Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kebablasan Nulis, Tiba-Tiba Jadi Wartawan
27 Juni 2022 23:53 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Annisa Thahira Madina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sejujurnya enggak bisa benar-benar bilang 'saya suka nulis' ke orang-orang. Tapi selain dengar musik, cuma nulis yang konsisten saya lakukan sejak umur lima tahun. Dari diary, puisi, cerpen, sampai novel-novelan. Teman-teman SMP saya mungkin ingat buku catatan biru berisi berlembar-lembar cerita tulisan tangan saya yang kerap pindah-pindah tangan. Saya juga masih ingat beberapa orang setia banget tunggu lanjutannya udah kayak sinetron.
ADVERTISEMENT
Usai lulus SMA, saya mulai tertarik ke dunia perfilman dan televisi, sampai akhirnya saya memutuskan masuk SMK Broadcast. Ujung-ujungnya, saya ngutek lagi di nulis. Naskah berita, naskah film pendek, sampai naskah variety show. Dari sini, saya 'terbawa' ke jurusan jurnalistik yang enggak pernah saya bayangin sama sekali dari kecil.
Jadi mahasiswa jurnalistik bikin saya blusukan ke Terminal Senen, kantor polisi, pengadilan, gedung pers, lokasi kebakaran, jualan di jembatan, ketemu publisher game, wawancara artis, sampai liputan Asian Games berimbas kaki melepuh. Serunya banyak dan saya cukup enjoy. Tapi masih seperti sebelumnya, ini saya lakukan bukan karena cita-cita saya, melainkan hal yang naturally happened aja karena saya terbiasa menulis.
Di awal 2020, saya ketemu kumparan saat lagi cari media untuk pengalaman dan data skripsi. Teman sejurusan saya, Jodi, kasih tahu kumparan lagi buka lowongan magang. Iseng-iseng daftar, dua bulan saya dihubungi dan berujung lulus interview. VP of Content Synchronization, Mas Habibi, tempatkan saya di desk entertainment. Saya pun diminta Pemred Entertainment, Mas Adie Ichsan, untuk pegang K-Pop. Sejujurnya saya volunteered sih, soalnya saya udah 3 tahun jadi fans BTS dan K-Pop saat itu. Hehe. Rasanya seneng banget bisa nulis hal yang saya suka. Bisa fangirl tapi sekalian dapat pengalaman juga. Karena nulisnya sepenuh hati, enggak jarang berita saya naik lebih cepat dari media lain dan punya enggagement tinggi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya karena masih pandemi COVID-19, saya enggak punya banyak pengalaman liputan langsung. Tapi kakak-kakak di kumparanEntertainment rajin banget kasih saya masukan cara nulis yang sesuai PUEBI dan enggak bertele-tele. Kak Niken, Kak Hesti, Kak Tika, Kak Anissa terima kasih banyak! Saya enjoy banget saat itu.
Mulai Harus Mikir Keras, Adaptasi jadi Wartawan Beneran
Di awal 2021, skripsi saya selesai dan ijazah udah saya kantongin. Saya lalu berniat pamit dari kumparan untuk cari suasana baru. Tapi tiba-tiba HR hubungi saya. Permintaan "Jangan pamit dulu, ya," pun saya terima. Kalau kalian simak cerita saya dari tadi, mungkin kalian sadar saya anaknya lumayan santuy. Tawaran kerja full time tanpa harus sebar puluhan lamaran, masa saya tolak?
ADVERTISEMENT
Saya akhirnya lulus interview untuk jadi reporter dengan masa percobaan satu tahun, yang saya masih enggak tahu interview itu formalitas apa bukan. Mas Habibi lalu tempatkan saya di kumparanNews, khususnya handle berita COVID-19 di bawah bimbingan Mas Wisnu. Ini part ketika saya harus agak say goodbye sama kesantuy-an saya. Menulis dan news coverage COVID-19, ternyata lumayan bikin stress.
Fyi, saya berasal dari keluarga yang punya banyak sosok berprofesi dokter. Nenek, adik sampai adik ipar nenek, om, dan tante saya dokter. Saat harus hubungin orang seprofesi mereka untuk nulis berita, rasanya kayak ganggu keluarga saya kerja. Selain itu, tiba-tiba harus kontak puluhan orang per hari yang enggak saya kenal. Saya pun enggak pernah terlalu nyimak berita COVID-19 setelah skripsi saya selesai.
ADVERTISEMENT
Intinya, saya enggak mudeng. Vaksin AstraZeneca tuh apa? Apa bedanya sama vaksin Sinovac? Awal-awal, saya nulis berita pendek bisa sampai 1,5 jam. Untungnya Mas Wisnu lumayan sabar nungguin berita saya nongol di email redaksi. Saya juga keteteran karena harus bisa ketik cepat (tikpet). Lebih-lebih, saat itu banyak banget webinar, rapat Komisi Kesehatan DPR, sampai konpers soal COVID-19. Saya payah banget. Satu jam yang lalu konpers pendek udah selesai, saya baru selesai tikpet narsumnya.
Lucunya, buat saya, saya masuk kumparan di awal pandemi, buat skripsi dengan topik COVID-19, dan masuk full time kumparan untuk handle berita COVID-19. Oh iya, saya juga dari Depok, tempat kasus COVID-19 pertama kali ditemukan. Haha.
Alhamdulillah, untungnya latar belakang keluarga saya ada pengaruh positifnya jugas ke skill saya. Saya enggak begitu asing dengan bahasa-bahasa kedokteran. Lama-lama, saya pun lebih paham isu, bisa cepat scanning bahan penting, dan cari angle dari webinar, rapat, atau konpers di kisaran 30 menit sampai 8 jam. Dari adaptasi saya ini, akhirnya satu berita bisa saya buat di kisaran setengah jam kurang.
ADVERTISEMENT
Saya juga mulai bisa eksplore di luar penugasan saat wawancara narsum, dan enggak jarang berita saya banyak diminati pembaca. Ada suatu kebanggan saat saya menemukan apa yang saya selama ini belum tahu, lalu bisa saya olah agar mudah dipahami dan share ke pembaca. Saya jadi sadar, mungkin banyak juga orang yang dapat manfaat dari tulisan-tulisan saya.
Saya mulai enjoy lagi menulis, walaupun jenuh sama COVID-19 yang enggak kelar-kelar. Apalagi di sisi kenyamanan, saya masih belum perlu ke luar rumah untuk liputan. Dalam artian saya enggak perlu panas-panasan atau desak-desakan di transportasi umum untuk kerja.
Keluar Zona Nyaman
Di Lebaran 2021, saya sebagai anak baru kebagian piket. Saya pun harus cover berita dan isu di luar perCOVIDan. Saya harus kontak pengelola Ragunan, TMII, sampai Dufan. Di luar hal yang saya sebut lumrah, lah, pokoknya. Saya juga sempat diminta mengontak eks Ketua KPK. Tapi saya, sih, saat itu enggak ambil pusing. Toh, kan saya enggak selamanya piket atau pegang hukum dan politik.
ADVERTISEMENT
"Annisa, mulai Senin kamu coba politik, ya," kata Mas Habibi di sekitar Agustus 2021.
Saya curiga ini karena saya enggak ada problem saat hubungi eks Ketua KPK pas Lebaran.
Yang jelas, ucapan Mas Habibi saat itu bagi saya kayak petir di siang bolong. Kayak lagi salat rakaat terakhir, tiba-tiba diingetin kalau salah Kiblat. Masa saya mulai dari nol lagi?
Was-was dan senewennya ada banget. Tapi sebagai manusia yang go with the flow, saya iyain aja tanpa sedikit pun protes. Di satu sisi, ada juga sedikit rasa lega kalau saya bakal lepas dari COVID-COVIDan. Say hi deh, sama Mas Iqbal dan Mba Nanda, nakhoda baru saya di politik.
Enggak disangka, politik nyatanya bikin mental health saya jauh lebih baik. Karena saya lebih banyak kontak anggota DPR dan orang-orang parpol yang memang senang dan perlu cuap ke publik, saya enggak merasa ganggu orang. Belum lagi topik politik dan isu DPR cukup luas dan banjir narsum. Pun, saya lebih sering ketawa karena politik, nih, banyak lucunya. Saya juga enggak lagi ngerasa terlalu sendirian karena ada senior saya, Kak Heras dan Bang Rafyq, yang santuy tapi juga enggak ragu nge-gas pada saatnya.
Di satu sisi, saya harus adaptasi dari manusia goa jadi manusia sociable. Saya harus ke DPR setiap hari, bangun relasi dengan narsum, dan akrab sama teman-teman wartawan dari mana aja biar enggak ketinggalan info. Saya masih inget pernah nubruk pintu kaca bening saking siaganya jaga doorstop di DPR. Kalau Kak Heras cuti atau libur, saya harus punya jurus 1000 bayangan pindah-pindah Komisi DPR untuk pantau rapat, pun pindah-pindah acara parpol. Belum lama ini saya tepar banget liput Rakernas NasDem sampai ditegur ibu-ibu karena wudhu, tapi basuh kaki enggak sampai mata kaki.
ADVERTISEMENT
Enggak sampai di situ, saya harus siap dikirim ke daerah H-deket banget. Belajar nulis berita selagi konvoi agenda pejabat, meski rasanya isi perut saya mau ke luar semua, itu kewajiban. Jadi wartawan politik juga harus sabar disemprot narsum kalau pertanyaan dinilai terlalu mengada-ada, atau bersabar kalau narsum justru guyon dan bukan kasih jawaban.
"Kalau itu nanti kita ngopi-ngopi aja, Mbak," kata AHY, saat saya tanya pilih Anies Baswedan, Andika Perkasa, atau Ganjar Pranowo di antara rekomendasi capres NasDem.
Overall, saya mulai dapet flow politik. Saya juga makin jago tikpet. Kalau lagi rajin, narsum selesai, saya juga selesai tikpet omongannya. Solidnya temen-temen wartawan meski beda rumah media, kerap jadi penyemangat di tengah isu politik yang dinamis dan sering bikin gregetan. Saya juga beruntung banget punya temen yang supportif di kumparan, di antaranya Judith dan Retyan. Saya juga masih suka sharing sama Jodi, teman kampus yang kenalin saya sama kumparan, karena dia udah jadi reporter full time di kumparanSports.
ADVERTISEMENT
Saya juga merasakan berita-berita yang saya buat dengan lebih effort dari sebelumnya dan lebih bermanfaat. Misalnya, pengadaan gorden sultan rumah dinas anggota DPR senilai Rp 48 M jadi batal berkat temen-temen media, termasuk kumparan. Hehe.
Tes UKW
Hidup kalau enggak ada intermezonya emang enggak asik dan mustahil. Skill, paham medan, dan lanjut kegiatan wartawan dari apa yang saya dapat di lapangan nyatanya enggak cukup. Saya pun harus ikut Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang bekerja sama dengan LSPR.
Jujur, saya sempat kesal. Saya road tour parpol dan DPR dari Minggu sampai Jumat, lalu seharusnya libur di weekend. Badan saya linu, tangan saya keriting, mata juga siwer. Tapi saya jadi enggak libur karena UKW. Remuknya ada banget. Saya dateng ke kantor di Sabtu (25/6) dalam keadaan kayak zombie.
Hari pertama UKW dibuka dengan pembekalan materi kode etik jurnalistik dan panduan jurnalistik ramah anak. Saat mulai diberi pembekalan materi, saya sadar betapa pentingnya UKW. Semua hal yang saya lakukan mulai dari nulis, paham medan, adalah kebiasaan yang nemplok di saya karena pengaruh lapangan dan media lain. Padahal ternyata, banyak etika jurnalistik yang cenderung saya lupakan atau abaikan.
ADVERTISEMENT
Saya diingatkan untuk nulis lebih teliti sampai soal attitude yang baik saat wawancara narsum. Saya selama pegang politik, kan, paling sering nge-pos di DPR. Terkadang kalau udah akrab, suka kelewat batas dengan narsum. Nah, ini yang saya kedepannya diingatkan lebih hati-hati lewat tes UKW.
"Jangan lupa, tulisan kita dibaca banyak orang, sekarang semua orang bisa tinggal main capture," kata Mbak Aprida, penguji saya.
Alhamdulillah, saya lulus! Cukup bangga karena dua hari tes saya lalui dalam keadaan kurang fit. Saya sekarang udah jadi Wartawan Muda yang tersertifikasi Dewan Pers. Bisa dibilang, saya udah punya label halal MUI-nya wartawan nih, hehe.
Ya, kita lihat aja apakah saya masih kebablasan nulis sampai Wartawan Madya. Mudah-mudahan kalau jadi, tesnya enggak di hari libur saya, ya.
ADVERTISEMENT