ini disebabkan oleh terbitnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sering kali disalahartikan oleh pihak-pihak tertentu. Sehingga banyak masyarakat yang seakan-akan takut untuk berpendapat di media elektronik.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Telah memakan banyak korban, akibat pihak yang tidak terima dengan pendapat ataupun kritik dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Prita Mulyasari merupakan salah satu korban UU ITE. Pada tanggal 7 Agustus 2008, Prita datang ke RS Omni Tangerang dengan keluhan panas, mual, dan sakit tenggorokan. Prita dinyatakan menderita penyakit demam berdarah. Namun, semakin hari keadaan Prita semakin memburuk. Pada tanggal 12 Agustus, Prita pindah ke RS Internasional Bintaro dan untuk pindah ke RS lain, Prita memerlukan rekam medis dari RS Omni. Akan tetapi, RS Omni tidak bersedia memberikan rekam medis tersebut kepada Prita, padahal rekam medis merupakan hak bagi setiap pasien. Kemudian Prita dirawat di RS Internasional Bintaro dan dinyatakan menderita penyakit gondongan. Akibat kesalahan agnosis tersebut, pada tanggal 15 Agustus 2008, Prita menceritakan keluhannya terkait pelayanan RS Omni melalui surat elektronik yang rupanya tersebar secara luas dengan cepat. Pada tanggal 8 September 2008, pihak RS Omni menggugat Prita atas pencemaran nama baik dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pada tanggal 13 Mei 2009, Prita ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang. Pada tanggal 30 Juni 2011, ketua majelis hakim membuat keputusan bahwa Prita tidak perlu dipenjara dan pada tanggal 17 September 2012, Prita dibebaskan.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, mengungkapkan pendapat adalah hal wajar yang dilakukan untuk memberi penilaian terhadap sesuatu. Karena sukses adalah kita yang mampu menerima pendapat baik ataupun pendapat buruk dari orang lain. Namun, kita juga perlu mengetahui etika dalam berpendapat, terkhusus berpendapat melalui media elektronik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat di media elektronik masih terdapat batasan. Jadi, demokrasi di Indonesia masih termasuk ke dalam kategori demokrasi yang cacat (flawed democracy).