Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pernikahan Bukan Solusi Keuangan
18 Agustus 2018 9:47 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Annissa Sagita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampanye menikah akhir-akhir ini kian marak, apalagi menikah muda. Apakah yang ada di pikiran perempuan (atau pun laki-laki) saat ingin menikah? Romantis, halal (menurut agama), dan salah satu yang menjadi pertimbangan pihak perempuan: suami yang akan menanggung segala kebutuhan perempuan. Kenapa? Karena sudah kewajiban dari tuntutan agama dan budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian masyarakat, ini menjadi solusi. Kehidupan sulit? Menikahlah, maka segala sesuatunya akan dipermudah. Mengurangi beban ekonomi keluarga?
Nikahkan anak perempuan, sehingga ia akan menjadi tanggungan suaminya. Pernikahan, dan dengan demikian menjadi sebuah solusi keuangan. Bisakah yang demikian itu berjalan mulus?
Perceraian di Indonesia naik 3 persen per tahun (Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, 2018). Alasan ekonomi adalah alasan teratas kedua dari perceraian. Alasan ekonomi ini bisa soal aset/harta, atau pihak perempuan tidak dinafkahi oleh pihak laki-laki.
Pengajuan perceraian didominasi pihak perempuan sebagai penggugat cerai (Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, 2016). Hal ini bisa jadi, salah satunya disebabkan ekspektasi perempuan yang tinggi tentang dinafkahi semasa pernikahan berjalan.
(image:pixabay)
ADVERTISEMENT
Sayangnya, tidak semua laki-laki bertanggung jawab. Dan tidak semua perempuan bisa memilih/menyeleksi mana laki-laki yang bertanggung jawab. Mereka yang lebih dulu mengutarakan "Aku ingin serius menikahimu, akan kutemui orang tuamu" dianggap pasangan terbaik, padahal belum terbukti bisa bekerjasama menghadapi segala tantangan pernikahan yang tak mudah.
Media sosial dan media elektronik memperburuknya dengan gambaran pernikahan yang indah-indah saja seperti foto-foto pranikah dengan pose romantis, tata rias dan gaun pernikahan mempelai perempuan yang cantik, citra keluarga bahagia dengan ayah ibu dan bayi yang tertawa lebar dan sebagainya, sehingga keinginan menikah semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Keuangan memang bukan segalanya dalam pernikahan. Namun keuangan memegang peranan penting, bisa menjadi pemicu pertengkaran ataupun membuat segala sesuatu menjadi satu tingkat lebih mudah. Contohnya, mengurus anak dengan menggaji babysitter tentu akan mempermudah pekerjaan ayah dan ibunya. Mampu membayar kontrakan ataupun membeli rumah sendiri akan meminimalisir bahkan menghilangkan konflik menantu-mertua yang tinggal serumah.
Istri yang punya penghasilan sendiri tidak harus meminta suami apabila ingin membeli sesuatu untuk hiburan dirinya dan meminimalisir pertengkaran suami-istri tentang kurangnya pemasukan. Atau jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, istri yang punya penghasilan sendiri bisa mandiri tanpa adanya penghasilan dari suami.
Ketika pernikahan berada di ujung tanduk, kemampuan finansial seorang perempuan bisa menjadi penentu nasibnya sendiri. Banyak perempuan bertahan dalam pernikahan yang tidak sehat, karena tidak berani mengambil keputusan berpisah/menggugat cerai karena bergantung secara finansial kepada suami.
ADVERTISEMENT
Meskipun memiliki penghasilan sendiri/mandiri finansial sekalipun tidak menjamin seorang perempuan bisa berani mengambil keputusan, setidaknya dengan memegang uang sendiri bisa membuat perbedaan. Money is power, uang adalah kekuasaan.
Memasuki pernikahan perlu persiapan yang matang. Selain fisik dan mental, persiapan finansial juga menjadi krusial. Lalu bagi perempuan, apa saja persiapan finansial yang harus dilakukan sebelum menikah? Selain mengubah pola pikir, berikut adalah hal-hal yang harus disiapkan seorang perempuan sebelum melangkah lebih lanjut ke jenjang pernikahan.
Memiliki penghasilan dan mampu menopang hidup sendiri menjadi syarat yang sangat penting, tidak hanya bagi laki-laki tapi juga perempuan. Mandiri secara finansial juga berarti salah satu ukuran kedewasaan sudah terpenuhi. Meskipun mungkin belum tinggal terpisah dari orangtua, setidaknya kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian ataupun hiburan seperti kuota/pulsa ponsel dan rekreasi bisa dipenuhi sendiri dan tidak meminta orang lain sama sekali.
ADVERTISEMENT
Selain penghasilan, penting untuk memiliki tabungan/aset atas nama sendiri yang bisa digunakan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tabungan/aset sendiri ini haruslah mudah diakses dan mudah dicairkan. Tabungan ini diusahakan berbeda dengan tabungan untuk pesta/resepsi pernikahan.
Jika tabungan terpakai untuk resepsi, (bagi yang muslim) diskusikan dengan calon suami agar mas kawin yang nantinya diberikan agar berupa barang berharga: uang, logam mulia atau perhiasan. Mas kawin ini akan menjadi hak perempuan sepenuhnya, bisa digunakan sebagai dana darurat pribadi sang istri.
Selain persiapan finansial sendiri, tentu perlu memilih calon suami yang baik dari segi finansial. Kemampuan finansial di sini bisa berupa gaji/penghasilan, atau karakter/daya juang. Misalnya penghasilannya mungkin tidak besar, tapi setidaknya dia memiliki visi-misi seperti apa kehidupannya ke depan dan giat bekerja untuk mengubah nasib.
ADVERTISEMENT
Atau gaji dan penghasilannya besar karena banyak fasilitas yang masih disokong orangtuanya. Perlu dipikirkan bagaimana nanti jika orangtuanya berhenti membantunya secara finansial, siapkah dia (dan Anda)? Hal ini bisa menjadi pertimbangan Anda.
Beberapa hari ini viral tentang "lulus"nya seorang perempuan ketika "diuji" oleh calon pasangannya. Calon pasangannya yang telah selesai tes untuk bekerja di suatu perusahaan mengatakan kepada perempuan tersebut bahwa ia tidak lulus tes.
Maukah ia menerimanya yang saat ini berstatus pengangguran? Sang perempuan menjawab tidak apa-apa dan menerima pasangannya, namun ternyata pertanyaan tersebut hanyalah ujian. Calon suaminya sudah lulus tes dan diterima untuk bekerja. Cerita ini mengundang pro-kontra dari warganet.
Tanyakan kepada diri Anda, bersediakah Anda jika punya calon suami pengangguran? Berpikir jauh ke depan dan tanyakan kembali dengan apa Anda dan calon suami akan membayar biaya kontrak rumah, biaya kontrol kehamilan dan biaya melahirkan?
ADVERTISEMENT
Tidak apa-apa jika Anda siap memiliki calon suami seorang pengangguran, asalkan Anda siap menerima risikonya, mungkin kehidupan Anda tidak akan senyaman seharusnya, karena menikah ataupun tidak menikah tentu setiap orang butuh makan, tempat tinggal dan biaya operasional lainnya.
Selain pandangan dan gaji, pertimbangkan hal lain: hobi pasangan. Apakah hobinya cukup menghabiskan banyak biaya? Hobi adalah pelarian masing-masing orang dari peliknya kehidupan. Anda sendiri juga perlu memiliki hobi.
Hobi Anda atau calon suami tidak akan berhenti hanya karena Anda berdua telah menikah. Justru hobi akan semakin “kencang” dilakukan karena kehidupan pernikahan bisa sangat membuat tertekan, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Atau calon pasangan punya kebiasaan merokok, misalnya? Jangan harap calon pasangan juga akan berhenti meskipun itulah janji manisnya untuk membuat Anda mau menikah dengannya. Biaya rokok atau hobi yang cukup besar harus Anda antisipasi sejak awal. Buat perjanjian sejak awal bagaimana Anda berdua akan membicarakan kebiasaan menggerus finansial ini.
(image:pixabay)
ADVERTISEMENT
Bicara uang katanya tabu, sungkan, dianggap matrealistis dan lain sebagainya. Namun mau tidak mau ini salah satu yang penting dibicarakan jika ingin menghabiskan puluhan tahun sisa hidup Anda dengan pasangan.
Anda bisa memulai dengan melempar topik ngobrol saat santai dengan pacar/calon pasangan sesimpel menanyakan bagaimana pendapatnya soal istri yang punya penghasilan sendiri, baik dengan bekerja kantoran ataupun berbisnis di rumah. Pendapat atau pandangannya bisa Anda jadikan pegangan untuk mengerti apa harapannya soal pernikahan nanti.
Diskusi ini bisa mulai dilakukan saat membicarakan anggaran pesta pernikahan/resepsi. Soal cara mengumpulkan biaya pernikahan bisa dibaca di artikel sebelumnya.
Contoh: apakah calon pasangan memiliki keluarga yang masih dibiayai atau bahkan bergantung kepada pasangan? Misalnya meskipun pasangan bukan anak sulung tapi karena dianggap punya penghasilan paling besar maka seluruh keluarga jadi bergantung kepadanya dan menggampangkan apa-apa karena toh bisa minta uang ke calon pasangan Anda. Hal-hal seperti ini rawan menjadi pemicu pertengkaran.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan lainnya adalah tentang orangtua pasangan. Sejak lahir hingga usia di bawah 10 tahun manusia menyerap dan mengingat kejadian di sekitarnya seperti spons menyerap air dan tersimpan di dalam alam bawah sadarnya.
Sadar atau tidak, kebiasaan kedua orang tualah yang akan diterapkan kembali di pernikahan dengan Anda nantinya, baik soal keuangan, tanggung jawab ataupun hal-hal lainnya. Jika Anda bisa mengamati atau diskusi soal ini Anda bisa mendapat gambaran rumah tangga seperti apa yang kelak akan Anda jalani dengannya.
Hindari menggantungkan hidup sama sekali kepada pasangan, orang tua atau bahkan siapapun. Hidup dan kebahagiaan Anda adalah milik Anda. Buka mata dan jangan hanya melihat contoh-contoh bagus di luar sana, namun belajarlah dari pengalaman-pengalaman buruk orang lain sehingga Anda tidak perlu mengalaminya.
ADVERTISEMENT
Ini memang soal pernikahan yang dilihat dari segi keuangan. Masih banyak poin-poin penting lainnya yang harus dipertimbangkan bila ingin melanjutkan hubungan ke pelaminan.
Semoga bermanfaat!